Pandai
Kepada Diri Sendiri
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban
kepada Tuhan, salah satu kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.
Ia merasa
eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak melewatkan satu jam
semenit sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang lebih mulia dari beribadah
kepada Tuhan. Tidak ada yang dipuji Tuhan melebihi hamba-Nya yang mengisi siang
dan malam dengan ibadah.
Akibatnya
Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat mungkin menjadi seseorang
yang karena tekun ibadahnya maka ia punya naluri untuk membandingkan dirinya
dengan orang lain berdasarkan kerajinan ibadahnya.
Tahap
berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya lebih dekat kepada
Tuhan dibanding orang lain yang kurang beribadah, terlebih lagi dengan orang
yang tidak beribadah. Rasa lebih dekat kepada Tuhan itu bisa memperanakkan
rumusan atau gambaran bahwa yang rajin beribadah berderajat lebih tinggi
dibanding yang tidak beribadah.
Rasa
lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan orang lain yang
tidak setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang menjadi rasa meremehkan
orang yang tidak beribadah, berikutnya merendahkan, berikutnya lagi bisa
menjadi cibiran yang merendahkan, meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak
hati-hati, Yu Sumi bisa sampai pada suatu anggapan yang berkembang menjadi
pendapat yang diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih berhak hidup di dunia
adalah orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.
Pandangan
itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi siapa saja yang tidak
beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi keyakinan untuk membuang, membunuh
atau memusnahkan. Tuhan adalah Maha Tuan, semua manusia adalah abdinya.
Barangsiapa tidak beribadah, maka ia bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan
abdi, ia tidak berhak hidup di bumi Tuhan. Sehingga harus diusir atau
disirnakan.
***
Semua
ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan hampir absolute
bahwa anak-anak manusia harus berpendidikan, berkebudayaan, harus belajar
membaca dan menulis, harus mencari ilmu dan pengetahuan.
Juga Yu
Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini tak perlu
dibawa-bawa ke para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran seperti ini.
Mereka sudah beres hidupnya, tidak ada manfaatnya semua yang kukatakan kepada
anak cucu dan para jm ini.
Mungkin
Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus mengerti hak dan
kewajiban. Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-Quràn dan menjalankan
peribadatan. Akan tetapi berdasarkan seluruh sejarah Yu Sumi, dan berlaku
khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan di laci rahasiaku bahwa
kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah membahayakan hidup Yu Sumi.
Sebab di
samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi menjadi manusia
sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang di
sekitarnya — yang juga sangat penting adalah kemungkinan bahwa sesudah ia
menjadi ahli ibadah: kadar kerja kerasnya pasti berkurang.
Yu Sumi
akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak omongnya pun isinya
adalah muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci, yakin lebih dekat kepadaTuhan
dibanding semua orang. Mungkin sesudah menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi
punya masalah dengan memanjat kelapa dan membelah kayu. Di samping energinya
mengecil untuk kerja keras, mungkin saja bekerja memanjatkan kelapa untuk
tetangganya sangat kecil nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.
Dan kalau
karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi benar-benar pandai mengaji
dan tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta mengajar di sana-sini. Ia menjadi
sibuk, dan akhirnya kehilangan keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia
bisa menjadi Ustadz atau Ustadzah tidak karena ilmunya melainkan karena tidak
punya kemampuan untuk bekerja.
Tentu
kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang benderang bahwa Yu
Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula eksistensinya, dengan keawamannya,
dengan kebutahurufannya, dengan ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan
mempertapakannya dalam kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.
Maka
Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan bisa menjadi
masalah orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya, jika ada, akan mampu
dan mau memanjat kelapa dan membelah kayu, karena zaman dan lingkungannya sudah
berubah.
Teknologi
berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia kehilangan dirinya,
manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya.
Bahkan manusia bukan hanya mewakilkan pekerjaan ini itu kepada robot dan
onderdil teknologi industri. Bahkan sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil
teknologi dan obeng tang catut industri.
***
Akan
tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah mulai lahir
cucu-cucu. Mas Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.
Siapapun
yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung tahu bahwa mereka
melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena akulturasi, tidak karena
penularan dari siapapun, tidak karena pengaruh lingkungan budaya.
Tetapi
Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya sendiri. Mereka
melakukan reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa maupun jasadnya.
Sama
dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan proporsi dan
harmoninya. Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu yang digergaji atau
disusun beberapa batang. Ada cairan yang ditambah atau dikurangi volumenya. Ada
gas yang dipadatkan atau dikurangi kepadatannya.
Ada logam
yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada sesuatu yang dipacu dan
lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada momentum tertentu di-rem. Ada
sesuatu yang dilampiaskan dan lainnya dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung
batas perkembangannya sementara yang lain justru dipacu kesuburannya.
Memang
demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah bagian, bahkan
yang utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri manusia yang perlu
dikendalikan, ditahan, dipuasakan, dibatasi atau bahkan mungkin dihilangkan,
misalnya daging tumbuh yang tidak pada tempat dan proporsi alamiahnya.
Dan
managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi.
Apalagi Yu Sumi.
Kalau
engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu menjadi landasan
utama dari perilakumu, menjadi hulu-ledak dari kelakuanmu, menjadi dasar
pikiran untuk mengambil keputusan menuju masa depanmu — aku tidak akan
mempersalahkanmu. Tidak akan membantahmu. Juga tidak mengecam atau menghardik
dan mengutukmu.
Hanya dua
kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: “Tunggulah waktu”. []
Dari CN
kepada anak-cucu dan JM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar