Keistimewaan Kiai Taufiq Pekalongan
Empat hari (23-26
Januari 2017) penulis mengikuti perjalanan Anjangsana Islam Nusantara sungguh
membahagiakan. Perjalanan dari Jakarta menyusuri pantura hingga Surabaya,
Jombang hingga Yogyakarta. Sayangnya, penulis harus berhenti di Surabaya dan
kembali ke Jakarta. Rombongan kami 17 orang.
Tidak hanya
mengunjungi yang masih hidup, tapi juga yang sudah meninggal. Makam sejumlah
tokoh, mulai dari Baing Yusuf di Purwakarta, Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran
Cakrabuana-tokoh penting penyebar Islam di Cirebon, Habib Hasyim bin Umar bin
Yahya di Pekalongan, dan seterusnya hingga makan Mbah Bisri Mustofa di Rembang
dan Mbah Abdullah Faqih di Langitan, Tuban.
Sesepuh-sesepuh NU
juga kami datangi untuk mendapat wejangan waskita. Nama-nama terkenal seperti
Abah Thohir (Cirebon), Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), KH Dimyati Rois
(Kaliwungu Kendal), KH Ahmad Mustofa Bisri (Rembang), Mbah Maimoen Zubair
(Sarang Rembang) kami datangi satu per satu. Banyak sekali cerita yang ingin
kami tulis. Pada saatnya.
Penulis ingin mengawali
cerita kecil pada kunjungan ke KH Taufiq, Pengasuh Pesantren At-Taufiqy
Rowokembu, Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini dikunjungi
Presiden Jokowi beberapa minggu lalu ketika Presiden menghadiri acara Maulid
Akbar bersama Jamaah Kanzus Sholawat yang dipimpin Habib Luthfi bin Yahya.
Penulis tertarik
menceritakan Kiai Taufiq karena sosok ini tidak seperti sosok-sosok kiai lain
yang sering diberitakan media. Mungkin masyarakat juga tidak banyak yang tahu
wajah Kiai Taufiq, karena memang beliau tidak terlalu suka di foto. Bahkan,
salah satu pimpinan rombongan kegiatan Anjangsana Mas Zastrouw Ngatawi yang
sudah cukup kenal dengan Kiai Taufiq sudah mewanti-wanti agar tidak mengambil
gambar Kiai Taufiq. Benar saja, diantara kami tidak ada yang berani mengambil
gambar. Konon, beliau juga tidak berkenan foto berdua dengan Presiden Jokowi
ketika berkunjung.
Sekitar pukul 10.30
WIB kami memasuki gang tidak terlalu besar menuju kediaman sekaligus pesantren
beliau. Langkah kami tertahan. Kebetulan, setiap hari Selasa beliau memberi
pengajian khusus untuk perempuan. Esok harinya, Rabu, khusus untuk jamaah
laki-laki. Hampir di semua mulut gang penuh jamaah perempuan. Bukan hanya gang
yang penulis lalui, tetapi juga semua gang yang menghubungkan jalan raya ke
rumah beliau dipenuhi jamaah yang berjajar rapi. Emperan rumah-rumah warga juga
hampir semua penuh. Ribuan orang.
Atas kebaikan
seseorang yang tampaknya sudah akrab dengan Mas Zastrouw, kami diajak menunggu
di teras masjid. Sekitar 15 menit kami duduk, dari pengeras suara yang berjajar
di setiap sudut gang, suara lirih Kiai Taufiq mulai terdengar memimpin
doa.
Begitu doa selesai,
jamaah yang semua perempuan itu keluar melalui setiap mulut gang. Kami
mengamati setiap jamaah yang keluar di samping masjid tempat kami duduk. Ribuan
orang keluar mengantri. “Ini jamaah kok gak habis-habis dari tadi,” celetuk
sahabat penulis Abdul Moqsith Ghazali yang duduk di sebelah penulis.
Setelah jamaah agak
sepi, salah satu putra Kiai Taufiq menghampiri kami di serambi masjid. Sekitar
400 meter kami berjalan menuju komplek pesantren. Penulis mengamati kanan kiri
komplek pesantren. Penulis menemukan aura yang agak berbeda. Jika selama ini
pesantren dikesankan sebagai tempat yang kumuh dan kotor, pesantren ini sangat
bersih.
Kami diarahkan
menunggu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai 2 yang bersih. Begitu kami
masuk ruangan, seorang santri segera menuju ke tempat kami melepas sandal dan
sepatu. Dia merapikan sandal dan sepatu yang kami lepas sembarangan. Arahnya
pun di balik, sehingga begitu keluar ruangan tamu tinggal memakai. Sambil
menunggu Kiai Taufiq, penulis menuju ke toilet. Penulis surprise, ternyata
toiletnya sangat bersih. Ada santri yang menjaga dan membersihkan setiap toilet
selesai digunakan.
Sekitar 10 menit kami
menunggu. Datanglah seorang kiai dengan wajah bersih, teduh dan penuh senyum.
Kami pun berdiri menyambut dan mencium tangannya. Suaranya lirih, tidak
menggebu-gebu. Sorot matanya sangat sejuk. “Ini memang sorot mata khas guru
tarekat, menyejukkan,” kata sahabat Abdul Moqsith.
Dengan suara yang
tidak terlalu keras, beliau banyak cerita tentang guru-gurunya, terutama Kiai
Masduqi Lasem. Kiai Masduqi yang pernah berguru di Pesantren Termas termasuk
kiai yang sangat mempengaruhi beliau. Cerita soal ini bisa baca: Menelusuri Sanad Keilmuan Islam Nusantara dari KH Taufiq Pekalongan.
Tak terasa, adzan
dhuhur mulai berkumandang. Pembicaraan berhenti sebentar. Semula kami menduga,
Kiai Taufiq mengajak kami sholat jamaah. Ternyata tidak. Beliau masih mengajak
kami mengobrol cerita tentang sanad keilmuannya. Kiai Taufiq juga menceritakan
kolom Gus Dur yang ditulis di Majalah Tempo tahun 1980-an yang menceritakan
tentang Kiai Masduqi dan Syekh Yasin al-Fadany.
Tibalah saatnya,
beliau mengajak kami melihat komplek pesantren yang berada di seberang tempat
kami diterima. Wow…luar biasa. Pesantren ini seperti taman kota. Kamar-kamar
santri di kelilingi pohon-pohon yang rindang. Bangunan pesantren masih ada yang
terbuat dari welet. Semua tertata rapi dan bersih.
Ketika salah seorang
teman bertanya: “Kiai, ini yang mendesain siapa kok bisa seperti ini?” “Ya saya
sendiri dan para santri”. Bahkan, para santrilah yang membangun ini semua,”
kata beliau sambil menunjuk beberapa bangunan.
“Bagaimana kiai
mengajarkan semua ini kepada santri, terutama soal kebersihan?” Tanya seorang
teman. “Saya tidak pernah mengajarkan dengan kata, tapi dengan perbuatan. Kalau
ada sampah, saya ambil sapu. Saya bersihkan. Santri lama-lama mau sendiri dan
sapu saya dia rebut,” kata Kiai Taufiq. Dengan cara itu Kiai Taufiq mengajarkan
kebersihan kepada sekitar empat ribu santrinya.
Tibalah saatnya makan
siang. Kami diajak naik ke lantai 2 gedung tempat kami diterima. Ada hal
menarik bagaimana beliau mengajarkan cara makan. “Jangan sampai ada yang
tersisa sedikit pun,” kata beliau. Piring Kiai Taufiq bersih seperti habis
dicuci. “Tahu ini tugasnya membersihkan semua yang tersisa,” kata beliau sambil
memegang seiris tahu dan mengelapkan ke piring beliau. Kami pun akhirnya tengak
tengok siapa yang piringnya tidak bersih.
“Kemarin waktu
Presiden Jokowi ke sini, menterinya saya ajak makan di sini. Ada menteri yang
membersihkan piringnya dengan tisu,” cerita Kiai Taufiq sambil terus
membersihkan piringnya dengan tahu. “Beginilah cara kita mensyukuri nikmat
Allah. Jangan ada yang dimubadzirkan,” katanya.
Setelah selesai
makan, kami segera berpamitan. Atas bisikan Mas Zastrouw, kami ingin sekali
bisa foto bersama. Beruntung, beliau kerso difoto meskipun Mas Zastrouw
mewanti-wanti sekali lagi agar foto bersama tersebut tidak dipublikasikan untuk
menghormati Kiai Taufiq.
Tak lupa minta doa
beliau. Dalam perjalanan pulang menuju jalan raya, seorang teman berseloroh:
“Mursyid tarekat tapi santai banget. Ada adzan tidak terburu-buru sholat, tapi
memilih menghormati tamunya”.
Itulah cerita kecil
saat sowan ke Kiai Taufiq Pekalongan.
[]
Rumadi Ahmad, Ketua
Lakpesdam PBNU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar