Pengaturan Dwikewarganegaraan
Oleh: Moh Mahfud MD
Ketika kita meributkan pengangkatan Arcandra Tahar yang diangkat
sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,sebenarnya kita sama sekali
bukan menolak atau tidak menolak pemberlakuan sistem dwikewarganegaraan.
Yang kita ributkan saat itu adalahpelaksanaan hukum positif atau
hukum yang sedang berlaku yang melarang orang yang bukan warga negara Indonesia
menjadi menteri. Adapun gagasan untuk memberlakukan sistem dwikewarganegaraan
bisa saja diteruskan untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat Indonesia
dalam interaksinya dengan dunia internasional. Bagaimanapun hukum harus
diaktualkan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Merujuk ungkapanSatjipto Rahardjo, hukum tak berada dalam vakum,
tetapi melayani masyarakat tertentu dengan segala perkembangannya. Maka itu,
pembahasan kemungkinan pemberlakuan dwikewarganegaraan tetap harus dilakukan
jika perubahan masyarakat kita memang sudah menuntut pemberlakuan hal tersebut.
Namun, sebelum undang-undang tentang Kewarganegaraan direvisi, hukum yang
berlakulah yang harus ditegakkan. Demikianlah cara hidup berhukum yang
berkeadaban, menegakkan hukum yang sedang berlaku.
Yang berlaku sekarang
Menurut hukum yang berlaku sekarang, yakni UU No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, seperti diatur di dalam Pasal 23 Butir a, ”warga
negara Indonesia (WNI) yang menjadi warga negara lain kehilangan
kewarganegaraannya. Kehilangan itu berlaku dengan sendirinya.” Pasal 23 Butir a
itu jelas menggunakan kata ”kehilangan”, bukan pencabutan. Oleh sebab itu,
kehilangan kewarganegaraan itu terjadi secara otomatis, tak mensyaratkan
prosedur pencabutan dari kementerian.
Itulah sebabnya Pasal 29 UU No 12 Tahun 2006 menegaskan bahwa
menteri ”mengumumkan”, bukan ”menetapkan” WNI yang kehilangan
kewarganegaraannya. Mengumumkan hanyalah bersifat administratif, bukan menjadi
syarat tentang saat lain berlakunya kehilangan status kewarganegaraan itu di
luar waktu ketika seorang WNI menjadi warga negara lain. Peraturan Pemerintah
No 2 Tahun 2007 dalam Pasal 31 juga menggunakan frase ”hilang dengan
sendirinya”. UU No 12 Tahun 2006 juga hanya mengatur dengan (satu) Pasal 29
tersebut dengan kalimat singkat tentang pengumuman kehilangan kewarganegaraan.
Yang diatur dengan detailadalah cara memperoleh kewarganegaraan
kembali bagi WNI yang kehilangan kewarganegaraan, yakni diatur di dalam Bab
Vmulai dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 35. Di sana diatur, kalau
inginmemperoleh status kewarganegaraan kembali, mantan WNI harus menempuh
prosedur naturalisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU itu. Oleh sebab itu,
menjadi keliru ketika dikatakan bahwa sebelum paspor Indonesia WNI yang menjadi
warga negara asing dicabut kementerian, status WNI untuknya masih melekat.
Dalam hal berlakunya satu peraturan atau keadaan di dalam hukum
perundang-undangan dikenal dua cara, yakni promulgation dan publication. Yang
pertama menjadi syarat mulai berlaku dan mengikatnya satu peraturan atau
keputusan, yang kedua hanya sekadar administratif sebagai pengumuman yang
sebelum pengumuman pun keadaan hukum sudah berlaku. Penempatan UU di dalam
Lembaran Negara (LN), misalnya, menjadi syarat dan penanda mulai berlakunya
suatu UU karena penempatan UU di dalam LN adalah promulgation alias pemberlakuan.
Namun, pengumuman bahwa seseorang bukan lagi warga negara karena
”kehilangan kewarganegaraan” hanyalah bersifat informasi atau publikasi dan
bukan menjadi syarat dan tanda mulai berlakunya status bukan WNI itu.
Pengumuman oleh kementerian tentang hilangnya status kewarganegaraan seseorang
hanyalah publication, tidak berlaku prospektif, tetapi berlaku surut sejak
terjadi sesuatu atau yang bersangkutan melakukan langkah-langkah yang
menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan.
Kalau misalnya pada 18 Agustus 2016 kementerian mengumumkan
seorang WNI kehilangan kewarganegaraan karena menjadi warga negara asing, maka
keberlakuan kehilangannya itu bukan berlaku sejak 18 Agustus 2016, melainkan
sejak yang bersangkutan menjadi warga negara asing, misalnya sejak 12 April
2012. Jadi, kelirulah kalau dikatakan seseorang yang sudah menjadi warga negara
asing masih WNI karena paspornya belum dicabut secara resmi.
Ini sama halnya dengan orang lulus dari sekolah pada tahun 2014,
tetapi karena ijazahnya hilangkepada yang bersangkutan diberikan ijazah
pengganti pada tahun 2016. Dalam hal ini, tak bisa diartikan bahwa yang
bersangkutan lulus sekolah pada tahun 2016 sesuai dengan pengeluaran ijazah
penggantinya. Perbedaan antara promulgation dan publication ini tidak boleh
dikacaukan sama sekali.
Yang diusulkan berlaku
Adapun wacana tentang pemberlakuan sistem dwikewarganegaraan bisa
saja dilakukan dalam konteks untuk merevisi UU sesuai dengan perkembangan
masyarakat kita ataupun masyarakat internasional. Kenyataan bahwa sangat
mungkin banyak WNI yang bagus, seperti Arcandra, memang bisa saja diakomodasi
dengan politik hukum baru dalam bidang kewarganegaraan dengan merevisi dulu UU
yang berlaku sekarang.
Sekarang pun sebenarnya kita sudah menganut dwikewarganegaraan,
tetapi secara terbatas hanya bagi mereka yang lahir dalam percampuran stelsel
kewarganegaraan. Anak yang lahir dari perkawinan antara orangtua yang berbeda
kewarganegaraan atau orangtua Indonesia yang melahirkan anak di negara yang
menganut stelsel ius soli seperti Amerika Serikat, berdasar UU No 12 Tahun 2006
anaknya mempunyai dua kewarganegaraan. Pemberian status dwikewarganegaraan itu
dibatasi sampai sang anak berusia 18 tahun untuk kemudian memilih salah satunya
karena dianggap sudah dewasa.
Sebenarnya pula ide tentang kemungkinan pemberlakuan penuh dwi
kewarganegaraan itu sudah diperdebatkan secara mendalam dan komprehensif ketika
RUU Kewarganegaraan yang kemudian menjadi UU No 12 Tahun 2006 itu dibahas
Pansus di DPR. Pada waktu itu, kita bersepakat bahwa demi hak asasi manusia,
setiap orang harus diberi hak untuk memilih kewarganegaraannya, termasuk
mempunyai dwikewarganegaraan. Namun, untuk kepentingan nasional (nasionalisme)
yang disepakati pada saat itu adalah stelsel kewarganegaraan tunggal dengan
dispensasi dwi kewarganegaraan secara terbatas.
Alasannya, kalau kita menganut sistem dwikewarganegaraan penuh,
maka bisa jadi banyak orang asing yang di negaranya menganut sistem
dwikewarganegaraan berlomba-lomba menjadi WNI untuk kemudian ikut mengelola
sumber daya alam, bahkan ikut memimpin Indonesia. Nah, kalaulah karena
mobilitas warga negara Indonesia dan masyarakat internasional yang begitu
tinggi kemudian alasan nasionalisme yang seperti itu sekarang dianggap sudah
usang dan tidak relevan lagi, upaya merevisi UU No 12 Tahun 2006 bisa saja
dilakukan. Namun, arah revisinya haruslah tetap sangat berhati-hati demi
Indonesia raya kita. []
KOMPAS, 7 September 2016
Moh Mahfud MD | Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Umum DPP
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar