Pandawayudha
Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Jika
pesawat mengalami turbulensi, hati penumpangnya galau, perasaannya hancur, dan
pikirannya buntu. Apalagi kalau guncangannya semakin menjadi-jadi, seluruh jiwa
raga serasa lumpuh.
Apa saja
yang dilakukan tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan, miring ke kiri,
terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah. Semua
inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar menjadi tidak benar.
Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa jadi benar. Tak ada
parameter, logika, proporsi, teori, pengetahuan, dan ilmu yang bisa
diberlakukan sebagaimana pada keadaan yang normal.
Kaum
"Talbis"
Mungkin
tidak persis, apalagi separah itu, tetapi kita bangsa Indonesia rasanya sedang
mengalami situasi semacam itu. Berlangsung ketidakseimbangan berpikir yang
semakin merata. Kemiringan persepsi dan ketidakadilan sikap satu sama lain.
Mungkin karena semua pihak mengalami kepanikan subyektif sehingga berlaku
overdefensif, kehilangan presisi logika, dan ketegakan analisis atas segala
sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Kita
menjadi kanak-kanak massal, ditindih oleh rasa tidak percaya satu sama lain
sehingga terseret untuk melakukan hal- hal yang membuat kelompok lain semakin
tidak percaya. Semua dirundung situasi patah hati sebagai kelompok-kelompok
sehingga egosentrisme membengkak pada masing-masing yang merasa saling
terancam. Ukuran-ukuran tentang apa saja jadi semakin kabur. Wajah kebangsaan
kita jadi tak berbentuk.
Andaikan
pada akhirnya terjadi chaos, entah pada tingkat tawur, sweeping, pembakaran-
pembakaran sporadis atas wilayah "lawan", atau penyerbuan- penyerbuan
lokal, atau-na'udzu billahi min dzalik, demi anak-cucu kita kelak-jangan sampai
terjadi perang sipil atau pembasmian massal seperti 1965.
Maka, di
tengah turbulensi pesawat atau kapal berguncang- guncang hari-hari ini, kita
juga kehilangan ketepatan dan keseimbangan, tidak lagi punya akurasi dan
presisi ketika menggagas dan merumuskan SARA, agama, etnik, "Bhinneka
Tunggal Ika", NKRI harga mati, nasionalis, dan Islamis. Jalan kita sangka
tujuan. Sarana kita anggap pencapaian. Roh dianggap jasad. Lembaga disangka ideologi.
Pemerintah merasa dirinya negara. Pejabat menyimpulkan dirinya atasannya
rakyat. Tak mengerti pilah antara negeri dan negara. Pengkhianat dinobatkan
sebagai pahlawan.
Pengetahuan
kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti salah,
meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1 persen yang bukan kita itu punya
kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar, meskipun bukan kita, adalah yang
membayar kita. Pesawat kebangsaan kita sedang mengalami superturbulensi.
Bahtera NKRI kita terguncang-guncang oleh pertengkaran kita sendiri. Semakin
kapal berguncang, semakin kita bertengkar. Dan semakin kita bertengkar, semakin
kapal berguncang.
Kita
langsungkan itu semua dalam deret hitung. Kalaupun yang kita lakukan yang
itu-itu juga yang sejauh ini kita lakukan, segera akan kita alami percepatan
deret ukur, terutama kalau kita terus melakukan Talbis. Talbis adalah peristiwa
di surga ketika Adam dijebak dan ditipu oleh iblis karena menyangka yang datang
kepadanya adalah malaikat. Sang iblis berpakaian malaikat, sementara Adam belum
terdidik oleh pengalaman untuk membedakan antara iblis dan malaikat,
sebagaimana rakyat tidak pernah belajar memahami Talbis perpolitikan negaranya.
Yang
paling besar sumbangannya terhadap kehancuran NKRI adalah para pelaku Talbis.
Manusia-manusia, kelompok, lembaga atau satuan yang memprogram keiblisan,
mengamuflasenya dengan kostum, formula, simbolisme, dan teks seakan-akan
malaikat. Kostum nasionalisme, pewarnaan merah putih, surban istigasah, dan
lantunan suara surgawi. Namun, di belakang punggung melakukan rekayasa,
perundungan, kriminalisasi, skenario penumpasan, pembunuhan karakter,
pemanfaatan pasal hukum, penyebaran meme-meme, pengaturan irama viral, dan apa
saja untuk meneguhkan kekuasaan dan penguasaan.
Pandawa
vs Pandawa
Dalam
peristiwa Bahtera Nuh terdapat polarisasi antara kaum beriman dan kaum ingkar.
Dalam Bharatayudha bertarung antara Pandawa yang mewakili kebenaran dan
kebaikan melawan Kurawa yang mewakili kebatilan dan kejahatan. Yang kita alami
dengan NKRI hari ini adalah Pandawayudha.
Pihak
yang berhadap-hadapan masing-masing merasa dirinya Pandawa. Bahkan, sangat
yakin dengan ke-Pandawa-annya. Masing-masing juga memiliki landasan nilai dan
argumentasi yang kuat bahwa mereka Pandawa. Kua-nilai dan substansi, keduanya
bisa menemukan kebenaran dan kebaikannya. Ini Pandawayudha. Permusuhan antara
Pandawa dan Pandawa untuk dirinya masing-masing atau Kurawa lawan Kurawa untuk
penglihatan atas musuhnya masing-masing.
Mereka
berhadap-hadapan dalam eskalasi kebencian dan pembengkakan permusuhan. Jika
didaftar, masing-masing adalah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Tuhan
menggambarkan dengan kalimat "tahsabuhum jami'an wa qulubuham
syatta": mereka berada di satu bulatan NKRI, dengan hati mereka terpecah belah.
Padahal,
titik krusialnya terletak pada turbulensi pesawat dan guncangan kapal. Yang
satu bersikukuh bunyi kokok ayam adalah "kukuruyuk", lainnya
bersikeras "kongkorongkong", lainnya diam-diam menyimpulkan
"kukeleku" atau "kukurunnuk". Padahal yang benar sejati
adalah si ayam itu sendiri.
Ada
konstelasi pribumi dan nonpribumi. Ada Arab, habib, sayyid, syarif, ahlul-bait.
Di kejauhan sana ada kiai, yai, ustaz, ajengan, tuan guru. Di sekitar kita ada
"China Daratan", "China Perantauan", "China
Benteng", dan "China Toko". Padahal, substansial menghampar juga
Jawa Benteng dan Jawa Toko, Batak Benteng dan Batak Toko, pun Arab Benteng dan
Arab Toko. Sebagian dari konstelasi itu kini sedang incar-mengincar dan
bermusuhan dengan parameter simbolis, bukan ukuran substansial dan hakiki
kasunyatan perilaku. Pelaku SARA menuduh lainnya SARA, yang dituduh SARA
terpojok untuk juga berlaku SARA.
Padahal,
pada hakikat dan kenyataannya, menurut tradisi terminologi Al Quran, musuh
utama Islam dan manusia adalah keingkaran (kufur), kemusyrikan (selingkuh),
kemunafikan (hipokrisi, oportunisme), kefasikan (lupa Tuhan sehingga lupa
diri), juga kezaliman (kejam dan mentang-mentang). Di antara semua itu, yang
ratusan kali lebih berbahaya dan sangat menyulitkan adalah kemunafikan: "mungsuh
mungging cangklakan" (musuh yang menempel di ketiak) alias musuh dalam
selimut.
Di dalam
golongan-golongan yang saling bermusuhan terdapat munafiqun-nya masing-masing.
NKRI dan bangsa Indonesia ini diperlakukan secara munafik oleh sebagian penghuninya.
Dan itulah turbulensi yang sesungguhnya, guncangan sejati sejarah kita hari
ini.
Duduk
bersama
NKRI
adalah abstraksi garis lurus vertikal gravitasi. Akan tetapi, semua yang
berdiri miring dan bermusuhan satu sama lain meyakinkan dirinya sendiri bahwa
mereka tegak gravitatif. Terjadilah saling silang garis-garis yang
masing-masing adalah klaim gravitasi. Atau NKRI adalah patok kayu di mana
kambingkambing diikat lehernya dengan tali. Panjang pendeknya tali dari kambing
ke patok itu bervariasi, sesuai potensi dan pencapaian masing-masing. Akan
tetapi, masalah NKRI hari ini adalah masing-masing kambing menancapkan patoknya
sendiri-sendiri.
NKRI hari
ini adalah kambing-kambing (bineka) berlarian pada kepentingan diri (tunggal)-
nya sendiri dan membikin patok (ika)-nya atau sendiri-sendiri. Sungguh,
kita-para kambing ini-butuh penggembala, negarawan, panembahan, punakawan,
begawan. Kalau semua pihak-polisi, tentara, parpol, ormas, presiden, menteri,
kiai dan ulama, bahkan alam pikiran rakyat-tercampak di kurungan arena politik
(praktis), maka tidak perlu waktu lama bagi kambing-kambing itu untuk
kehilangan lapangan rumput.
Kalau
para orangtua bangsa ini, para sesepuh, para negarawan, dan begawan-begawan
nilai tidak bersegera duduk bersama, berunding dengan kelengkapan kulit dan
isi, kita semua harus bersiaga untuk mengalami lonjakan dari Pandawayudha ke
Bharatayudha. Presiden dan para figur kunci pemerintahan, baik pendekar sipil
maupun militer, pemuka-pemuka semua kelompok, sesepuh masyarakat, semua lingkaran
kebinekaan, ojo dumeh, anak cucu memerlukan para paduka duduk melingkar bersama
di Sanggar Kenegarawanan untuk semacam musyawarah darurat demi keselamatan
bangsa. []
KOMPAS,
10 Februari 2017
Emha
Ainun Nadjib | Budayawan, Tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar