Membaca Sejarah dan
Epistemologi Sufistik Syaikh Siti Jenar
Judul
: Syaikh Siti Jenar; Suluk Abdul Jalil (Novel Sejarah, Buku ke-2)
Penulis
: Agus Sunyoto
Penerbit
: Mizan
Terbitan
: I, Juni 2016
Tebal
: 312 hlm.; 13x19 cm
ISBN
: 978-979-433-961-9
Peresensi
: Mukhammad Ichwanul Arifin,
Mahasiswa FUF UIN Sunan Ampel Surabaya; fungsionaris PC IPNU Kota Surabaya yang
juga merupakan direktur Lembaga Kajian “Warung Sufi Nusantara”
Berbicara tentang
sejarah memang tidak pernah lepas dari kepentingan sang penutur serta penulis
sejarah. Banyak opini sejarah yang berkembang di masyarakat luas merupakan buah
“pelintiran” sejarah. Pelintiran-pelintiran tersebut bukanlah tanpa tujuan,
tetapi pelintiran tersebut bertujuan untuk melanggengkan kepentingan sang
penutur dan penulis sejarah. Oleh sebab itu, dalam kata pengantarnya KH A
Mustofa Bisri mengingatkan kita untuk selalu membaca sejarah tanpa adanya
tendensi. Banyak kekacauan yang terjadi di tanah air selalu dikaitkan dengan
soal agama, namun bagi Gus Mus, kekacauan tersebut merupakan buntut persoalan
akibat adanya kepentingan politik dan kekuasaan yang selalu melibatkan Tuhan
untuk melegitimasi kepentingannya. Dari sinilah sejarah perlu diluruskan.
Pelurusan sejarah
sangat penting dilakukan salah satunya terhadap Syaikh Abdul Jalil atau yang
sering disebut Syaikh Siti Jenar, salah seorang tokoh sufi tanah Jawa abad
ke-16 yang dianggap kontroversial. Dianggap kontroversial sebab opini yang
berkembang di masyarakat ajarannya distigmakan sebagai bid’ah yang sesat.
Menurut sumber historiografi sejenis babad, Syaikh Siti Jenar disidang dan
dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman mati. Namun, sumber-sumber tersebut
justru menyulut kontroversi yang sangat membingungkan. Pasalnya menurut
kronologi waktu, tokoh-tokoh yang disebut sebagai anggota sidang Dewan Wali
seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Patah dan SunanAmpelsudah meninggal
belasan bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Lebih membingungkan
lagi, Sunan Giri dalam kasus itu mengatakan bahwa Syaikh Siti Jenar kafir
menurut manusia tetapi mukmin menurut Allah. Sementara Sunan Kudus sangat
menghormati dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Bahkan lebih anehnya lagi
disebutkan mayat Syaikh Siti Jenar menyebarkan bau wangi semerbak, namun
kemudian menjadi anjing berbulu hitam. Konon bangkai anjing itu dikubur di
Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. (hlm. 14). Jika kita menganalisisnya, sejarah
tersebut tidak bisa diterima secara akal sehat. Bahkan, merupakan sebuah
pelecehan terhadap seorang Waliyullah.
Adalah Agus Sunyoto
yang mencoba untuk menjelaskan secara utuh tentang sosok Syaikh Siti Jenar
dengan pendekatan Verstehen dan kualitatif yang ternyata dengan dua pendekatan
seperti itu didapatkan sebuah gambaran utuh tentang sosok Syaikh Siti Jenar
yang bertolak belakang dengan pencitraan dan stigma yang selama ini berlaku
atas tokoh kontroversial tersebut. (hlm. 18). Penggambaran tersebut dituangkan
oleh Agus Sunyoto dalam bentuk karya fiksi. Menjelaskan tentang kehidupan
seorang Wali dalam bentuk karya ilmiah memang sangat sulit untuk dilakukan
bahkan bisa dikatakan mustahil, sebab kehidupan seorang Wali terutama tentang
berbagai Karomahnya tidak bisa dijelaskan secara akal sehat. Keputusan untuk menuangkan
dalam bentuk karya fiksi, selain dimaksudkan untuk mengatasi faktor-faktor
teknis metodologis, juga bisa diharapkan agar masyarakat pembaca memahami kisah
tokoh kontroversial dari sudut pandang lain.
Dalam novel ini
dijelaskan bahwa perjalanan spiritual Syaikh Siti Jenar untuk sampai ke Hadirat
Allah SWT dilalui dengan empat tangga dengan bimbingan Sayyidina Abu Bakar ra.
Pertama, anak tangga Istighfar yang mana dengan anak tangga ini akan tercapai
maghfirah yang terpancar dari al-Ghaffar dan akan menyingkap selubung hijab.
Kedua, anak tangga Shalawat yang mana dengan anak tangga ini seorang salik akan
menyadari dirinya adalah bagian dari pancaran Nur Muhammad yang selanjutnya
dengan pancaran ini seseorang dapat melanjutkan perjalanan ke Haqiqah
al-Muhammadiyyah. Ketiga, anak tangga tahlil, yakni sebuah tangga penauhidan
yang mana dengan anak tangga ini seorang salik dapat mengetahui esensi atau
makna rahasia di balik Haqiqah al-Muhammadiyyah, inilah tahap yang disebut
Wahdat as-Syuhud. Keempat, setelah seorang salik mencapai tahap Syuhud, maka
dia akan mencapai tangga nafs al-Haqq yang ketika seorang salik berada dalam
tahap ini, maka dia akan berada dalam posisi fana’ (peniadaan diri) karena
kehidupannya telah telah terhubung dengan al-Haqq. (hlm. 27-28).
Keempat tahap di atas
merupakan satu kesatuan dari Asma’, Af’al, Shifat dan Dzat yang tidak bisa
dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Itu berarti, mengenal Dia harus
melalui empat tahap pengenalan. Pertama, mengenal ‘Asma. Kedua mengenal Af’al.
Ketiga, mengenal Shifat. Keempat, mengenal Dzat. Pengenalan ini tidak bisa
dituturkan dengan bahasa manusia, tetapi harus dialami sendiri sebagai sebuah
pengalaman yang sangat pribadi. Seseorang tidak akan bisa merasakan manisnya
buah anggur hanya mendengar tutur bahasa manusia, tetapi ia bisa merasakan
manisnya buah anggur dengan memakan langsung buah tersebut. Begitu juga dengan
tasawuf, seseorang tidak akan bisa merasakan manisnya mengenal Allah swt jika
ia tidak langsung mempraktikannya.
Demikianlah
perjalanan spiritual yang dijalani oleh Syaikh Siti Jenar. Tampak jelas bahwa
ajaran yang dianut oleh Syaikh Siti Jenar bukanlah ajaran “Manuggaling Kawula
Gusti” yang selama ini dilekatkan oleh para penulis yang di mana istilah
tersebut diambil dari kitab primbon jawa atau dalam bahasa ilmiah lebih sering
disebut sebagai Pantheisme, dalam artian semua adalah Tuhan. Syaikh Siti Jenar
merupakan seorang Wali dengan ajaran Fana’ wal Baqa’ yang memang ada secara
dalil dalam al-Quran bahwa segala sesuatu akan rusak/binasa kecuali Allah swt.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar