Islamofobia, Dunia dan Indonesia
Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono
Bulan Mei 2016 yang lalu, saya menghadiri pertemuan Wise Persons
Council Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah, Saudi Arabia. Ada tiga
orang yang diangkat menjadi Wise Persons Council ini, yaitu mantan presiden
Turki Abdullah Gul, mantan presiden Nigeria Abdulsalami Abubakar, dan saya
sendiri.
Dalam pertemuan maraton yang produktif tersebut, saya menyampaikan
pandangan bahwa Islamofobia dan ketegangan Islam dengan Dunia Barat tampak
makin meningkat. Kalau dibiarkan, kondisi dan situasi seperti ini tidak baik.
Negara-negara Islam dan OKI harus bisa memerangi Islamofobia ini, agar Islam
mendapatkan tempatnya yang terhormat di panggung dunia, serta bebas dari rasa
kebencian dan permusuhan pihak mana pun. Menyangkut hubungan Islam-Barat, kedua
belah pihak harus bisa pula mengurangi derajat ketegangan bahkan permusuhan ini
dengan efektif.
Dalam kaitan ini, kebijakan Presiden Trump yang melarang dan
membatasi masuknya orang-orang Islam ke Amerika Serikat saya pandang
bertentangan dengan semangat yang hendak kita bangun ini.
Tidak ada resep yang ajaib untuk mengatasi baik Islamofobia maupun
ketegangan Islam-Barat. Masalahnya kompleks, sensitif, dan delicate. Akar dari
Islamofobia, kebencian dan buruknya hubungan Islam-Barat adalah rendahnya
toleransi, tenggang rasa, dan saling pengertian yang mendalam.
Perbaikan terhadap tiga akar permasalahan ini mesti dilakukan
secara bersama oleh dunia Islam dan dunia Barat. Jika ke depan ini kita bisa
memperkuat toleransi, ketenggangrasaan, dan saling pengertian, permasalahan
mendasar ini dalam batas-batas tertentu akan dapat kita atasi. Insya Allah,
makin ke depan dunia akan makin damai, paling tidak, dalam jangka menengah tidak
makin memburuk.
Maaf mengatasi isu ini bukankah semudah membalik tangan. Saya
paham dunia. Karena itu, saya memilih menjadi realis ketimbang utopis, dengan
tetap menjunjung harapan dan optimisme.
Jika Islamofobia , seperti halnya Kristenfobia, berkaitan dengan
ketakutan dan kebencian, dua-duanya adalah soal emosi. Dominique Moisi, seorang
Prancis, dalam bukunya Geopolitics of Emotions: How Cultures of Fear,
Humiliation and Hope are Reshaping the World menggambarkan terjadinya benturan
emosi antara Islam dengan Barat. Tesis Moisi ialah ada pihak yang merasa takut,
tetapi di pihak lain ada yang merasa dipermalukan (humiliated). Digambarkan
masyarakat Barat takut terhadap Islam karena aksi-aksi kekerasan dan terorisme
yang kerap terjadi. Sementara, Islam merasa dipermalukan lantaran tidak
mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara semana-mena oleh Barat.
Menurut saya, tesis ini telah berkembang dan makin rumit. Benar
pihak Barat takut terhadap radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, tetapi
Islam juga takut atas serangan militer Barat yang mematikan dengan segala
kecanggihnya persenjataannya.
Sementara, perasaan terhina dan dipermalukan kini juga bukan hanya
milik Islam. Adalah benar sebagian masyarakat Islam merasa ditinggalkan, tidak
berdaya dan dibiarkan begitu saja, ketika mereka hidup di kantong-kantong
kemiskinan dan ketertinggalan, akibat tatanan ekonomi global yang dinilai tidak
adil. Namun, secara psiko-sosial pihak Barat juga merasa dipermalukan karena
merasa gagal dan tak berdaya menghadapi aksi-aksi "perlawanan"
kelompok Islam yang menuntut keadilan, meskipun cara yang dipilih tidak selalu
segaris dengan ajaran Islam.
Toleransi sering dijadikan kambing hitam oleh masyarakat Barat.
Islam dianggap kurang toleran. Sebaliknya, Islam menilai Barat kurang memiliki
tenggang rasa. Saya berpendapat toleransi harus disatukan dengan sikap tenggang
rasa. Pihak Barat harus menyadari bahwa tidak ada kebebasan yang benar-benar
mutlak. Selalu ada batasnya.
Pahami jiwa dan semangat the Universal Declaration of Human
Rights. Toleransi pun juga memiliki batas. Sebaliknya, ketika pihak Barat
kurang bertenggang rasa terhadap ajaran dan praktik-praktik yang berlaku di
agama Islam, Islam tidak sepatutnya menjawab "tantangan" itu dengan
cara kekerasan, termasuk aksi-aksi teror.
Masih banyak cara untuk melakukan protes secara damai. Pandangan
seperti ini telah saya sampaikan melalui tweet saya, dari Tokyo Jepang, saat
terjadinya peristiwa Carli Hebdo dahulu.
Ke depan, para pemimpin negara-negara Islam dan Barat, serta para
pemuka agama utamanya Islam, Kristen dan Katolik, perlu memikirkan pendekatan,
strategi dan cara-cara yang efektif untuk mengurangi Islamofobia. Juga untuk
mengurangi rasa takut, rasa benci, dan terhina satu sama lain. Jalan untuk ini
jelas tidak mudah. Tetapi, saya percaya, dunia yang lebih rukun dan lebih damai
selalu bisa dihadirkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah Negara Pancasila yang berketuhanan. Indonesia
merupakan negara majemuk yang menghormati keberagaman. Sungguhpun Islam dianut
85 persen rakyat Indonesia, atau saat ini setara dengan 221 juta dari 260 juta
penduduk Indonesia, tetapi sejak awal berdirinya republik para founding fathers
tidak menetapkan Islam sebagai dasar negara.
Saya kira sikap dan pilihan ini sebuah tonggak penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap ini juga mencerminkan toleransi dan
ketenggangrasaan yang amat tinggi umat Islam Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya memang kerap terjadi gesekan antara
Islam dan negara. Juga antara Islam dengan umat beragama yang lain. Tetapi hal
begini bukan sesuatu yang luar biasa. Ingat, usia kemerdekaan kita belum genap
satu abad.
Ini juga menunjukkan bahwa proses nation building memang belum
rampung. Tetapi, jika dibandingkan negara-negara lain, utamanya di Timur Tengah
dan Afrika, hubungan Islam dengan agama lain di negeri ini dinilai sebagai kuat
dan stabil.
Alhamdulillah. Namun, kita tidak boleh lalai dan harus merawat dan
memperkukuh kebinekaan kita secara serius dan terus-menerus.
Belakangan ini ada sesuatu yang saya rasakan dan pikirkan
dalam-dalam. Sejak terjadinya ketegangan sosial-politik di penghujung tahun
2016 yang lalu, yang dipicu oleh ucapan saudara Basuki Tjahaja Purnama yang
dinilai melukai dan melecehkan ajaran Islam, ada fenomena yang mengkahawtirkan.
Dalam merespons aksi-aksi damai yang dilakukan kalangan umat
Islam, saya merasakan ada yang berlebihan. Melabelkan aksi-aksi damai itu
sebagai ancaman terhadap kebinekaan dan bahkan NKRI, menurut saya terlalu jauh.
Kebijakan dan aksi-aksi polisional negara terhadap kalangan Islam, dalam
berbagai ragamnya, menurut saya juga bisa kontra-produktif. Saya pikir, masih
banyak cara-cara yang lebih persuasif dengan mengedepankan soft power. Kalau
tidak, akan membangun emosi umat Islam yang merasa negaranya membenci mereka.
Jangan sampai berkembang Islamofobia di negara yang mayoritas
penduduknya Muslim ini. Jangan sampai umat Islam merasa tersisih, kalah, dan
tidak mendapat keadilan. Ingat tesis dasar Dominique Moisi yang saya uraikan
sebelumnya ~ rasa takut, perasaan dipermalukan dan kebencian ~ yang bisa
menimbulkan konflik yang serius.
Saya yakin kita semua tidak menghendaki hal begitu terjadi di
negeri tercinta ini. Karena kita semua mencintai persatuan, keberagaman, dan kerukunan.
Waktu dan kesempatan masih ada. Diperlukan kecerdasan, rasa kebangsaan, dan
kearifan yang tinggi dari semua pemimpin dan anak bangsa. []
REPUBLIKA, 07 Februari 2017
Susilo Bambang Yudhoyono ; Presiden ke-6 Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar