Selasa, 28 Februari 2017

Kang Sobary: Pemimpin dan Revolusi Mental



Pemimpin dan Revolusi Mental
Oleh: Mohamad Sobary

“IKUTI saya. Ini jalan yang harus kita tempuh.” Kata salah seorang dalam suatu rombongan pejalan kaki yang menyeberangi rawa, hutan, desa demi desa yang banyak jumlahnya, dan luas wilayahnya. Mereka sudah lelah, tenaga sudah nyaris habis ketika mereka tersesat. 

Kini rombongan itu ada di suatu tempat yang dapat  disebut 'in the middle of nowhere,' jauh dari utara, jauh dari selatan, jauh dari barat maupun timur. Posisi mereka pun jauh dari desa, jauh dari kota maupun dari tempat-tempat  yang didiami manusia.

Biasanya mereka bergurau dan dengan nyaman menertawakan diri sendiri tapi saat itu lain. Semua merasa begitu tegang, begitu ‘hopeless’, karena sudah lama tersesat.

Tiap pihak menyatakan pemikiran mengenai arah yang harus mereka tempuh, dan pemikiran itu diwujudkan. Tapi tiap saat, berkali-kali, mereka kembali ke situ-situ juga. Seolah mereka tak punya lagi jalan keluar.

Salah seorang dari mereka menenangkan diri sejenak. Kemudian, dia meminum seteguk air dari sungai kecil yang mengalir jernih dari sumbernya di bawah pohon besar tak jauh dari tempat mereka merasa kehilangan harapan.

Dialah orang yang dengan teguh dan penuh percaya pada diri sendiri mengajak kawan-kawannya untuk mengikutinya seperti disebut di awal tulisan ini.

“Ikut kau ke mana?” tanya salah seorang yang tak mampu lagi membayangkan adanya jalan keluar yang dapat mereka tempuh.

“Ke arah ini.” Jawabnya sambal menunjuk ke suatu jalan kecil, jalan tikus, yang tadi sudah mereka lalui.

“Tadi kita sudah melewati jalan kecil itu.”

“Tapi kita tadi menempuhnya dari arah sana tanpa berbelok. Kita akan berbelok ke kanan. Lurus ke kanan. Ini jalan yang harus kita tempuh.”

“Apa kau yakin?”

“Tidak. Kita tak harus yakin. Tapi saya punya apa yang sering disebut naluri, mungkin lebih baik disebut dengan nama ‘guts feeling’ yang mengatakan  inilah satu-satunya jalan keluar dari tempat ini.”

“Kalau begitu kau yakin, bukan?” kata salah seorang yang sejak tadi mulai merasa tertarik pada ucapan sahabatnya itu.

“Terserah mau disebut apa. Yakin atau tidak bagi saya  tak begitu penting selain rasa menggetarkan jiwa bahwa ini jalan keluar yang harus kita tempuh.”

“Kalau begitu tempuhlah jalan itu sendirian. Kau akan kembali ke sini lagi,” jawab yang lain, yang sudah ‘skeptis’ merasakan nasibnya.

“Kalau begitu silakan kau tinggal di sini. Siapa mau ikut saya?”

Beberapa orang angkat tangan. Makin lama makin banyak yang hendak mengikutinya.

“Jangan sia-siakan umur kita untuk terombang-ambing dalam keputusasaan.” Kata sang penemu jalan keluar itu.

Akhirnya semua mengikutinya bukan karena yakin akan kebenaran arah yang mereka tempuh tapi karena semata-mata tidak enak kalau perdebatan itu diperpanjang tanpa hasil. Dan benar. Sesudah melalui jalan berkelok-kelok, dan menempuh banyak tikungan, mereka menemukan jalan keluar yang dikatakan tadi.

***
Kisah rekaan di atas menggambarkan bahwa ketika suatu kelompok, atau suatu komunitas, atau suatu warga masyarakat merasa berhadapan dengan jalan buntu untuk menata kehidupan mereka, mungkin secara alamiah akan selalu tampil seseorang yang menawarkan solusi.

Boleh jadi tak banyak yang percaya pada tawarannya. Boleh jadi tawaran itu bahkan dianggap pemikiran “gila”. Tapi orang tersebut tak gentar menghadapi aneka macam sikap yang menentangnya. Dia “jalan terus”. Dia tak peduli pada  para penentangnya.

Rasa, ‘guts feeling’, atau fenomena kejiwaan sejenis itu, memang sukar dijelaskan secara rasional. Namanya juga perasaan. Apa yang sukar dijelaskan dengan kata-kata itu bisa diwujudkan dalam suatu tindakan yang kemudian mengejutkan banyak orang.

Pemimpin sejati tak usah terpesona pada apa yang kemudian menjadi kejutan. Orang awam  memang gemar terkejut. Kesenangannya menyangkal pendirian orang lain tapi ketika pendirian itu benar, mereka terkejut tadi. Kaum awam, pengikut, dan bukan pemimpin, memang begitu wataknya.

Ada kalanya tampil sikap kritis, yang  disertai perasaan  paling benar sendiri tapi pemimpin sejati yang jiwanya sudah dicerahi oleh gagasan kepemimpinan untuk mengubah kemapanan hidup tak peduli akan sikap macam itu.

Dia paham, pemimpin itu tugasnya memimpin. Dan tugas memimpin itu dalam suatu urusan tertentu “dibimbing” atau mungkin “dibisiki” oleh suara kebenaran yang nyaris tak terdengar, kecuali oleh mereka yang memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan begitu jelas, pemimpin wajib memiliki sensitivitas yang tinggi.

Dengan sensitivitas itu sang pemimpin “membawa” orang-orang yang dipimpin menuju suatu cara hidup baru, suatu tatanan baru, atau kiblat baru yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Di dalam konteks revolusi mental,  pemimpin mengubah “dunia” kita ini menuju suatu “dunia” baru.

Revolusi mental mengubah hidup kita menjadi sesuatu yang baru, yang lebih adil, lebih manusiawi dan yang adil dan manusiawi itu merupakan hidup yang benar. Mungkin, dengan kata lain, hidup yang dicercahi kebenaran.

Apalagi yang lebih indah dibanding dengan hidup yang adil, manusiawi dan dicerahi kebenaran? Jika dibalik, hidup yang dituju itu hidup yang benar, manusiawi dan adil. Dalam konteks kenegaraan, hidup yang benar, adil, dan manusiawi itu tecermin di dalam kehidupan birokrasi di mana pemimpin memberi pelayanan kepada pihak yang dipimpin.

Benar, adil, dan manusiawi itu terwujud jika rakyat memperoleh apa yang dijanjikan di dalam konstitusi kita. Rakyat memiliki hak konstitusi untuk dibikin makmur dan pemerintah melayani kebutuhan memakmurkan rakyat tersebut.

Sejak lama pemerintah kita memiliki utang konstitusional pada rakyat, dan revolusi mental berusaha menunjukkan  semangat membayar utang itu. Membayar utang itu kini merupakan kewajiban pemimpin yang menyadari bahwa memimpin bukan sekadar dengan omong dan memberi janji berupa kata-kata, tetapi melayani, dan melayani, dengan tindakan nyata untuk membikin rakyat merasa punya pemimpin. []

KORAN SINDO, 27 Februari 2017
Mohamad Sobary | Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar