Metamorfosis
Jokowi
Oleh:
Budiarto Shambazy
Anda
mungkin ingat momen Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi tak bosan
menongkrongi pekerjaan perbaikan tanggul Kanal Barat yang jebol di Sungai
Ciliwung, dekat Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat. Waktu itu Jakarta dalam
status tanggap darurat bencana banjir, 17-27 Januari 2013.
Menjadi
pemandangan menarik karena kok ada gubernur seperti mandor mengawasi kuli-kuli
bekerja di proyek kotor? Ketika itu ia ditanyai mengapa mau berjorok-jorok
seperti itu, ia menjawab, ”Kalau saya tinggal nanti mereka berhenti bekerja.”
Ilustrasi
ini mencerminkan sebelum era Jokowi para gubernur malas turun ke lapangan
mengawasi pekerjaan yang tak dikerjakan sampai tuntas, misalnya penggalian
lubang yang berjalan sepanjang tahun. Kita terbiasa melihat gubernur baru yang
hobi blusukan ke Pasar Tanah Abang atau masuk gorong-gorong, dengan melipat
lengan kemeja dan celana bagian bawah.
Jakarta
kembali hidup setelah selama berpuluh tahun hidup dalam ketidakpastian dan
pesimisme gelap karena warganya kehilangan rasa memiliki. Begitu juga hidup
kembali kepemimpinan yang wajar dan masuk akal, yakni kepemimpinan yang rajin
bekerja, merakyat, anti KKN, dan bernyali besar.
Jangan
lupa politik itu soal momentum. Dengan dukungan prestasi sebagai gubernur,
pencitraan media arus utama dan media sosial, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), khususnya Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, mayoritas
rakyat memilih Jokowi sebagai presiden ketujuh.
Momentum
itu mulai hilang karena dua hal. Pertama, perombakan kabinet jilid 2 yang lebih
banyak memunculkan pertanyaan ketimbang jawaban; dan kedua, pengampunan pajak
(PP) yang membuat sebagian publik kelas menengah merasa dimintai ”jatah
preman”.
Jangan
salah, seperti dibuktikan oleh hasil berbagai jajak pendapat, dukungan
mayoritas rakyat masih besar sampai detik ini. Rakyat kalangan menengah dan
bawah rupanya puas dengan berbagai jaminan sosial ala Kartu Indonesia Sehat,
Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera.
Telah
terbukti, kompromi politik dalam dua kali perombakan kabinet tidak pernah
tercapai maksimal. Hasil kompromi masih tetap semu, malah berpotensi
menimbulkan konflik baru karena kehadiran menteri yang kurang cakap dan
berjejak rekam buruk.
Juga
lebih terasa dominasi menteri-menteri yang telah berkiprah sejak era Orde Baru,
khususnya dari kalangan purnawirawan. Tak terbantahkan pula, mayoritas menteri
kali ini terdiri dari tokoh/ politisi/ akademisi bukanlah para loyalis tulen
Jokowi karena lebih patuh kepada patron masing-masing.
PP
terkesan keliru sejak awal, baik detail kebijakannya yang sukar ditebak maupun
sosialisasinya yang asal-asalan. PP tentu bermaksud baik, tetapi keburu
menimbulkan keresahan karena pesan yang disampaikan kepada publik tidak pernah
utuh.
Publik
paham pemerintah sedang BU (butuh uang) untuk menggenjot pembangunan
infrastruktur untuk mencatat pertumbuhan ekonomi lima koma sekian atau bahkan 6
persen. Dengan sosialisasi yang sempurna dan juga kesiapan aparat perpajakan,
PP niscaya akan sukses.
Kita
mengharapkan PP sukses karena masih percaya 100 persen kepada Jokowi yang rajin
bekerja, merakyat, anti KKN, dan bernyali besar. Kita juga kurang peduli dengan
berbagai pernyataan yang dikemukakan pejabat tinggi yang seperti pengamat atau
terkesan berlawanan dengan Jokowi.
Mungkin
ini gejala Jokowi sedang berjuang seorang diri, persis seperti ketika
menongkrongi kuli-kuli yang memperbaiki tanggul Kanal Barat yang jebol itu. Ia
mungkin juga masih sendirian mengarungi belantara politik Ibu Kota yang elitis,
dari sebuah kota yang kebetulan bernama Solo (sendiri) di Jawa Tengah.
Mungkin
Jokowi sedang masuk masa jeda ibarat final sepak bola yang harus dimenangi.
Pada babak pertama ia sudah unggul tipis, tetapi permainan belum mencapai top
form.
Pada saat
jeda ia perlu mendengar instruksi-instruksi pelatih. Salah satu instruksi yang
dia harus dengar adalah apa gerangan yang dikehendaki publik, yang disiarkan
oleh pers, yang kewajibannya mengingatkan pemimpin dengan sikap berpihak hanya
kepada kebenaran.
Dalam
kesendirian itulah Jokowi kadang tersandung. Ia cedera cukup fatal, seperti
saat ia mesti memberhentikan dengan hormat Menteri ESDM Arcandra Tahar yang
baru bertugas 20 hari, yang ternyata memiliki dua kewarganegaraan. Kita maklumi
Jokowi sudah menjalani metamorfosis panjang dari ulat, menjadi kepompong, dan
akhirnya menjadi kupu-kupu. Masih tersisa sekitar tiga tahun untuk terbang
hilir-mudik dan sesekali hinggap di tangkai bunga yang kuat, bukan yang lemah.
[]
KOMPAS,
17 September 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar