Trump dan
Islam (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Langkah
dan perintah eksekutif (executive
order) kebijakan awal Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump,
telah menciptakan ketegangan baru di berbagai lini; di AS sendiri dan juga
dunia internasional. Trump menampilkan sikap konfrontatif bukan hanya pada
Islam dan kaum Muslim, tetapi juga pada China, Meksiko, dan juga banyak sekutu
Eropa-nya.
Jika ada
kalangan masyarakat dunia yang senang dengan Donald Trump sejak masa kampanye
dan setelah dilantik menjadi Presiden Amerika, mereka adalah kelompok radikal
seperti bhiksu Myanmar dan para pemimpin politik sayap kanan Eropa seperti Le
Pen (Prancis) atau Wilder Geert (Belanda. Mereka dengan segera berkonsolidasi
untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari momentum yang diciptakan Donald
Trump.
Dalam keadaan
ini, para pemimpin agama seperti Paus Francis dan politik semacam Kanselir
Jerman Angela Merkel, yang moderat dan penganjur hubungan internasional lebih
damai dan adil berada dalam posisi defensif. Sayang, mereka ini belum melakukan
langkah konsolidatif. Nampaknya mereka masih menunggu perkembangan lebih lanjut
dan tidak mau terlibat dalam konfrontasi dengan pemerintah Donald Trump.
Sikap dan
kebijakan Presiden Donald Trump yang Islamofobia khususnya terlihat jelas dari
perintah eksekutif yang dia tandatangani pekan lalu (27/1/2017). Pertama adalah
pelarangan masuk AS warga tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu,
Iran, Syria, Iraq, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. Alasannya, banyak warga
keenam negara ini terlibat dalam radikalisme dan terorisme.
Keputusan
Trump lebih terbatas dibandingkan dengan pernyataannya di waktu kampanye.
Ketika itu, dia menyatakan bakal melarang masuknya penganut Islam secara
keseluruhan. Meski ‘relatif terbatas’, tetap saja dampaknya sangat luas.
Akibatnya banyak pendatang Muslim dari keenam negara tersebut terlunta-lunta di
banyak bandara internasional Amerika. Mereka kemudian dikembalikan ke negara
masing-masing.
Trump
juga menghentikan penerimaan pengungsi Suriah. Meski demikian, dia
mengecualikan pengungsi Suriah yang berasal dari komunitas minoritas, yaitu
tegas penganut Nasrani. Sekali lagi, Trump menunjukkan sikapnya yang menjadikan
kaum Muslim sebagai target.
Kedua
keputusan Trump ini secara jelas memperlihatkan persepsi dan sikapnya yang
menggeneralisasi bahwa terorisme terkait dengan kaum Muslimin-Islam. Padahal
jelas, mayoritas terbesar kaum Muslimin adalah orang-orang yang damai. Lagi pula,
teroris bisa berasal dari kelompok masyarakat negara atau komunitas keagamaan
manapun.
Bagaimanapun,
langkah pemerintah Trump yang anti-Muslim/Islam telah membuka fron baru, tidak
hanya dengan Muslimin di keenam negara Muslim tersebut, tetapi juga dengan kaum
Muslim di banyak tempat lain, termasuk di AS sendiri. Gelombang protes besar
terjadi di banyak kota Amerika, Eropa, dan Australia. Dalam skala lebih kecil
protes juga terjadi di berbagai kota Asia.
Walaupun
gelombang protes juga datang dari banyak dari warga Amerika sendiri terhadap
Presiden Trum, semangat dan sikap anti-Amerikanisme dapat kembali meningkat di
berbagai masyarakat negara. Sikap anti-Amerikanisme selanjutnya dapat berujung
pada tindakan dan aksi radikal terhadap berbagai kepentingan Amerika.
Dengan
demikian, Donald Trump tengah membawa masyarakat dunia ke arah ketegangan dan
konflik baru yang tidak menguntungkan pihak manapun. Pihak yang ‘menangguk ikan
di air keruh’ hanya kelompok-kelompok konservatif kanan radikal yang ada di
berbagai negara baik di Barat sendiri maupun di Dunia Islam.
Bagaimana
kaum Muslimin seharusnya menyikapi langkah Presiden Trump yang konfrontatif
itu? Pertama, kaum Muslimin di berbagai penjuru—baik di AS sendiri, Eropa,
Australia maupun di Dunia Islam—sepatutnya memperkuat kerja sama dan jaringan
dengan masyarakat lain yang juga menolak langkah Presiden Trump.
Pada saat
yang sama, setiap dan seluruh Muslim menjauhkan diri dari aksi-aksi kekerasan
terhadap orang, aset dan fasilitas Amerika di berbagai tempat dunia. Aksi
semacam itu hanya membuat upaya menegakkan hubungan antar-negara dan dan
antar-komunitas yang berbeda negara, budaya, dan agama menjadi kian sulit.
Tak
kurang pentingnya, bagi kaum Muslim Amerika khususnya, langkah Presiden Trump
hendaknya disikapi dengan sabar, tetapi tetap pro-aktif. Ujian dan tantangan
dari Presiden Trump tidak bisa menghentikan pertumbuhan Islam dan Muslimin di
Amerika.
Seperti
pernah ditegaskan Presiden Barack Obama sebelumnya, Islam dan Muslimin Amerika
merupakan bagian integral negara-bangsa Amerika. Karena itu, jangan
terperangkap jebakan Trump menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Sekali lagi, kaum
Muslimin seyogyanya tidak terpancing dengan langkah Trump yang konfrontatif dan
provokatif tersebut yang pada gilirannya merugikan Muslim dan Islam. []
REPUBLIKA,
02 February 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar