Rabu, 08 Februari 2017

Tiga Kiai di Balik Berdirinya Muslimat NU Tahun 1938



Tiga Kiai di Balik Berdirinya Muslimat NU

Pendirian Muslimat Nahdlatul Ulama dilalui dengan proses yang tak mudah. Sebelum gagasan ini dilontarkan di forum resmi NU, keterlibatan praktis perempuan di dunia nondemoestik belum menonjol. Kepesertaan Muktamar ke-13 di Menes tahun 1938, forum pertama dimunculkannya ide pendirian organisasi perempuan NU, juga masih didominasi kaum laki-laki.

Tak menonjol bukan berarti tak ada. Sejumlah peran penting sudah dilakukan kaum hawa di lingkungan NU. Mulai dari aktif di dunia pendidikan, dakwah, menjadi tenaga perawat bagi para pejuang kemerdekaan, hingga berperan dalam pasukan gerilya sebagai kurir pesan-pesan rahasia. Hanya saja, “panggung” yang belum tersedia membuat kiprah para perempuan kala itu tak terlihat, bahkan belum terkonsolidasi dengan baik.

Para kiai NU pun zaman itu belum banyak yang memiliki fokus pada pentingnya peran perempuan dalam kancah perjuangan dan organisasi. Menurut buku "50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa" (1996), hanya sebagian kecil di antara mereka yang memahami kebutuhan akan hadirnya gerakan kaum perempuan. Di antara sebagian kecil tersebut ada tiga nama kiai: KH Mohammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.

Ketiga kiai yang terkenal dengan kealiman dan cara berpikirnya yang maju itu turut mendorong semangat kebangkitan perempuan di lingkungan NU. Ada cerita, Kiai Wahablah yang memberikan restu dan motivasi ketika para santri putri hendak membentuk grup drumband. Meskipun, semula inisiatif itu sempat ditolak karena khawatir drumband jadi ajang menampakkan aurat.

Kiai Saifuddin Zuhri juga termasuk ulama yang peduli dan apresiatif terhadap kiprah perempuan. Istrinya sendiri, Nyai Solechah, adalah juru kampanye NU (ketika menjadi partai politik) yang mesti terjun ke daerah-daerah dari satu podium ke podium lain. Nyai Solechah dipercaya sebagai salah seorang ketua Pucuk Pimpinan Muslimat NU (1956-1989) yang sebelumnya memimpin ketua Muslimat NU Jawa Tengah.

Senada dengan Kiai Saifuddin, Kiai Muhammad Dahlan juga menjadi pribadi yang nyaman buat istrinya untuk berperan banyak dalam organisasi. Nyai Chodijah Dahlan diberi amanat sebagai ketua pertama Muslimat NU kala resmi menjadi badan otonom NU pada tahun 1946, meski tak lama memimpin karena wafat pada tahun 1948. Kiai Dahlan yang juga ketua PBNU lebih dari sekadar pendorong berdirinya Muslimat. Ia juga merangkap sebagai guru organisasi bagi istrinya. Selepas ditinggal Nyai Chodijah, istri kedua Kiai Dahlan juga menerima keluasaan yang sama. Nyai Aisyah Dahlan aktif menjadi salah satu ketua Muslimat NU pada kongres di Semarang. Ia mempelopori berdirinya Himpunan Dakwah Muslimat Indonesia (Nadwah).

Kai Dahlan bersama A Azis Diyar merupakan penyusun Peraturan Khususi Nahdlatul Ulama Muslimat yang menjadi anggaran dasar pertama Muslimat NU. Peraturan Khususi ini disetujui dan ditandatangani oleh KH Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Dokumen inilah yang diubah dan diperbaiki sesuai perkembangan dan menjadi AD/ART Muslimat NU hingga searang.

Tiga kiai ini menjadi oase bagi kebangkitan organisasi perempuan di NU. Namun, bukan berarti para perempuan bersikap pasif. Justru kebangkitan tersebut lahir dari inisiatif perempuan NU sendiri, terutama sejak Nyai Hajjah R Djuaesih secara berani dan tegas berpidato di atas mimbar Muktamar NU ke-13 soal signifikansi peran perempuan sebagaimana laki-laki di medan perjuangan Ahlussunnah wal Jamaah dan bangsa secara umum. Dari gagasan ini, bentuk formal Muslimat NU terus berkembang, dari diakuinya rumusan organisasinya hingga menjadi badan otonom dengan segenap keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri. Muslimat NU pun menjadi organisasi yang kian bersinar, dan memainkan peran-peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. []

(Mahbib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar