Hukum Memilih “Kotak
Kosong” dalam Pilkada
Tulisan ini semata-mata berangkat dari
keprihatinan penulis terhadap fatwa yang berisi “vonis sesat dan zalim” terhadap
calon pemilih kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pembahasan
ini tidak bermaksud untuk menggiring opini, mengajak, atau menyerukan memilih
salah satu dari dua pilihan yang sudah dijamin oleh konstitusi yang sah.
Pertama; “vonis sesat dan zalim” atas calon pemilih kotak kosong adalah vonis yang tidak berdasar sama sekali, baik dalam kacamata agama maupun kacamata hukum negara. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa hak memilih kotak kosong adalah hak yang dijamin oleh undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Karenanya, menghormati hak konstitusi adalah wajib menurut agama.
Dalam Bughyatul Mustarsyidîn, kitab yang berisi tentang ringkasan fatwa para ahli hukum Islam (fuqahâ`) karya Sayyid Abdurrahman (w. 1320 H), mufti Hadlramaut Yaman, pada halaman 189 disebutkan:
يَجِبُ اِمْتِثَالُ أَمْرِ الْإِمَامِ فِيْ كُلِّ مَا لَهُ فِيْهِ وِلَايَةٌ
“Wajib mentaati segala perintah pemimpin
dalam segala hal yang menjadi kewenangannya”.
Dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan mengatur jalannya Pemilu atau Pilkada, di mana di antaranya dinyatakan bahwa “hak memilih kotak kosong adalah hak yang legal”.
Masih dalam kitab dan halaman yang sama
disebutkan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِيْمَا أَمَرَ بِهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِمَّا لَيْسَ بِحَرَامٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ. فَالْوَاجِبُ يَتَأَكَّدُ، وَالْمَنْدُوْبُ يَجِبُ، وَكَذَا الْمُبَاحُ
“Kesimpulannya adalah wajib menaati pemimpin dalam setiap perintahnya secara lahir dan batin selama tidak haram atau makruh. Maka (yang semula) wajib, menjadi semakin kuat (kewajibannya atas perintah pemimpin), dan (yang semula) sunnah, menjadi wajib (atas perintah pemimpin) dan demikian juga yang mubah.”
Kesimpulan poin pertama adalah bahwa hak memilih siapa pun dan apa pun adalah hak konstitusional dan Islam memberikan tambahan legalitas atas hak tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk menganggap sesat calon pemilih kotak kosong, sebagaimana juga tidak ada alasan mengecam secara agama dan negara bagi yang menjatuhkan pilihan kepada pasangan calon.
Kedua; Jika orang yang memberikan fatwa atas
sesat dan zalim memilih kotak kosong berdalih bahwa kewajiban memilih pimpinan
adalah “memilih orang” bukan “memilih kotak”, maka itu hanya permainan
kata-kata belaka.
Semua orang paham bahwa tidak mungkin kotak
kosong akan menjadi pemimpin. Ini hanya merupakan permainan kata yang tidak
layak disampaikan di muka umum dalam situasi menjelang Pilkada.
Memilih kotak kosong bukan berarti menjadikan
kotak kosong sebagai pemimpin, melainkan sebagai bentuk keinginan
dilaksanakannya pengulangan Pilkada supaya terbuka peluang pencalonan yang
lebih dari satu pasangan calon.
Dalam kacamata agama, hal ini sama sekali
tidak ada madlarat-nya, tidak ada kerugiannya. Barangkali ada yang memiliki
pemahaman bahwa jika Pilkada diulang, maka akan menghambur-hamburkan anggaran
negara. Jika demikian halnya, maka dapat dinyatakan pemikiran seperti berikut:
“Dalam Pilkada biasa terdapat pasangan calon lebih dari satu, kemungkinan
pengulangan Pilkada menjadi dua putaran juga akan tetap terbuka lebar dan kas
negara telah menyiapkan back-up anggaran untuk Pilkada yang berlangsung lebih
dari satu putaran.”
Ketiga; Tugas ulama adalah sebagai pengayom
ummat, bukan pemberi vonis. Dalam Islam ada aturan “nahnu du’ât, lâ qudlât
(kita hanya bisa menyeru, bukan menghakimi)”. Hanya hakim pengadilan yang
berhak memberi vonis soal-soal duniawi. Dan hanya Allah yang berhak memberi
vonis di akhirat.
Keempat; wajib ditandaskan sekali lagi, bahwa
hak memilih apa pun dan siapa pun adalah hak legal dan tidak sesat, apalagi
zalim.
Kelima; yang lebih wajib lagi adalah menjaga
kesatuan dan persatuan warga baik sebelum maupun sesudah Pilkada.
Tulisan ini hanya ingin memberikan tanggapan
terhadap fatwa yang menyatakan “sesat” memilih kotak kosong dalam Pilkada.
Apalagi sebenarnya soal nashbul imâm atau memilih pemimpin hukumnya fardlu
kifâyah (kewajiban komunal yang cukup ditunaikan oleh satu atau dua orang
sebagai perwakilan), bukan fardlu ‘ain (kewajiban individual). Karena itu,
memilih kotak kosong dalam Pilkada jelas tidak ada kaitannya dengan sesat atau
zalim. Tak kurang dan tidak lebih. Soal menjatuhkan pilihan adalah soal hati
nurani, tidak ada yang berhak merampas kebebasan individu untuk memilih “ini”
atau “itu”. Wallahu A’lam bi-shshawâb. []
KH Ahmad Nadhif Abdul Mujib, Wakil Sekretaris
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar