Ambang
Batas dalam Pemilu
Oleh: Moh
Mahfud MD
Apakah
rencana sebagian partai politik di DPR untuk memberlakukan sistem proporsional
tertutup dalam pemilihan umum legislatif tidak melawan putusan Mahkamah
Konstitusi? Apakah keinginan parpol-parpol untuk memberlakukan threshold
(ambang masuk, ambang batas) dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden
juga tidak bertentangan dengan putusan MK? Bukankah putusan MK bersifat final
dan mengikat?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang sering kita dengar terkait pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kini
sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertanyaan-pertanyaan
itu wajar muncul karena dua hal. Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor
22-23/PUU-VI/2008, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 dan 2014 diberlakukan
sistem proporsional terbuka atau keterpilihan anggota legislatif berdasarkan
urutan suara terbanyak. Kedua, berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
pada Pemilu 2019, pileg dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres)
harus dilaksanakan secara serentak. Artinya, dilaksanakan pada hari yang sama
sehingga tidak diperlukan adanya threshold.
Pilihan
terbuka
Sebenarnya,
jika dibaca secara cermat, putusan-putusan MK tersebut sama sekali tidak
menentukan apakah pemilu legislatif itu harus menggunakan sistem proporsional
terbuka atau tertutup. Begitu juga MK tidak menentukan apakah Pilpres 2019
harus memakai atau tidak memakai threshold. Menurut putusan MK, kedua hal
tersebut merupakan opened legal policy atau pilihan politik hukum yang terbuka.
Artinya, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU (legislatif) bebas untuk
menentukan sendiri sebagai hak legislasi.
Ketika
memutus berlakunya pemilu dengan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2009
melalui putusan No 22-23/PUU-VI/2008, sebenarnya bukan MK yang memberlakukan
sistem tersebut. Pada waktu itu yang memberlakukan adalah DPR dan pemerintah
sendiri melalui ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan
bahwa pemilu legislatif "dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka"
Adapun MK hanya mencoret prasyarat ambang batas yang dianggap tidak adil.
Pada
waktu itu UU No 10/2008 melalui Pasal 214, pada pokoknya, menentukan bahwa
anggota legislatif terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak secara
berurutan dari antara para calon anggota legislatif (caleg) yang meraih suara
"sekurang-kurangnya 30 persen" dari bilangan pemilih pembagi (BPP) di
daerah pemilihan yang bersangkutan.
Jika
tidak ada yang mencapai lebih dari 30 persen atau ada lebih dari satu calon
yang mendapat lebih dari 30 persen dari BPP, keterpilihan anggota legislatif
ditentukan berdasarkan nomor urut dari yang terkecil. MK mencoret syarat 30
persen tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip "adil"
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Sungguh
tidak adil jika si Suparman yang hanya mendapat 350 suara menjadi anggota
legislatif terpilih karena dia berada di nomor urut pertama dan menyingkirkan
si Suparmin yang mendapat suara 70.000 yang berada di nomor urut ke-4
hanya karena jumlah 70.000 tersebut tidak mencapai 30 persen dari BPP
yang, misalnya, sebesar 215.000 suara. Oleh sebab itu, MK membatalkan syarat 30
persen tersebut tanpa membatalkan sistem pemilu yang telah ditetapkan sendiri
oleh lembaga legislatif.
Bagi MK,
sistem pemilu yang ditetapkan oleh lembaga legislatif-apakah sistem
proporsional atau sistem distrik-adalah konstitusional sepanjang tidak
dimanipulasi dengan syarat-sayarat yang tidak fair. Jadi, seumpama pun lembaga
legislatif menetapkan sistem proporsional tertutup tidaklah bertentangan dengan
konstitusi kita. MK tidak punya hak untuk membatalkan pilihan sistem yang
bersifat opened legal policy tersebut karena keduanya, di mana pun di dunia,
tak pernah dianggap inkonstitusional.
Pemilu
serentak
Hal yang
sama berlaku pada putusan MK yang mewajibkan agar Pemilu (legislatif) dan
Pilpres 2019 dilakukan secara serentak. Dalam putusannya itu MK tidak
menentukan apakah pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden
harus disertai dengan presidental threshold atau tidak. MK hanya memutuskan
Pemilu dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara serentak (pada hari yang
sama) sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) para pembentuk
UUD. Meskipun begitu, penafsiran yang lebih tepat dari original intent ini
adalah tidak adanya presidental threshold sesuai dengan perdebatan dan simulasi
tentang adanya kotak-kotak suara ketika pembentuk UUD memperdebatkan
pasal-pasal tentang pemilihan umum.
Asumsi
utamanya jika pemilu (legislatif) dan pilpres dilaksanakan serentak, tentu
jumlah kursi di DPR atau dukungan suara yang dimiliki oleh parpol-parpol
peserta pemilu belum ada yang bisa dipergunakan untuk menentukan threshold.
Sebab, pemilu untuk merebut kursi DPR atau meraih dukungan tersebut masih akan
berlangsung. Akan tetapi, di dalam Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 ditentukan juga
bahwa: "Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur
lebih lanjut dengan undang-undang".
Melalui
ketentuan inilah kemudian ada yang berpendirian pembentuk UU bisa menentukan
threshold berdasarkan hasil pemilu sebelumnya sebagai sayarat pengajuan calon.
Perolehan kursi pada pemilu sebelumnya dianggap sebagai bukti adanya
kepercayaan rakyat bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Pilihan
yang lebih aman
Jadi,
putusan MK tentang sistem pemilu legislatif dan threshold dalam pilpres
merupakan pilihan politik hukum terbuka. Artinya, diserahkan kepada lembaga
legislatif untuk menetapkannya. Dalam posisi yang seperti itulah di
tengah-tengah masyarakat muncul pandangan yang diklaim lebih obyektif dalam
arti didiskusikan oleh pihak yang netral dari kepentingan dan kelompok-kelompok
politik yang kemudian menunjuk pilihan yang dianggap lebih baik.
Hasil
kajian Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN), misalnya, menyimpulkan bahwa sistem proporsional terbuka dalam
pemilu legislatif dianggap lebih demokratis dan tidak mengecoh pemilih dan para
calon anggota legislatif itu sendiri. Sementara mengenai pilpres, asosiasi
tersebut lebih mendorong ditiadakannya threshold. Pengaturan pilpres tanpa
threshold di dalam UU Penyelenggaraan Pemilu, selain dinilai lebih sesuai
dengan original intent rumusan Pasal 6A Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, juga
dipastikan lebih aman dari gugatan atau upaya penguji materi (judicial review)
ke Mahkamah Konstitusi oleh partai-partai peserta pemilu.
Partai-partai
baru dan kecil akan langsung menerima isi UU tersebut karena merasa hak-hak
konstitusionalnya tidak dirampas. Sementara partai-partai besar juga tidak akan
mengajukan uji materi karena telah ikut membahas dan memutuskan isi UU
tersebut. Meskipun begitu, keputusan pilihan politik hukumnya tetap
terletak di tangan lembaga legislatif yang kini sedang membahas RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum tersebut di DPR. []
KOMPAS,
10 Februari 2017
Moh
Mahfud MD | Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi Periode
2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar