Senin, 06 Februari 2017

Hasyim Muzadi: Jerat Mayor dan Minor



Jerat Mayor dan Minor
Oleh: KH. A. Hasyim Muzadi

Lihatlah ! Betapa jalinan kebangsaan kita sangat gampang dirobek-robek oleh berbagai kepentingan sesaat, sekelompok dan atau karena ambisi merebut atau melanggengkan kekuasaan. Yang lebih menyedihkan adalah ketika kohesi sosial robek akibat kebodohan kita. Berkali-kali situasi semacam ini terjadi atau dibuat terjadi, akibat kita tak pernah cerdas membaca isyarat kehidupan. Sejatinya, usia kebangsaan kita sudah cukup matang agar tetap bersekutu menjaga dan mempertahankan kebersamaan.

Sebagaimana disadari oleh para founding fathers, negeri kita lahir dan berdiri di atas landasan keberagaman. Demikian rentannya situasi itu, hingga perlu dibuat berbagai konsensus nasional. Kesepakatan-kesepakatan dibuat bertujuan untuk dapat merangkum semua yang terserak. Sebab, Indonesia ada karena menyatunya unsur-unsur berserakan ini. Di atas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, republik yang dicita-citakan didirikan.

Tali penyambung kebersamaan, lem perekat persatuan, rantai penyambung keberbedaaan, setiap saat harus diawasi, diperiksa dan segera diperbaiki jika ada bagian-bagian tertentu yang mulai melemah atau rusak. Yang mayoritas mengayomi dan menyayangi yang minoritas. Yang minoritas menghormati dan memahami situasi agar harmoni tetap terhadi. Sebab, bara mayoritas-minoritas sangat mudah dikipas agar muncul jilatan api kemarahan yang dapat melalap rumah kebangsaan kita.

Mayoritas-minoritas adalah keniscayaan. Yang jadi pekerjaan rumah kita adalah terus berupaya mendekatkan disparitas mayoritas miskin dengan minoritas kaya. Memberi kanal antara pemilik modal besar dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menyambung rasa antara umat Islam yang mayoritas dengan pemeluk agama lain, sudah menjadi kewajiban sejarah bangsa. Pasang surut terjadi. Syukur, kita selalu berhasil mjenyatukan sekat agama dengan bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Tetapi, menyambung hubungan harmonis antara minoritas pemilik modal raksasa dengan mayoritas kaum papa, selalu tidak mudah dilakukan. Kekerasan pecah akibat miskin-kaya, sering jadi penyebab luka yang setiap saat siap menganga. Amuk kaum buruh akibat dikangkangi pemilik modal, sering membuat sendi-sendi republik berderak. Siapa pemilik modal mayoritas di negeri ini, sudah banyak yang tahu. Siapa kelompok yang hanya menjadi alat produksi di negeri ini, kita juga mafhum.

Untuk menjaga agar gejolak sekecil apapun akibat perbedaan dapat dihindari, nyaris setiap hari, di tengah-tengah kita, selalu dikumandangkan teriakan betapa harmonisnya hubungan mayoritas-minoritas. Ajakan, seruan serta jargon agar mayoritas bersikap toleran, bahkan menjamin perlindungan terhadap minoritas, jadi fatwa sehari-hari. Ironisnya, jika hal tersebut tidak dapat diciptakan, mayoritas kerap ditempatkan pada posisi sebagai pihak yang intoleran dan tidak menjaga Bhinneka Tunggal Ika.

Secara kasat mata, fakta mayoritas-minoritas di Indonesia, paling tidak dapat dilihat dari dua varian. Ada mayoritas-minoritas dari sisi jumlah, ada mayoritas-minoritas dari segi potensi dan pemanfaatan peranan di Indonesia. Biasanya, kalau menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, itu langsung merujuk ke masyarakat pribumi. Kalau ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksud adalah umat Islam. Dengan demikian, selebihnya dari itu, disebut kelompok minoritas.

Harus disadari dan diakui bahwa praktik sistem ketatanegaraan yang cenderung liberalistik dalam politik, telah menyebabkan terciptanya sub-sistem ekonomi yang sentralistik. Ini mengakibatkan munculnya mayoritas dalam jumlah. Mayoritas dalam populasi dan jumlah pemeluk agama, berposisi minoritas di bidang ekonomi, bahkan kemampuan tata kelola nasional/internasional. Di sisi lain, minoritas populasi justeru punya potensi ekonomi jauh lebih besar dibanding mayoritas dalam jumlah populasi.

Mayoritas dalam populasi dan agama relatif telah melakukan toleransi dan memberi  perlindungan, sekalipun belum optimal. Untuk kasus-kasus tertentu yang terlanjur bereskalasi, memang sering masih jadi persoalan. Tapi yang belum terlihat di Indonesia adalah toleransi minoritas yang berkekuatan mayoritas di bidang ekonomi dan perananan, berbagi toleransinya kepada mayoritas yang rendah potensinya. Ini serius. Jika tak segera ditangani akan menyebabkan runtuhnya sendi persatuan.

Memang toleransi di bidang ekonomi dan peranan global tidak mungkin dengan sendirinya terjadi tanpa usaha keras dari negara dan bangsa. Kita sulit menunggu terjadinya homo homini sosius--ekonomi berwatak sosial, karena pada hakikatnya ekonomi bersifat homo homini lupus--eksploitasi dari ekonomi kuat kepada ekonomi yang lemah. Ada beberapa hal yang mesti dapat perhatian serius agar kesenjangan ekonomi tak menyebabkan hancurnya kebangsaan kita.

Paling kurang, ada beberapa syara berat untuk menciptakan homo homini sosius di bidang ekonomi. Misalnya, sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan konstitusi, serta perangkat aturan perundangan di Indonesia, harus menjamin terselenggaranya aspek pemerataan. Penyelenggara negara harus bersikap konsisten dalam menjalankan jalur-jalur pemerataan. Memang ini tak akan mudah, karena menyangkut kepentingan dan keinginan individu-individu di dalam menumpuk kekayaan.

Yang tak kalah penting adalah kesiapan mental ekonomi kerakyatan, skill, dan kesempatan yang sama di dalam mencari rejeki serta perlindungan usaha-usaha kecil. Hal-hal tersebut merupakan syarat mutlak bagi terciptanya pemerataan dan kemakmuran untuk semua rakyat Indonesia. Sedangkan ekonomi global yang sebelum tahun 1992 masih terbagi menjadi blok timur yang proletar dan blok barat yang kapitalistik, sudah melewati sejarahnya.

Pascaperang dingin, bentuk hubungan antarnegara sudah bersifat monopolar (satu pola pemikiran), tidak lagi bipolar yang mempertentangkan proletariat sosialis dan kapitalistik imperialis. Mereka dipersatukan oleh filsafat materialisme yang sesungguhnya merupakan induk dan akar yang sama dari dua kutub kapitalis dan proletariat. Negara Tiongkok yang semula mendengungkan proletariatisme, misalnya, telah menjelma investor dan agresor ekonomi ke seluruh negara.

Negeri Tirai Bambu hampir mengalahkan dominasi Amerika Serikat. Agresi Barat dan Timur yang besatu mencari sumber-sumber ekonomi dunia, menyasar negara-negara yang kaya sumber daya alam (SDA). Indonesia adalah salah satu sararan. Yang menjadi bahan renungan kita ke depan adalah di mana posisi Indonesia di dalam perebutan potensi ekonomi tersebut. Seberapa kuatkah pertahanan kita sehingga semua milik kita akan tetap jadi milik kita? Wallaahu A’lam Bishshowaab. []

REPUBLIKA, 05 Februari 2017
Hasyim Muzadi | Mantan Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar