Kerugian
Negara dalam Tipikor
Oleh:
Bambang Soesatyo
AKURASI
dan kecepatan menjadi tantangan baru dalam kerja pemberantasan korupsi, setelah
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan keharusan data actual loss keuangan atau
kerugian negara dalam penanganan kasus Tipikor.
Mau tak
mau, respons KPK, Polri, dan BPK atas putusan MK itu adalah penguatan
koordinasi, demi kecepatan dan akurasi kerja tim. Keputusan MK yang mewajibkan
data actual loss keuangan atau kerugian negara dalam penanganan kasus Tipikor
(tindak pidana korupsi) itu menghadirkan sejumlah konsekuensi logis dalam kerja
pemberantasan korupsi.
Seperti
diketahui, pada Rabu (25/1), MK memutuskan menghapus kata ”dapat” dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31/1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Konsekuensinya, delik korupsi yang
sebelumnya dipahami sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang
mensyaratkan ada akibat. Maka, dalam kasus Tipikor, faktor kerugian keuangan
negara harus nyata dan pasti.
Dengan
demikia n , KPK, Polri dan Jaksa Penuntut harus bisa menyajikan angka kerugian
negara sebelum menetapkan status sebuah Tipikor hingga ke persidangan. Bunyi
keputusan MK yang demikian ini tentu saja memancing perdebatan, khususnya di
kalangan pegiat antikorupsi. Dengan berbagai argumentasi yang berpijak pada
sejumlah pertimbangan hukum dan moral, keputusan MK itu dikhawatirkan akan
menghambat kerja pemberantasan korupsi.
Namun,
keputusan sudah dibuat dan wajib dilaksanakan oleh penegak hukum. Pasal 2 ayat
(1) UU Tipikor menetapkan: ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara —-dst.”
Adapun
Pasal 3 menetapkan: ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara ….dst.”
MK
berpendapat, frasa ”dapat” dalam pasal 2 (1) dan pasal 3 UU Tipikor itu
inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dua pasal itu menumbuhkan rasa takut di kalangan pejabat
pemerintah pengambil keputusan. Karena menjadi delik formil, dalam pratiknya
sering disalahgunakan oknum penegak hukum, antara lain melakukan kriminalisasi
dengan alasan dugaan penyalahgunaan wewenang.
MK pun
menegaskan, ”Kriminalisasi kebijakan terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata
”dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum.”
Memang, pertimbangan MK cenderung sebagai respons atas aspirasi atau langkah
pemerintah mendorong para pejabat di pusat dan daerah untuk berani menempuh
diskresi untuk mengakselerasi pembangunan, dan tidak takut dikriminalisasi.
Sering
Disalahgunakan
Menurut
MK, delik formil sebagai konsekuensi dari frasa ”dapat” sering disalahgunakan
untuk menyergap banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara,
termasuk diskresi yang belum ditemukan landasan hukumnya. Akibatnya, banyak
pejabat publik takut mengambil kebijakan, karena khawatir dikenakan pasal
Tipikor.
Kalau
dibiarkan, kecenderungan seperti ini bisa berdampak pada stagnasi proses
penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya
pertumbuhan investasi. Terlihat bahwa dalam memperbarui Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipiklor itu, pertimbangan MK tidak sektoral atau semata-mata
pertimbangan teknis hukum, melainkan pertimbangan yang menyeluruh.
MK coba
membangun kepastian hukum sambil mendorong pejabat pemerintah di semua
tingkatan untuk berani menggunakan wewenang menempuh diskresi dengan
pembangunan. Pada sisi yang lain, penguatan kedua pasal itu mendorong semua
penegak hukum untuk bertindak profesional, kredibel dan berintegritas agar
tidak lagi dicurigai melakukan kriminalisasi.
Seperti
halnya dengan ungkapan tebang-pilih, kata kriminalisasi yang popular dalam
beberapa tahun belakangan ini lebih dimaknai sebagai tuduhan atau kritik kepada
semua institusi penegak hukum. Ketika banyak pejabat pembuat keputusan takut
dikriminalisasi, persoalannya tentu menjadi lain dan tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut.
Maka,
keputusan MK atas dua pasal pada UU Tipikor itu bisa juga dipahami sebagai
jalan keluar pemecah kebuntuan. Proses menetapkan sebuah masalah sebagai kasus
Tipikor sudah berubah, tidak sesederhana seperti sebelumnya. Bahkan, kewenangan
penyidik untuk menetapkan sebuah kasus dengan pijakan ”diduga melakukan Tipikor
yang merugikan negara… sejatinya telah dicabut oleh keputusan MK melalui
perubahan atas dua pasal dalam UU Tipikor itu.
Penyidik
berwenang menetapkan kasus Tipikor setelah kasus Tipikor itu menyajikan fakta
kerugian negara yang nyata dan pasti. Boleh jadi, kerja pemberantasan korupsi
memerlukan rumusan strategi baru karena terkait dengan wewenang menghitung
kerugian negara akibat kasus Tipikor itu. Maka, baik KPK, Polri dan BPK harus
memperkuat koordinasi dan kerja sama, agar pemberantasan korupsi tidak
terhambat oleh ketentuan baru dari MK itu.
Bisa
dibuat kesimpulan bahwa penguatan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipiklor itu
bertujuan mendorong penegak hukum bekerja lebih keras pada tahapan investigasi
kasus dan pengumpulan dokumen-dokumen yang menjadi bukti kasus Tipikor. Hasil
investigasi dan pengumpulan dokumen belum cukup untuk menetapkan sebuah kasus
Tipikor. Penyidik harus berkoordinasi lagi dengan instansi yang berwenang dan
kapabel dalam menghitung dan memastikan adanya kerugian negara. []
SUARA
MERDEKA, 10 Februari 2017
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar