Trump dan
Dunia Islam
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Dalam
pidato pelantikan, Presiden Ke-45 Amerika Serikat Donald Trump secara eksplisit
berjanji akan menumpaskan kelompok Islam radikal-teroris. Sikap tersebut
mendapat perhatian luas, baik di dalam negeri AS maupun dunia internasional,
khususnya dunia Islam.
Jika
dilihat dari pidato-pidato Trump selama masa kampanye, pernyataan dalam
pelantikan tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, Trump secara
eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris. Tetapi, di sisi lain, Trump
kerap melakukan generalisasi terhadap Islam. Bahkan, ia akan menerapkan
pengawasan yang ketat terhadap imigran Muslim di AS.
Ironisnya,
sikap Trump yang cenderung keras dan diskriminatif terhadap Islam berbalik
dengan persepsi publik yang jauh lebih positif sejak tragedi World Trade
Center. Hal tersebut berkat Obama yang menggariskan kebijakan yang relatif baik
dengan dunia Islam di bawah prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan
kedua belah pihak.
Meskipun
Trump secara eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris, pernyataan
tersebut bukan tanpa masalah. Sebab, kelompok teroris di belahan dunia, khusus
Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda, sangat menunggu narasi
politik AS yang seperti itu. Mereka merasa mendapatkan angin segar untuk
mengonsolidasikan gerakan dan melakukan perekrutan lebih agresif. Pasalnya,
ideologi anti Barat menjadi salah satu modal penting untuk memperluas jaringan
kelompok radikal dan teroris.
Selanjutnya
yang menjadi kemuskilan dalam pidato Trump adalah terma radikal-teroris yang
diletakkan dalam satu narasi. Sebab, pada dasarnya dua terma tersebut mempunyai
haluan yang berbeda. Kelompok radikal belum tentu menjadi teroris, sementara
kelompok teroris sudah pasti melalui fase radikalisasi paham keagamaan.
Radikalisme adalah tangga sebelum fase seseorang menjadi teroris.
Narasi
yang disampaikan Trump tampaknya ingin menyasar semua kelompok radikal dan
teroris sekaligus. Artinya, perhatian Trump bukan hanya pada kelompok-kelompok
yang sudah diidentifikasi sebagai teroris global, seperti Al Qaeda dan NIIS,
melainkan juga kelompok-kelompok yang mempunyai paham radikal.
Menurut
William McCants (2016), sikap Trump tersebut bisa dilihat dari kekhawatiran
para penasihat politik Trump terhadap kecenderungan beberapa Muslim di AS yang
hendak mengusulkan syariat Islam dan hukum Islam sebagai hukum positif.
Kecenderungan ini sangat membahayakan bagi AS.
Sebenarnya,
menurut McCants, sikap tersebut sangat berlebihan karena kecenderungan
implementasi syariat Islam di AS tidak menguat. Orang-orang Muslim di AS merasa
nyaman dengan konstitusi yang berlaku sekarang. Bahkan, di dunia Islam,
kecenderungan tersebut tidak terlalu menguat meskipun mereka menerapkan syariat
Islam pada hukum privat, bukan pada hukum pidana.
Oleh
karena itu, Trump harus lebih hati-hati untuk memahami Islam dan dunia Islam.
Sebab, generalisasi terhadap Islam akan berdampak yang serius, yang tidak hanya
mengancam AS, tetapi juga dapat menciptakan instabilitas politik di dunia.
Melawan
terorisme
Kata
kunci yang sangat menakutkan dari pernyataan Trump adalah ingin menumpas
kelompok radikal-teroris dari muka bumi. Kata-kata tersebut menyimpan suatu
dendam, kebencian, dan bernuansa kekerasan.
Padahal,
untuk melawan kelompok radikal dan teroris harus menggunakan pendekatan yang
bersifat komprehensif. Pendekatan militeristik, jika tidak hati-hati, hanya
akan melahirkan spirit terorisme. Dulu, Jemaah Islamiyah ditumpas, lalu muncul
Al Qaeda. Kemudian Al Qaeda berhasil ditumpas dan Osama bin Laden dibunuh. Akan
tetapi, kemudian muncul NIIS, dan Abu Bakar al-Baghdadi dibaiat sebagai
khalifah bagi kelompok teroris yang paling banal itu.
Itu
artinya, menumpas kelompok teroris hampir bisa dipastikan mustahil. Yang bisa
dilakukan adalah memastikan kelompok-kelompok teroris tidak mendapatkan
sokongan dana dan persenjataan serta ada upaya deradikalisasi terhadap ideologi
mereka.
Tantangan
dunia Islam adalah masifnya ideologi radikalisme. Bukan hanya itu saja,
ideologi radikal juga tumbuh di negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa.
Ideologi radikalisme dapat menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menggaet
seseorang atau kelompok menjadi teroris. Lihat para tentara NIIS yang umumnya
berasal dari kelompok radikal di Eropa.
Sikap AS
dan Eropa yang cenderung ”membiarkan” terhadap paham dan kelompok radikal
akhirnya menjadi senjata makan tuan. Mereka akhirnya melakukan aksi bom bunuh
diri di negara yang telah memberinya kebebasan dan kemakmuran.
Maka,
melawan terorisme pada dasarnya melakukan deradikalisasi yang sangat serius dan
intensif terhadap kelompok-kelompok radikal. Pengalaman Mesir, Arab Saudi,
Indonesia, dan Iran dapat menjadi contoh terbaik dalam menanganinya.
Pada
dasarnya, mereka yang menjadi radikal sesungguhnya tidak mempunyai pemahaman
yang komprehensif tentang Islam. Mereka mempunyai gairah keislaman yang kuat
dalam dirinya, tetapi gairah tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang
mendalam dan benar tentang Islam. Akibatnya, mereka terjebak dalam ideologi
kaum radikal, yaitu ideologi purifikasi dan kekerasan.
Secara
umum, ideologi kaum radikal disuplai oleh Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin ala
Sayyed Qutb. Kedua ideologi ini menjustifikasi kekerasan dalam menghadapi
mereka yang dianggap musuh. Mereka umumnya menggunakan diktum amar ma’ruf nahi
munkar dan hisbah.
Perluas
kelompok moderat
Oleh
karena itu, menurut saya, untuk menghadapi ideologi radikal tidak bisa dengan
pendekatan militeristik. Pengalaman Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah patut
dijadikan contoh untuk menghadapi kelompok radikal agar tidak menjadi kelompok
teroris.
Pendidikan
keagamaan dan kebangsaan menjadi salah satu kunci untuk melakukan
deradikalisasi. Pengalaman Indonesia menarik. Sebab, meskipun kelompok radikal
relatif tumbuh, mereka bisa diantisipasi untuk tidak menjadi teroris. Fatwa
Majelis Ulama Indonesia tentang terorisme adalah haram menjadi faktor penting
untuk meredam keterlibatan kelompok Muslim untuk menjadi teroris.
Pengalaman
NU dan Muhammadiyah yang terus mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, dan
moderat mempunyai dampak yang serius agar seseorang atau kelompok tidak mudah
bergabung dengan kelompok teroris.
Donald
Trump mestinya belajar dari Indonesia dalam menghadapi kelompok-kelompok
radikal dan teroris ini. Intinya, perluas kelompok moderat dan berikan peran
kepada kelompok moderat untuk melakukan deradikalisasi, maka kelompok radikal
dan teroris akan melemah.
Sebaliknya,
jika Trump melakukan pendekatan militer an sich, maka hal tersebut akan menjadi
bumerang bagi AS dan dunia Islam. Pendekatan tersebut akan menjadi makanan
empuk bagi kelompok radikal dan teroris untuk memperluas pengaruhnya di dunia.
Di sinilah, dunia sedang deg-deganmenanti kebijakan Trump terhadap kelompok
radikal dan teroris. []
KOMPAS, 1
Februari 2017
Zuhairi
Misrawi | Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Politik dan Pemikiran
Timur Tengah di The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar