Jumat, 03 Februari 2017

Azyumardi: Trump dan Islam (2)



Trump dan Islam (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Langkah dan perintah eksekutif (executive order) kebijakan awal Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump, telah menciptakan ketegangan baru di berbagai lini; di AS sendiri dan juga dunia internasional. Trump menampilkan sikap konfrontatif bukan hanya pada Islam dan kaum Muslim, tetapi juga pada China, Meksiko, dan juga banyak sekutu Eropa-nya.

Jika ada kalangan masyarakat dunia yang senang dengan Donald Trump sejak masa kampanye dan setelah dilantik menjadi Presiden Amerika, mereka adalah kelompok radikal seperti bhiksu Myanmar dan para pemimpin politik sayap kanan Eropa seperti Le Pen (Prancis) atau Wilder Geert (Belanda. Mereka dengan segera berkonsolidasi untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari momentum yang diciptakan Donald Trump.

Dalam keadaan ini, para pemimpin agama seperti Paus Francis dan politik semacam Kanselir Jerman Angela Merkel, yang moderat dan penganjur hubungan internasional lebih damai dan adil berada dalam posisi defensif. Sayang, mereka ini belum melakukan langkah konsolidatif. Nampaknya mereka masih menunggu perkembangan lebih lanjut dan tidak mau terlibat dalam konfrontasi dengan pemerintah Donald Trump.

Sikap dan kebijakan Presiden Donald Trump yang Islamofobia khususnya terlihat jelas dari perintah eksekutif yang dia tandatangani pekan lalu (27/1/2017). Pertama adalah pelarangan masuk AS warga tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu, Iran, Syria, Iraq, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. Alasannya, banyak warga keenam negara ini terlibat dalam radikalisme dan terorisme.

Keputusan Trump lebih terbatas dibandingkan dengan pernyataannya di waktu kampanye. Ketika itu, dia menyatakan bakal melarang masuknya penganut Islam secara keseluruhan. Meski ‘relatif terbatas’, tetap saja dampaknya sangat luas. Akibatnya banyak pendatang Muslim dari keenam negara tersebut terlunta-lunta di banyak bandara internasional Amerika. Mereka kemudian dikembalikan ke negara masing-masing.

Trump juga menghentikan penerimaan pengungsi Suriah. Meski demikian, dia mengecualikan pengungsi Suriah yang berasal dari komunitas minoritas, yaitu tegas penganut Nasrani. Sekali lagi, Trump menunjukkan sikapnya yang menjadikan kaum Muslim sebagai target.

Kedua keputusan Trump ini secara jelas memperlihatkan persepsi dan sikapnya yang menggeneralisasi bahwa terorisme terkait dengan kaum Muslimin-Islam. Padahal jelas, mayoritas terbesar kaum Muslimin adalah orang-orang yang damai. Lagi pula, teroris bisa berasal dari kelompok masyarakat negara atau komunitas keagamaan manapun.

Bagaimanapun, langkah pemerintah Trump yang anti-Muslim/Islam telah membuka fron baru, tidak hanya dengan Muslimin di keenam negara Muslim tersebut, tetapi juga dengan kaum Muslim di banyak tempat lain, termasuk di AS sendiri. Gelombang protes besar terjadi di banyak kota Amerika, Eropa, dan Australia. Dalam skala lebih kecil protes juga terjadi di berbagai kota Asia.

Walaupun gelombang protes juga datang dari banyak dari warga Amerika sendiri terhadap Presiden Trum, semangat dan sikap anti-Amerikanisme dapat kembali meningkat di berbagai masyarakat negara. Sikap anti-Amerikanisme selanjutnya dapat berujung pada tindakan dan aksi radikal terhadap berbagai kepentingan Amerika.

Dengan demikian, Donald Trump tengah membawa masyarakat dunia ke arah ketegangan dan konflik baru yang tidak menguntungkan pihak manapun. Pihak yang ‘menangguk ikan di air keruh’ hanya kelompok-kelompok konservatif kanan radikal yang ada di berbagai negara baik di Barat sendiri maupun di Dunia Islam.

Bagaimana kaum Muslimin seharusnya menyikapi langkah Presiden Trump yang konfrontatif itu? Pertama, kaum Muslimin di berbagai penjuru—baik di AS sendiri, Eropa, Australia maupun di Dunia Islam—sepatutnya memperkuat kerja sama dan jaringan dengan masyarakat lain yang juga menolak langkah Presiden Trump.

Pada saat yang sama, setiap dan seluruh Muslim menjauhkan diri dari aksi-aksi kekerasan terhadap orang, aset dan fasilitas Amerika di berbagai tempat dunia. Aksi semacam itu hanya membuat upaya menegakkan hubungan antar-negara dan dan antar-komunitas yang berbeda negara, budaya, dan agama menjadi kian sulit.

Tak kurang pentingnya, bagi kaum Muslim Amerika khususnya, langkah Presiden Trump hendaknya disikapi dengan sabar, tetapi tetap pro-aktif. Ujian dan tantangan dari Presiden Trump tidak bisa menghentikan pertumbuhan Islam dan Muslimin di Amerika.

Seperti pernah ditegaskan Presiden Barack Obama sebelumnya, Islam dan Muslimin Amerika merupakan bagian integral negara-bangsa Amerika. Karena itu, jangan terperangkap jebakan Trump menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Sekali lagi, kaum Muslimin seyogyanya tidak terpancing dengan langkah Trump yang konfrontatif dan provokatif tersebut yang pada gilirannya merugikan Muslim dan Islam. []

REPUBLIKA, 02 February 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar