Turki
Versus NIIS
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Serangan
bom bunuh diri oleh Negara Islam di Irak dan Suriah di Gaziantep, Turki, Selasa
(23/8), yang menewaskan 51 orang, dibalas Pemerintah Turki dengan melakukan
operasi militer besar-besaran ke Jarablus, wilayah Suriah yang berbatasan
langsung dengan Turki. Wilayah ini ditengarai sebelumnya berada di bawah
kekuasaan NIIS.
Pemerintah
Turki mengklaim menguasai penuh wilayah itu. Turki ingin memastikan bahwa NIIS
tak boleh lagi mengganggu keamanan dalam negeri Turki. Perang melawan NIIS
telah jadi prioritas utama Pemerintah Turki karena dalam setahun terakhir NIIS
terbukti menjadi ancaman serius bagi keamanan Turki.
Dalam
tiga tahun terakhir, NIIS berhasil memorakporandakan Turki. Setidaknya 46 orang
tewas dalam serangan NIIS yang sangat mematikan di Bandara Istanbul.
Sebelumnya, masih pada 2016, NIIS melancarkan dua kali serangan, termasuk di
Alun-alun Sultan Ahmet yang menewaskan 12 orang. Pada 2015, setidaknya bom
menewaskan 100 orang di kereta bawah tanah Ankara, dalam sebuah parade suku
Kurdi. Pada tahun 2013, sekitar 50 orang tewas dalam bom bunuh diri di
Reyhanli, wilayah perbatasan Turki dengan Suriah.
Menurut
Mustafa Akyol (2016), pada mulanya pihak yang hendak disasar NIIS adalah suku
Kurdi dan turis asing. Namun serangan yang terjadi dalam beberapa bulan
terakhir membuktikan, NIIS sudah tak lagi menyasar Kurdi saja, melainkan telah
menjadikan warga Turki secara umum sebagai musuhnya. Konsekuensinya, Turki
melakukan perlawanan serius atas NIIS.
Mesra
Pada
mulanya, relasi Turki dan NIIS relatif mesra. Sejak berdiri pada 2013, NIIS
hampir tidak mendapatkan perlawanan dari Turki yang dipimpin Erdogan. Bahkan,
konon NIIS mendapat hak istimewa untuk memasok milisi melalui jalur perbatasan
Turki-Suriah. Dikabarkan juga, Turki menikmati minyak yang dieksplorasi NIIS
melalui jalur perdagangan gelap.
Hubungan
mesra NIIS dan Turki tersebut bukan isapan jempol, tetapi koalisi strategis
untuk menumbangkan rezim Bashar al-Assad di Suriah. Turki dan NIIS punya tujuan
sama. Turki bersama AS, Eropa, Arab Saudi, dan negara Teluk lainnya memandang
Assad sebagai ancaman. Karena itu, Turki mendukung segala upaya melengserkan
Assad, terutama upaya NIIS untuk menumbangkan Assad. Turki menjadi pintu masuk
pasukan NIIS yang akan berperang melawan tentara Assad.
Namun,
dalam perjalanannya, Assad tidak tumbang. Setelah hampir lima tahun digempur
habis-habisan, rezim Assad justru makin kuat karena disokong Rusia dan Iran.
Bersamaan dengan itu, NIIS mengambil keuntungan dengan mendirikan negara dalam
negara. NIIS yang semula hadir untuk menumbangkan rezim Assad justru belakangan
tak terdengar melakukan perlawanan kepada rezim Assad.
NIIS
punya agenda tersendiri: membangun ”Negara Islam” dengan sistem khilafah yang
dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Kini, NIIS menjelma sebagai kekuatan sangat
menakutkan dengan menebarkan bom bunuh diri ke seantero dunia. Yang mutakhir,
NIIS mulai menjadikan Turki sebagai target operasi aksi terorisme.
Pertanyaannya, kenapa NIIS justru menyerang Turki yang dulu banyak membantu
masuknya pasukan mereka ke Irak dan Suriah?
Pertama,
NIIS kecewa dengan kebijakan Turki yang menutup perbatasan dengan Suriah.
Kebijakan tersebut secara nyata telah menghambat masuknya pasukan NIIS ke Irak
dan Suriah. Di samping itu, pasukan NIIS juga tidak bisa keluar dari Irak dan
Suriah. Akibatnya, pasukan NIIS yang tersebar di Irak dan Suriah ibarat berada
dalam penjara karena mereka dikepung pasukan negara-negara adidaya, baik darat
maupun udara.
Dalam
beberapa bulan terakhir, NIIS semakin terdesak. Untuk memperkuat kekuatannya,
mereka membutuhkan tambahan pasukan, yang biasa disuplai dari Eropa, AS, Asia,
dan negara-negara Teluk. Ketika Turki menutup perbatasan dengan Suriah dan
Irak, secara otomatis NIIS tidak akan mampu menambah pasukannya.
Kedua,
NIIS ingin memberikan peringatan keras kepada Turki bahwa kebijakan menutup
perbatasan dengan Irak dan Suriah akan berakibat fatal bagi keamanan negara
yang menjadi destinasi para wisatawan asing. NIIS seakan tak melihat positif
jasa-jasa Turki selama ini.
NIIS
membuat perhitungan yang serius dengan mengebom Bandara Istanbul yang jadi
salah satu kebanggaan Turki. Bandara Istanbul merupakan salah satu bandara yang
padat karena merupakan pintu masuk ke Timur Tengah, Eropa, dan Israel. Serangan
NIIS ke Bandara Istanbul merupakan bentuk perlawanan terhadap rezim Erdogan.
Ketiga,
NIIS bertujuan melemahkan rezim Erdogan. Kita tahu, Erdogan terus digoyang di
dalam negeri akibat keinginannya untuk mengamandemen konstitusi Turki dengan
menganut sistem presidensial. Meski popularitas partai penguasa, AKP, terus
menanjak, keinginan Erdogan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya
mendapatkan tantangan tidak hanya dari lawan-lawan politiknya, tetapi juga oleh
para elite partainya sendiri.
Terakhir,
David Oglo yang menjabat sebagai pimpinan AKP memilih mengundurkan diri karena
Erdogan bersikukuh mengubah sistem pemerintahan Turki. NIIS melalui serangannya
yang mematikan itu hendak mengingatkan Erdogan bahwa sikap memusuhi NIIS akan
semakin memperlemah kekuasaannya. NIIS menggunakan momentum krisis politik
sebagai kesempatan untuk terus menggerus kekuasaan Erdogan.
Dilema
Maka,
sikap Turki memusuhi NIIS akan melahirkan dilema. Di satu sisi, Turki dapat
keuntungan politik dari Uni Eropa dan AS, tetapi ketidakmampuan Erdogan menjaga
keamanan akan berakibat fatal. Apalagi, Turki terbukti tak punya pengamanan
kuat, yang mampu mendeteksi gejala serangan NIIS yang bisa terjadi kapan dan di
mana saja.
Kendati
demikian, sikap Turki menutup perbatasan bagi pasukan NIIS di Irak dan Suriah
terbukti berdampak serius bagi NIIS. Praktis, NIIS hanya mengandalkan bom bunuh
diri. Padahal, mereka juga butuh pasukan tempur darat dalam rangka menghambat
masuknya pasukan Irak dan Suriah ke kantong-kantong kekuasaan mereka di daerah
yang sedang memanas, seperti Mosul, Aleppo, dan Raqqa.
Harus diakui,
langkah yang diambil Turki dengan menutup perbatasan merupakan langkah
strategis untuk memulihkan kembali kehidupan di Irak dan Suriah. Selama masih
ada NIIS di dua negara tersebut, sulit rasanya akan terjadi stabilitas politik.
NIIS terbukti sebagai gerakan makar karena mereka membangun negara dalam
negara. Maka dari itu, salah satu cara memulai dialog dan jalan damai di antara
faksi yang berkonflik di Irak dan Suriah diperlukan stabilitas politik. Bahkan,
kalau mau jujur, langkah yang diambil Turki sebenarnya tergolong terlambat
karena ribuan pasukan NIIS sudah kadung masuk melalui jalur perbatasan Turki.
Meski
terlambat, langkah Turki patut diapresiasi. Dunia saat ini sangat berharap NIIS
bisa benar-benar lumpuh, seperti halnya Al Qaeda. Eksistensi NIIS sudah
terbukti menjadi ancaman serius seluruh dunia. Bahkan, serangan NIIS dianggap
lebih brutal dari Al Qaeda. []
KOMPAS,
20 September 2016
Zuhairi Misrawi | Peneliti Pusat Kajian Pemikiran dan Politik
Timur Tengah, The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar