Pilgub Rasa Pilpres
Oleh: Budiarto Shambazy
Pada 21 September 2016 Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono mengatakan, ”Ini Pilkada DKI rasa pilpres.” Selang dua hari kemudian,
Demokrat bersama tiga partai lainnya mengumumkan pencalonan putra Yudhoyono,
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai calon gubernur DKI bersama calon wakil
gubernur Sylviana Murni.
Tak mustahil, jika kelak memenangi Pilgub DKI, AHY akan langsung
mengikuti Pilpres 2019. Mungkin begitu juga dengan Anies Baswedan yang pernah
mengikuti konvensi Partai Demokrat, yang menyeleksi sejumlah capres, yang
akhirnya gagal bertarung pada Pilpres 2014.
Cawagub yang mendampingi Anies, Sandiaga Uno, juga tokoh muda yang
layak masuk hitungan pada Pilpres 2019. Sandiaga ”businessman-cum-politician”
punya modal dana politik yang mencukupi plus partai yang tepat, Gerindra, untuk
ikut Pilpres 2019.
Lalu, bagaimana dengan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful
Hidayat? Tidak begitu tercium aroma mereka mengincar jabatan yang lebih tinggi
kecuali, sebagai petahana, menyelesaikan pekerjaan untuk memajukan Ibu Kota.
Tidak ada yang keliru dengan narasi ”pilgub rasa pilpres”.
Lompatan karier politik ini sudah ada ”cetak biru”-nya tatkala Gubernur DKI
Joko Widodo (Jokowi) ”loncat” menjadi capres pada 2014 dan berhasil mengalahkan
Prabowo Subianto di pilpres.
Narasi ”pilgub rasa pilpres” semakin kentara karena keterlibatan
dua eks presiden, Megawati Soekarnoputri dan Yudhoyono, plus seorang capres,
Prabowo. Megawati mempertaruhkan kebinekaan, Prabowo mempertaruhkan rencana dia
kembali berlaga di Pilpres 2019, dan Yudhoyono mempertaruhkan putra mahkotanya.
Adalah wajar jika ”tiga raksasa” politik bertaruh, maka
pertarungan jadi sengit. Itu sebabnya kerap terjadi pengusiran pasangan calon
yang berkampanye, adu survei yang sahih atau abal-abal, politik uang yang
kasatmata, dan perang saling menjatuhkan melalui media sosial.
Ada selentingan yang menyebutkan Presiden Jokowi mendukung
Basuki-Djarot. Ini bukan hal yang ganjil dan tidak perlu ada yang malu-malu
kucing. Pasalnya, Basuki diusung PDI-P, sementara Jokowi serta Djarot adalah
kader PDI-P.
Narasi ”pilgub rasa pilpres” menunjukkan politik memang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Salah satu cara yang amat
terasa di kontestasi kali ini adalah mengeksploitasi isu agama untuk
menyudutkan Basuki.
Eksploitasi itu sudah berlangsung berbulan-bulan dan berpuncak
pada proses pengadilan Basuki yang kini masih berlangsung. Sebelum memasuki
ruang pengadilan, tuduhan penodaan agama bahkan sempat memunculkan protes
massal pada 4 November dan 2 Desember 2016. Dua acara besar ini yang memunculkan
tokoh baru, Rizieq Shihab, yang kini menjadi tersangka penghinaan terhadap
Pancasila.
Setelah Rizieq jadi tersangka, situasi kampanye menjadi relatif
lebih tenang. Biarkan proses persidangan Basuki berjalan lancar, pengerahan
massa tak diperlukan lagi, dan toh sebentar lagi kita memasuki masa tenang
mulai 12 Februari sampai hari pencoblosan 15 Februari.
Survei Litbang Kompas beberapa hari lalu menempatkan elektabilitas
pasangan calon nomor 2 di atas nomor 1 dan 3. Tetapi, seperti yang terjadi di
pilpres di Amerika Serikat, November 2016, hasil survei bisa saja kurang
akurat.
Memang seperti yang terjadi pada setiap kontestasi, petahana
selalu diunggulkan. Apalagi petahana Basuki-Djarot, yang melanjutkan
kepemimpinan Jokowi-Basuki, telah membuat sejumlah gebrakan dalam kinerjanya.
Selain mencetak prestasi pembangunan berbagai sarana fisik,
misalnya proyek MRT dan normalisasi sungai-sungai, kita yang tinggal di Jakarta
mulai punya rasa memiliki atas Ibu Kota. Terdapat asumsi di publik bahwa
pasangan calon mana pun yang akhirnya terpilih kiranya wajib melanjutkan
warisan sukses yang ditinggalkan Jokowi-Basuki/Basuki-Djarot.
Sebagian warga merasa alangkah lebih baik andaikan Pilgub DKI
hanya satu putaran. Ini dapat dimaklumi mengingat warga sudah berbulan-bulan
hidup lelah dan waswas mengkhawatirkan terjadinya kericuhan lagi seperti pada 4
November 2016 di sekitar Monas, aksi segelintir massa yang merusak di Jelambar,
serta ancaman pendudukan massa di Kompleks MPR-DPR yang berlangsung sampai dini
hari 5 November 2016.
Kerusuhan massal di Jakarta seperti yang terjadi pada 13-15 Mei
1998 dan 15 Januari 1974 tidak bisa ditoleransi lagi.
Kalau Pilgub DKI ternyata dua putaran? Ya, kita warga pemilih
sabar-sabar sajalah.
Tidak ada jaminan masa tenang sampai hari pencoblosan 15 Februari
tidak akan diwarnai operasi ”senyap”, serangan fajar, atau aksi-aksi persuasif
yang diam-diam dilakukan semua pasangan calon. Namun, persuasi, intimidasi,
ataupun manipulasi sulit berhasil karena pemilih di Jakarta sudah tergolong
rasional.
Ingat, kita memilih gubernur, bukan presiden. Nah, selamat
memilih! []
KOMPAS, 11 Februari 2017
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar