Memudarnya
Idealisme
Oleh: Ahmad
Syafii Maarif
Idealisme
dalam konteks tulisan ini adalah sebuah cita-cita suci dan mulia untuk
kepentingan masa depan kita semua, demi merawat kebinnekaan Indonesia sebagai
salah satu tonggak bagi keutuhan bangsa dan negara kepulauan ini. Para pendiri
bangsa jauh sebelum proklamasi 1945 memiliki idealisme itu, sekalipun bisa saja
pandangan politik mereka ditandai perbedaan-perbedaan yang tajam.
Tan
Malaka (1896-1949) misalnya adalah seorang idealis sejati untuk sebuah
Indonesia merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Tragedi pembunuhan yang
dialaminya tahun 1949 oleh oknum tentara telah menyisakan sebuah beban sejarah
yang sukar dihilangkan dari ingatan kolektif kita semua. Tan Malaka bersahabat
dengan Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Soedirman, dan dengan banyak tokoh yang
lain. Tetapi mengapa harus dibunuh? Teramat nista menghabisi nyawa seorang Tan
Malaka. Semoga sipembunuh ini telah menyesali perbuatan kejinya.
Berbeda
dengan banyak tokoh PKI lainnya yang memperlihatkan kesetian lebih kepada Moskow
atau kemudian Beijing, dalam diri Tan Malaka, ideologi internasionalismenya
menyatu dengan nasionalisme Indonesia dan tidak anti Islam. Sebagai pribadi
merdeka, Tan Malaka bisa bersitegang dengan Joseph Stalin karena tidak sudi
membungkuk, yang kemudian menjadi alasan baginya untuk menghindar dari pusat
komintern (komunis internasional) di Moskow.
Sewaktu
Hatta bertanya kepadanya sekitar tahun 1920-an di Negeri Belanda mengapa dia
menghindar, jawaban singkatnya dipadatkan menjadi: “Karena tulang punggung saya
lurus.” Komunisme di bawah diktator Stalin, menurut Tan Malaka, telah dibangun
menjadi kekuasaan perbudakan atas rakyat banyak. (Lih. Mohammad Hatta, Memoir.
Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 137. Idealisme Tan Malaka untuk sebuah
Indonesia merdeka dipertahankannya dengan seluruh kekuatan otak dan jiwanya
melalaui rentangan penderitaan yang panjang.
Tetapi
kita harus jujur bahwa semua kaum idealis itu tidak ada yang sempurna, pasti
mengidap virus kelemahan, termasuk Tan Malaka. Pada awal 1946, Persatuan
Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka yang menguasai KNIP (Komisi Nasional
Indonesia Pusat) menurut Jenderal Soedirman akan melakukan kudeta atas
pemerintahan Soekarno-Hatta-Sjahrir, tetapi tentara siap memukulnya. (Lih.
Memoir, hlm. 484-485). Rencana kudeta ini dalam penilaian saya adalah sebuah
blunder politik yang tidak layak dilakukan, apalagi usia republik saat
itu masih sangat muda.
Dengan
sedikit kekhilafan itu, sebaiknya politisi anyar Indonesia mau belajar kepada
Tan Malaka, anak bangsa kelahiran Suliki ini tentang bagaimana menjaga agar
idealisme tidak dirusak oleh pragmatsme politik yang kini sedang mewabah tanpa
kendali. Sekitar 60% pejabat atau mantan pejabat daerah telah lama jadi pasien
KPK, termasuk di antaranya jenis perempuan, kaum ibu yang semestinya punya
kepekaan lebih untuk tidak berbuat korupsi. Manakala kepekaan nurani kaum ibu sudah
tercemar, kepada siapa lagi bangsa harus mengadu?
Memudarnya
idealisme di negeri ini rasanya sudah merupakan gelombang besar, bukan lagi
riak-riak di sudut-sudut yang tersuruk. Kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius,
berkali-kali mengatakan kepada saya bahwa ketiadaan keteladanan menjadi pangkal
ketidakpercayaan publik kepada lembaga-lembaga resmi. Keteladanan hanya mungkin
ditunjukkan oleh mereka yang masih memelihara idealisme. Tanpa idealisme dan
keteladanan, berhentilah tuan dan puan berteriak tentang Pancasila dan Fasal 33
UUD 1945 atau berteriak atas nama Tuhan dengan menyembunyikan kepalsuan. Tidak
ada gunanya. Sia-sia.
Partai
politik, kejaksaan, dan lembaga kehakiman adalah contoh terburuk dari sisi
keteladanan ini. MK (Mahkamah Konstitusi) yang bertugas menguji setiap produk
undang-undang agar tidak menyimpang dari UUD malah merendahkan martabatnya
sendiri dengan kelakuan tak senonoh dari sebagian hakimnya. Sumbernya hanya
satu: pragmatisme konyol sesaat vs. idealisme. Sudah berapa bilangannya politisi
Indonesia yang meringkuk dalam penjara, sebagian bahkan ada yang meninggal
dalam masa tahanan, karena tidak mau menjaga martabat diri dan partainya
sebagai salah satu pilar demokrasi.
Sekarang
nyaris tidak ada lagi suku bangsa di Indonesia yang masih bisa dijadikan
teladan bagi tegaknya idealisme dan keteladanan. Ranah Minang yang dulu dikenal
sebagai salah satu suku yang dari rahimnya telah lahir para idealis
sejati yang jadi rujukan publik secara luas, kini sudah menjadi bagian dari
kultur Indonesia yang kumuh. Sekiranya Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Natsir,
Hamka, dan sederetan tokoh lain yang sudah wafat, dari alam sana mengintip
Indonesia dan Ranah Minang, pasti mereka tidak saja kecewa berat, tetapi
menyampaikan keluhan terdalam kepada Tuhan, mengapa semuanya ini berlaku.
Moral
dari tulisan ini: memudarnya idealisme tidak boleh dibiarkan meluncur terus,
sebab hari depan Indonesia bisa tenggelam dibuatnya, jika tidak bertindak
sekarang untuk memulihkan idealisme itu ke posisi tertinggi dalam cara kita
berbangsa dan bernegara! []
REPUBLIKA,
07 February 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar