Selasa, 14 Juli 2015

Shambazy: Seputar Dekrit 5 Juli 1959



Seputar Dekrit 5 Juli 1959
Oleh: Budiarto Shambazy

Tanggal 5 Juli 2015 pas 56 tahun pember- lakuan Dekrit Presiden yang diumumkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 di tangga Istana Merdeka. Intisari dekrit: kita kembali ke UUD 1945 dari UUD Sementara 1950, pembubaran Konstituante, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Dekrit itu membuka peluang bagi Bung Karno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin. Inilah eksperimentasi demokrasi ala Indonesia—kelak Presiden Soeharto melakukan hal sama melalui Demokrasi Pancasila—yang ironisnya justru berwatak anti demokrasi.

Bung Karno mengumumkan dekrit berdasarkan pertimbangan negara ini sepanjang dekade 1950 berada dalam krisis politik, sosial, dan ekonomi. Meski sudah merdeka, publik agaknya merasa hidup tidak lagi senyaman ”zaman normal” saat masih dijajah Belanda dan Jepang.

Untuk menangkap sedikit saja kondisi ”krisis” pada dekade 1950-an itu, silakan saksikan film Krisis (1953) dan lanjutannya, Lagi-lagi Krisis (1955) karya Usmar Ismail. Di kedua film itu terdapat ilustrasi mengenai kondisi murung ekonomi, frustrasi sosial, dan kemunafikan politik.

Suka atau tidak, Indonesia dekade 1950, atau lima tahun setelah proklamasi, memang bergolak. Ada sejumlah provinsi yang sukarela bergabung dengan republik, sebaliknya ada pula beberapa malah membangkang terhadap pemerintahan pusat.

Kita baru saja kembali ke NKRI setelah Bung Karno membubarkan federalisme Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas tujuh negara bagian per 17 Agustus 1950. Belanda masih menyusahkan pada berbagai perundingan bilateral ataupun yang dipayungi Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama perundingan pembebasan Irian Barat.

Benih-benih pemberontakan dimulai oleh tokoh/pihak seperti Kartosuwirjo (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), Kolonel Kahar Muzakkar, atau Republik Maluku Selatan (RMS). Pimpinan teras TNI, terutama TNI AD, juga mulai mengeluhkan program demobilisasi ”reorganisasi dan rasionalisasi” (RERA) yang merugikan kehidupan ketentaraan.

Tak heran terjadi upaya kudeta terhadap Bung Karno pada 17 Oktober 1952. Keluh kesah sejumlah tokoh/faksi TNI AD tersebut mencapai puncak pada upaya kudeta gagal ketika Bung Karno melawat ke Uni Soviet dan Tiongkok, Mei 1956.

Ketika kembali dari lawatan itu, Bung Karno menyampaikan pidato terkenal ”saya akan mengubur partai hidup-hidup” sebagai gelagat awal praktik Demokrasi Terpimpin. Dalam kondisi politik makin kalut itu, sejumlah faksi di Divisi Siliwangi kembali coba melancarkan kudeta yang akhirnya gagal pula.

Republik tak hanya menghadapi pembangkangan militer terhadap supremasi sipil, tetapi juga terpecah secara internal. Itulah lebih kurang yang terjadi pada pemberontakan PRRI-Permesta yang dimulai akhir 1956 di Padang oleh Kolonel Ahmad Hussein dan di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon.

Dan, puncak dari krisis dekade 1950 adalah pengunduran diri Wapres Mohammad Hatta pada 1 Desember 1956. Hatta kecewa terhadap Demokrasi Terpimpin dan menyindir ”Dwi Tunggal” telah berubah menjadi ”Dwi Tanggal” (dua gigi tanggal/copot sehingga ompong).

Pada pertengahan dekade 1950 itu Bung Karno benar-benar mengalami situasi krisis yang sulit. Namun, dia agaknya memiliki jalan keluar yang lumayan jitu berkat ”jam terbang” sebagai pejuang, politisi, sekaligus negarawan.

Untungnya pada 1957 pemerintah membungkam pemberontakan PRRI-Permesta yang nyaris membangkrutkan keuangan negara. Untung juga Bung Karno memperkenalkan gagasan ”kabinet karya”, yakni kabinet tanpa politisi, yang berorientasi kerja.

Untungnya pula mantan Wapres Hatta membantu Bung Karno mengadakan rekonsiliasi melalui ”musyawarah nasional” yang diikuti semua wakil kekuatan politik, termasuk yang pernah memberontak. Mungkin Bung Karno mendapat simpati rakyat karena kiprah dia sebagai salah seorang pemimpin internasional.

Jangan lupa pula ia adalah salah satu proklamator. Dengan rasa percaya diri yang mungkin agak berlebihan, Bung Karno memulai petualangan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit 5 Juli 1959.

Konstituante dibubarkan, digantikan oleh MPRS yang jumlahnya 281 anggota Konstituante plus 94 anggota yang mewakili provinsi-provinsi dan 200 golongan fungsional. Bayangkan, sebagian besar dari total 575 anggota MPRS dipilih sendiri oleh Bung Karno.

Beberapa hari kemudian, ia mengumumkan Kabinet Kerja. Selain itu, Bung Karno memulai pengorganisasian pemerintahan lebih banyak melalui penunjukan/pengangkatan pejabat. Yang berlaku adalah sistem ”seleksi” (bukan ”eleksi”) dan PNS dilarang menjadi anggota partai politik.

Agar kelihatan bekerja efektif, Bung Karno menunjuk dirinya sebagai perdana menteri (merangkap pula sebagai presiden). PM sebelumnya, Djoeanda Kartawidjaja, dia tunjuk sebagai menteri pertama.

Pada pidato 17 Agustus 1959, Bung Karno menyebut sistem pemerintahan berdasarkan Dekrit 5 Juli ini sebagai ”Manifesto Politik” (Manipol). Meski apa maksudnya masih belum jelas, Bung Karno mengancam akan membredel koran/majalah yang tidak mendukung Manipol.

Memasuki dekade 1960, Demokrasi Terpimpin bisa dibaca sebagai dominasi Bung Karno sebagai aktor utama yang memainkan politik perimbangan kekuatan TNI AD versus PKI. Namun, ketegangan politik yang berpuncak pada Gerakan 30 September 1965 menghentikan eksperimentasi Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin, yang sebagian dari versinya sempat dijiplak PM Malaysia Mahathir Mohamad dan PM Singapura Lee Kuan Yew, menjadi eksperimentasi demokrasi yang khas Indonesia. Sejarah dan perjalanan demokrasi kita sesungguhnya kaya! []

KOMPAS, 11 Juli 2015
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar