Negara Pancasilais
Oleh: Salahuddin Wahid
Kita sering mendengar istilah Indonesia sebagai "Negara
Pancasila", yaitu negara yang berdasarkan Pancasila. Selanjutnya, istilah
pancasilais digunakan untuk menandai tokoh yang perilaku dan kinerjanya sesuai
dengan Pancasila. Dengan demikian, apakah istilah negara pancasilais lalu
tidak tepat?
Menurut saya, istilah itu tidak salah. Yang pancasilais bukan
hanya perseorangan, melainkan juga organisasi, termasuk negara. Negara
pancasilais adalah negara yang menunjukkan prinsip Pancasila dalam
kebijakannya.
Negara berketuhanan
Sila pertama adalah perpaduan antara keislaman dan keindonesiaan.
Banyak negara di Timur Tengah belum bisa menyelesaikan hubungan keislaman
dengan kebangsaan. Berdirinya Kementerian Agama (Januari 1946) adalah proses
memadukan keindonesiaan dan keislaman itu.
UUD dan UU terkait sila pertama, boleh dibilang mendekati predikat
negara pancasilais. Itu tercapai melalui proses panjang dan sulit. Banyak dari
kita sudah lupa akan proses terwujudnya UU No 1/1974 tentang perkawinan, UU
pertama yang memberi akomodasi terhadap hukum Islam yang khusus (partikular).
Proses persidangan membahas RUU Perkawinan terhenti karena pemuda
dari banyak ormas Islam menyerbu ke dalam Ruang Sidang DPR. Mereka meminta
hukum Islam diakomodasi dalam UU Perkawinan. Sebaliknya kalangan
non-Islam mendukung RUU tersebut karena khawatir RI akan menjadi negara Islam
kalau hukum Islam yang bersifat khusus masuk UU.
RUU akhirnya bisa diubah dan menjadi UU pertama yang memberi
akomodasi terhadap hukum Islam yang khusus, bukan yang bersifat universal.
Ternyata UU Perkawinan menjamin berjalannya pernikahan sesuai hukum agama
masing-masing dan sesuai hukum negara. Memang masih ada masalah terkait
UU itu, yaitu adanya praktik nikah siri yang merugikan pihak perempuan dan
pernikahan antaragama.
Selanjutnya muncul masalah serupa saat pembahasan RUU Peradilan
Agama sebagai penerapan UU Pokok Kehakiman. Mereka yang menolak menginginkan
sistem hukum nasional yang berlaku untuk semua warga negara tanpa melihat suku,
etnis, dan agama. Akhirnya UU itu disahkan DPR pada 1989.
Selanjutnya disahkan sejumlah UU bernuansa Islam, seperti UU
Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Haji, dan UU Zakat. Euforia era Reformasi
memunculkan perda syariah yang memicu masalah. Sejumlah peraturan bersama
menteri terkait keagamaan juga bermasalah.
Kalau dalam UUD, UU dan peraturan di bawahnya sudah tidak banyak
masalah lagi, dalam pelaksanaan di lapangan tidak demikian. Di banyak
tempat, pembangunan rumah ibadah masih sering menghadapi kesulitan. Warga
Ahmadiyah dan Syiah masih diperlakukan diskriminatif. Intoleransi agama masih
terjadi.
Negara berkemanusiaan
HAM warga negara dijamin dalam Pasal 28 UUD hasil amandemen,
antara lain hak untuk hidup, hak untuk memperoleh layanan kesehatan dan
pendidikan, hak untuk berserikat dan menyatakan pendapat, hak untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, hak untuk hidup
sejahtera, hak untuk perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memperoleh
perlindungan.
Hak yang dijamin UUD sebagian sudah dipenuhi tetapi sebagian lagi
belum. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dimulai pada 2014. Wajar kalau
masih banyak keluhan tentang kekurangan dalam pelayanan kesehatan itu. Menurut
World Nutrition Report 2014, banyak rakyat yang bergizi buruk.
Hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang
bermutu belum sepenuhnya bisa dipenuhi. Lama masa belajar nasional, jumlah
sekolah dasar yang belum memadai, dan guru yang belum mendapat pelatihan dan
belum sejahtera menjadi faktornya.
Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum belum
bisa dinikmati rakyat secara umum. Hukum kalah oleh kekuasaan, kalah oleh uang
dan kalah oleh tekanan massa. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat
belum memperoleh perlindungan terhadap obat-obatan palsu dan jamu palsu. Para
seniman tidak mendapat perlindungan bagi hak cipta atas karya mereka.
Persatuan Indonesia
Kita mengalami banyak tantangan dan gangguan terhadap persatuan
Indonesia. Dari PRRI dan Permesta, DI/TII, PKI, hingga GAM dan OPM. Pemerintah
Orde Baru lebih mengutamakan pendekatan keamanan dalam upaya menjaga persatuan
Indonesia sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM.
Kelompok separatis yang muncul pasca Orde Baru adalah kelompok
Islam yang sebagian menggunakan strategi terorisme, menjadikan warga sipil dan
polisi sebagai sasaran. Mereka adalah Muslimin yang tidak memahami ajaran Islam
ataupun sejarah Indonesia dengan benar.
Kelompok Islam lain adalah mereka yang memperjuangkan negara
berdasar Islam dan khilafah Islamiyah. Menurut mereka, Pancasila gagal
mewujudkan cita-cita proklamasi. Pemahaman yang salah ini diikuti banyak orang,
termasuk dosen universitas negeri non-IAIN/UIN.
Hikmat kebijaksanaan
Rumusan di atas ideal, tetapi sering disalahgunakan. Sejarah
menunjukkan bahwa Bung Karno pernah membubarkan DPR dan mengangkat
anggota DPRGR dan MPRS, yang membuat lembaga itu tunduk kepada BK.
Pada era Soeharto, DPR juga dikendalikan Soeharto melalui Fraksi ABRI dan
FKP.
Demokrasi yang kita jalankan saat ini menurut saya tidak dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan dalam perwakilan. Demokrasi
kita saat ini lebih ditentukan oleh kekuatan dana, dari memilih ketua umum
partai hingga ketua tingkat provinsi/kabupaten.
Sistem pemilihan langsung untuk pilpres dan pilkada membawa banyak
masalah ke dalam kehidupan politik kita dan banyak yang menafsirkan sistem itu
tidak sesuai dengan sila keempat dari Pancasila. Walau demikian, sistem itu
bisa memunculkan para pemimpin daerah yang berprestasi amat baik. Pilpres
secara langsung sejauh ini belum menghasilkan presiden yang berkinerja amat
baik, tetapi juga bukan presiden yang buruk.
Keadilan sosial
Walau urutan terakhir, sila keadilan sosial adalah
sila terpenting karena akan membantu terwujudnya sila lainnya. Namun, keadilan
sosial selama ini terabaikan. Gini ratio kita yang pada tahun 2000 masih pada
angka 30-an, kini sudah 41.
Standar angka kemiskinan rakyat yang dipakai BPS bukan
standar Bank Dunia. Apabila menggunakan standar Bank Dunia, jumlah angka
kemiskinan kita mendekati 50 persen, bukan 12 persen seperti kata pemerintah.
Kemiskinan yang diderita begitu banyak penduduk Indonesia itu
disebut kemiskinan struktural. Ini istilah dari Sritua Arief dan Adi Sasono
tahun 1980-an, yang timbul akibat kebijakan negara yang salah arah. Setelah 30
tahun kemiskinan struktural ternyata masih bertahan.
Kebijakan ekonomi kita perlu transformasi struktural, berupa
kebijakan negara dalam perekonomian yang bisa mewujudkan keadilan. Program
reformasi agraria yang digaungkan sejak 2007 belum menjadi kenyataan.
Penutup
Untuk sila pertama, menurut saya, sudah cukup baik. Untuk sila
kedua, yang sudah cukup baik adalah dalam pelayanan kesehatan walaupun dengan
catatan perlu kerja keras untuk memperbaiki yang dikritik. Untuk sila ketiga,
sudah cukup baik walau dibandingkan beberapa puluh tahun lalu terjadi penurunan.
Untuk sila keempat belum bisa dikatakan baik. Sila kelima bisa dikatakan yang
paling jelek.
Jadi, RI sudah pancasilais atau belum? Saya teringat pada
hasil penelitian Rehman dan Askari dari The George Washington University
(2010) yang menilai sejauh mana keislaman negara Islam atau negara yang
mayoritas penduduknya Muslim. Ternyata dari 208 negara, peringkat pertama
adalah Selandia Baru, lalu Luksemburg dan Irlandia.
Negara bernuansa Islam yang tertinggi peringkatnya adalah Malaysia
(38), lalu Kuwait (48), dan Bahrain (64). Turki pada urutan ke-103, Arab
Saudi (131) dan Indonesia (140).
Sejalan dengan kesimpulan penelitian di atas, negara Pancasila
belum tentu paling pancasilais. Artinya, banyak negara yang lebih sesuai
nilai-nilai Pancasila walaupun negara itu tidak berdasarkan Pancasila. []
KOMPAS, 17 September 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar