Demokrasi Permen Karet
Oleh: Budiarto Shambazy
Dalam acara pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu (22/2), Presiden
Joko Widodo mengatakan demokrasi kita sudah kebablasan. "Demokrasi yang
berkembang saat ini memang sudah kebablasan. Aliran-aliran ekstremis hingga
ujaran kebencian, saling hujat dan fitnah terus berkembang. Oleh karena itu,
penegakan hukum harus dijalankan dengan optimal," kata Presiden.
Kalau tidak diatasi, Presiden Jokowi khawatir akan mengarah pada
upaya memecah belah bangsa. Untuk itu, Jokowi mengatakan kunci dari semua
masalah tersebut adalah penegakan hukum. "Kuncinya dalam demokrasi yang
kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas tidak perlu
ragu," kata Jokowi.
Demokrasi artinya sebuah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dipercayakan kepada para politisi yang
dipilih melalui pemilu bebas. Kebablasan artinya terlewat dari batas atau
tujuan yang sudah ditentukan alias keterlaluan.
Kita sudah hampir 72 tahun mempraktikkan tiga jenis demokrasi sejak
merdeka. Ada demokrasi liberal ala Barat periode 1945-1959, Demokrasi Terpimpin
ala Bung Karno periode 1959-1967, Demokrasi Pancasila ala Pak Harto-Pak Habibie
periode 1967-1999, dan kembali ke demokrasi liberal sejak Reformasi 1999 sampai
sekarang.
Pada periode demokrasi liberal 1945-1959, tak sedikit yang kecewa
dengan ingar bingar politik. Kabinet jatuh-bangun, ketegangan parlemen versus
TNI AD berpuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952, pemberontakan terjadi di
beberapa provinsi, Wapres Mohammad Hatta mundur, pengusiran terhadap
orang-orang Belanda dan Tiongkok, dan akhirnya memaksa Bung Karno menggunakan
tangan besi lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada dekade 1950 itu sering terdengar istilah "krisis"
dan "lagi-lagi krisis". Apakah Demokrasi Terpimpin menyelesaikan
berbagai masalah tersebut? Ternyata belum tentu.
Pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang cukup
teratur memang sudah dimulai oleh kabinet-kabinet kerja. Di lain pihak, dana,
tenaga, dan waktu tersedot untuk politik konfrontasi terhadap Malaysia dan juga
ambisi politik luar negeri Bung Karno. Jangan lupa pula, Bung Karno menangkapi
oposisi dan membredel pers.
Era Demokrasi Pancasila yang dimulai Pak Harto sebenarnya kurang
lebih mengulang lagi apa yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun, partai-partai
dibonsai melalui fusi dan peran ABRI dan birokrasi sangat dominan bertugas
mengamankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
terakhir 1997.
Fitur Demokrasi Pancasila yang paling menonjol adalah KKN yang
dilakukan oleh mereka yang sampai kini faktanya bahkan masih bercokol. Budaya
anti korupsi yang digalang sejak 1945 dihancurkan dalam sekejap oleh rezim
kleptokrasi ala Orde Baru.
Lalu bagaimana dengan demokrasi liberal sejak 1999? Faktanya
korupsi makin menggila dan telah memecahkan rekor KKN ala Orde Baru. Ibaratnya
kita menerapkan "Trias Poli-thieves" yang dilakoni oleh tiga cabang
kekuasaan: "execu-thieves", "legisla-thieves", dan "judica-thieves".
Suka atau tidak, sebenarnya "Orba (Orde Bablas) Jilid 2"
dimulai sejak Reformasi 1999. Pada tahun-tahun itulah sudah mulai terdengar
istilah kebablasan untuk melukiskan betapa penguasa dan juga rakyat kita kurang
paham demokrasi. Kalangan yang skeptis menyebutkan bahwa budaya politik kita
yang masih tradisional sesungguhnya tidak kompatibel dengan demokrasi liberal.
Ada juga yang berteori, demokrasi kita "masih muda".
Demokrasi adalah proses trial and error yang akan semakin matang jika diselenggarakan
secara saksama oleh ketiga cabang kekuasaan dalam pengawasan efektif oleh
rakyat, LSM, dan pers. Sebaliknya, tak sedikit juga yang meyakini bahwa
"democracy waits for no one" karena ia sudah berjalan maju dan lurus
karena sejatinya telah sempurna.
Ada pula kalangan yang lebih suka mempraktikkan "demokrasi
wacana" (talking democracy). Mereka hanya berkaok-kaok di media massa tiap
hari tanpa memberikan solusi. Sebaliknya, banyak pula kalangan yang
mempraktikkan "demokrasi yang bekerja" (working democracy) yang sejak
jauh-jauh hari terbiasa bersikap demokratis di keluarga, lingkungan, sampai
masyarakat.
Dan, demokrasi jenis apa pun wajib menjunjung tinggi perbedaan.
Anda bisa saja tidak setuju dengan pemerintahan yang terpilih secara demokratis
lewat demonstrasi damai. Bukan zamannya lagi demonstrasi damai, seperti yang
terjadi pada 4 November 2016, diwarnai dengan kerusuhan kecil di Monas dan
Jelambar saat izin demonstrasi telah habis pukul 18.00 WIB.
Juga bukan zamannya lagi demonstrasi diwarnai teriakan-teriakan
"bunuh" atau "gantung" dan juga diisi orasi-orasi berisikan
ujaran-ujaran kebencian yang berbumbu fitnah dan menghina. Juga kurang pantas
"menjual" SARA pada saat demonstrasi karena dapat memecah belah
bangsa ini.
Seperti dinyatakan Jokowi dalam acara pelantikan DPP Hanura, kunci
untuk mencegah demokrasi kebablasan adalah dengan menegakkan hukum. Sejauh
pengamatan, TNI dan Polri telah menjalankan tugasnya dengan cakap dan sesuai
koridor hukum dengan menciduk, menahan, dan menyidik semua pihak yang
"membablaskan demokrasi" saat aksi-aksi di jalanan.
Ini tugas yang tidak pernah selesai dalam era "demokrasi
kebablasan" ini. Bagi para pembablas, mempraktikkan demokrasi ibarat
menyantap permen karet: dicicipi dulu, dikunyah sebentar, setelah itu dilepeh,
dan lantas diinjak-injak. []
KOMPAS, 25 Februari 2017
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar