Islam dan Keselamatan
Pemeluk Agama Lain
Judul Buku
: Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama
Lain
Penulis
: Muhammad
Hassan Khalil
Penerbit
: Mizan,
Bandung
Tahun Terbit
: Mei, 2016
Tebal
: viii+292 halaman.
ISBN
: 978-979-433-939-8
Peresensi
: Munawir Aziz, Peneliti dan editor buku, aktif di Gerakan Islam Cinta dan
Gusdurian, silaturahmi via @MunawirAziz.
Masa depan setelah
kematian menjadi bagian diskusi panjang dalam teologi dan interaksi antarumat
beragama. Klaim kebenaran tentang religiusitas, Tuhan dan surga dan neraka
menjadi bagian intens dalam komunikasi lintas agama. Bagaimana Islam memandang
keselamatan bagi umat agama lain? Bagaimana manusia berada dalam lorong
surga-neraka, serta bagaimana jaminan keselamatan dari Sang Pencipta?
Buku Islam dan
Keselamatan Pemeluk Agama Lain ini berusaha menjawab pertanyaan penting
tentang bagaimana Islam memahami keselamatan umat agama lain. Pertanyaan yang
lebih detail, yakni "apa kata Islam tentang keselamatan non-Muslim?"
Sebagian umat Islam membangun jarak dengan non-Muslim karena faktor iman dan
dakwah, bahwa non-Muslim diyakini tidak akan menemukan kesejukan surga.
Selanjutnya,
persoalan yang rumit, tentang adanya ceruk kosong dalam kajian Barat tentang
kajian soteriologi-istilah dari Bahasa Yunani, soteria (pembebasan,
keselamatan) dan logos (wacana). Istilah ini merujuk pada diskusi panjang serta
doktrin tentang keselamatan. Islam telah mengembangkan aliran soteriologinya
yang khas, baik menyangkut ekslusifisme intra-agama maupun antar-agama,
inklusivisme, pluralisme.
Penulis buku ini,
menggariskan renungan bahwa siapa yang sebetulnya berhak bahagia dan mendapat
siksa? Apa kebahagiaan dan penderitaan itu berapa lama? Persoalan klasik ini
masih menuai perdebatan di kalangan agamawan maupun akademisi (hal.2).
Garis intelektual
Dalam buku ini,
Hassan Khalil berusaha merumuskan pemikiran empat intelektual Muslim tentang
keselamatan umat non-Muslim. Pemikiran tokoh-tokoh Muslim yang dibahas dalam
buku ini, yakni Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H/1111M), Muhyi al-Din Ibn al-Arabi
(w. 638 H/1240 M), Taqi al-Din Ibn Taimiyyah (w 728/1328 M) dan Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1935 M).
Hassan Khalil
menyerukan tentang bahaya penyederhanaan yang berlebihan dalam diskusi tentang
keselamatan. Sebagian karya menyajikan posisi Islam sebagai berikut: orang
beriman yang berdosa akan dihukum di neraka untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan,
siapa saja yang mati sebagai kafir akan kekal berada di neraka. Sejumlah ulama
mendukung pendapat ini, yakni Abu Ja'far al-Tahawi (w. 321H/939M), Syaikh
Shaduq (w. 381H/ 991 M), Najm al-Din al-Nasafi (w. 537H/1142 M) dan 'Adud
al-Din al-Iji (w. 756/1355M) (hal. 24).
Dalam risetnya,
Hassan Khalil berkesimpulan bahwa mayoritas ulama memandang orang-orang yang
tulus telah berjumpa dengan risalah pamungkas (Islam) layak mendapatkan pintu
keselamatan meski tidak menerimanya sebagai keyakinan. Namun, Ibn Taimiyyah,
yang digolongkan sebagai inklusivis terbatas, menegaskan bahwa hal itu hanya
berlaku bagi orang-orang non-Muslim yang belum pernah mendapatkan risalah atau
orang-orang yang tidak terjangkau (hal. 34).
Ibn Arabi menilai
adanya keselamatan bagi non-Muslim "yang tulus", sebab menurut
keyakinannya, setiap jalan yang diambil bukan hanya diciptakan oleh, melainkan
juga mengantarkan menuju Tuhan, Sang Pencipta yang welas asih dan mulia. Ibn
Arabi menilai bahwa semua umat dan manusia, termasuk yang jahat, pada akhirnya
akan sampai pada kebahagiaan.
Imam al-Ghazali
mengajarkan betapa umat manusia akan diselamatkan. Rahmat Allah akan menjangkau
seluruh umat manusia, bahkan mereka yang tak terjangkau risalah kebenaran.
Hanya minoritas kafir bengis yang layak mendapat siksa abadi di akhirat (hal.
254). Sedangkan, Ibn Taimiyyah memiliki pandangan radikal tentang keselamatan,
yang terkait dengan neraka. Bagi Ibn Taimiyyah, neraka itu longgar gerbangnya,
siapa saja yang sudah berjumpa dengan risalah Islam namun enggan menerima, akan
ditakdirkan masuk neraka.
Hassan Khalil menilai
bahwa apa yang dikatakan Islam tentang keselamatan Liyan (non-Muslim) juga akan
mempengaruhi bagaimana Liyan (Non-Muslim) menilai Islam dan para penganutnya.
Narasi inilah yang seharusnya menjadi perspektif muslim Indonesia ketika
memandang pemeluk agama lain. Apakah surga hanya menjadi kapling muslim semata?
Buku ini menjawab dengan jernih sekaligus komprehensif. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar