Standardisasi
Khatib (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Gagasan
tentang perlunya standardisasi khatib (agaknya termasuk juga ustaz, mubaligh,
dai, dan penceramah Islam lain) marak dalam pekan terakhir. Hal ini terkait
dengan pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengisyaratkan
perlunya standardisasi khatib tersebut.
Menurut
Menag, wacana tentang ide atau gagasan tentang standardisasi khatib bukanlah
baru; sebenarnya wacana itu adalah untuk merespons aspirasi yang berkembang di
kalangan organisasi masyarakat (ormas) Islam dan tokoh-tokoh umat sendiri.
“Mereka ingin pemerintah juga ikut hadir dalam menjamin kualitas mutu khutbah
Jumat yang menjadi bagi tak terpisahkan dari shalat Jumat,” kata Menag (Republika, 1/2/2017).
Menag
Lukman Hakim Saifuddin benar. Gagasan dan wacana tentang perlunya khatib
memiliki standardisasi dan kualifikasi tertentu sudah ada sedikitnya sejak
zaman Orde Baru. Bahkan juga ada suara-suara yang mengusulkan tentang perlunya
khatib dan juru dakwah lain memiliki semacam lisensi atau “SIM” untuk
berkhutbah atau “SIK” (surat izin khutbah).
Tetapi
jelas, berbagai gagasan tersebut tidak berhasil. Ormas-ormas Islam beserta
lembaga dakwah dan para khatib beserta juru dakwah lain menentang gagasan
tersebut. Karena itulah, sampai sekarang khatib dan juru dakwah lain bebas dan
mandiri menyampaikan khutbah dan ceramah agama tanpa harus ada standardisasi
atau kualifikasi tertentu apalagi SIK.
Menangggapi
wacana yang kembali muncul dalam pekan terakhir ini, di dalam masyarakat
khususnya pimpinan dan ormas dan juru dakwah (khususnya khatib) berkembang
beragam pandangan-yang pro dan kontra. Juga ada berkembang anggapan tentang
indikasi usaha pemerintah-dalam hal ini Kemenag-untuk melakukan semacam
“sertifikasi” khatib.
Dalam
konteks terakhir ini, sekali lagi, sertifikasi dipahami kalangan pimpinan ormas
Islam sebagai “lisensi” atau semacam “SIM khatib”. Tegasnya, khatib yang ingin
memberi khutbah Jumat wajib mendapatkan lisensi atau “surat izin khutbah” (SIK)
dari pihak berwenang semacam Kemenag-seperti disebut di atas.
Jika
sertifikasi dalam bentuk semacam itu yang bakal dilakukan, kalangan ormas,
lembaga dakwah, dan khatib banyak yang keberatan. Alasannya, sertifikasi
semacam itu bukan hanya membatasi para khatib (dan juga juru dakwah lain),
tetapi juga dapat menghilangkan kebebasan berdakwah. Padahal, Islam mengajarkan
kewajiban berdakwah bagi setiap dan seluruh penganutnya.
Wajibnya
khatib dan juru dakwah lain memiliki sertifikasi, sekali lagi, sebenarnya bukan
hal baru. Kecuali Indonesia, hampir di seluruh negara di dunia Muslim khatib
wajib memiliki lisensi (SIK). Sebagai contoh, lisensi khatib di Mesir
diterbitkan Direktorat Jenderal Dakwah al-Azhar, di Malaysia dikeluarkan
Jabatan Kebajikan Islam Malaysia (Jakim) atau lembaga kemuftian kerajaan
negeri.
Untuk
mendapatkan sertifikasi, khatib mesti memenuhi kualifikasi tertentu.
Pertama-tama, mereka harus memahami bukan hanya ajaran Islam dalam berbagai
aspeknya sesuai dengan pemahaman dan keislaman yang sudah disetujui ortodoksi
dan otoritas agama resmi. Kekuasaan keagamaan ini lazimnya merupakan bagian
integral kekuasaan negara.
Tak
kurang pentingnya, khatib mesti menguasai tata tertib khutbah, pendekatan dan
cara menyampaikan khutbah, dan bahasa yang digunakan. Mereka juga harus
mengikuti dan sesuai dengan kebijakan kekuasaan politik yang ada; tidak boleh
ada kalimat atau pernyataan berbeda-apalagi menentang-penguasa atau
kebijakannya.
Bukan
sampai di situ. Di Malaysia, misalnya, khatib tidak dibenarkan menyampaikan
khutbahnya sendiri. Sebaliknya, khatib harus atau tinggal membaca teks khutbah
yang sudah disiapkan Jakim atau lembaga kemuftian kerajaan negeri. Karena itulah
khutbah di negeri jiran ini wajib mengandung pujian dan doa bagi
penguasa-terutama raja atau sultan-dan sekaligus dukungan terhadap kebijakan
politiknya.
Implikasi
kenyataan ini terhadap khatib dan juru dakwah jelas; dan itu sangat pahit. Di
Mesir, misalnya, setelah berkuasanya kembali militer di bawah pimpinan Jenderal
Abdel Fatah el-Sisi (berkuasa sejak Juni 2014), lisensi khutbah dan memberikan
ceramah bagi pimpinan, anggota, dan simpatisan al-Ikhwan al-Muslimun dibatalkan
al-Azhar. Alasannya, khatib-khatib Ikhwan ini menggunakan mimbar khutbah untuk
provokasi politik melawan pemerintah militer.
Indonesia
tak ragu lagi adalah medan dakwah yang bebas dan luas. Kebebasan itu sudah ada
sejak zaman kesultanan, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan
pasca-kemerdekaan sampai sekarang. Para penguasa yang berbeda-beda sesuai
masanya membiarkan khutbah dan ceramah agama tanpa banyak usaha mengendalikan
dan membatasinya.
Mengapa
demikian? Khususnya zaman Belanda, para khatib dan juru dakwah lain sengaja
menghindari diri dari menyampaikan khutbah politik, misalnya, menyerukan dari
mimbar khutbah perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda. Khutbah
lebih banyak diarahkan para khatib untuk memperkuat keimanan dan keislaman
dengan berbagai lembaga Islam yang ada. []
REPUBLIKA,
09 February 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar