Jumat, 09 September 2016

Azyumardi: Demokrasi: Antara Pesimisme dan Optimisme



Demokrasi: Antara Pesimisme dan Optimisme
Oleh: Azyumardi Azra

Dalam dasawarsa terakhir secara global, pesimisme terhadap demokrasi cenderung meningkat. Kecenderungan itu terlihat misalnya dalam laporan tentang perkembangan demokrasi The Economist Democracy Index 2015: Democracy in the Age of Anxiety (London 2016). Gejala yang sama juga terbaca dalam laporan Freedom House, Freedom in the World 2015: Discarding Democracy, Return to the Iron Fist (New York 2016).

Pengalaman penulis Resonansi ini selama beberapa tahun sejak paroan kedua dasawarsa 2000 sebagai anggota Dewan Penasehat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA, Stockholm) dan United Nations Democracy Fund (UNDEF New York) juga mencatat kecenderungan yang sama. Pembahasan dan kajian yang diselenggarakan kedua lembaga internasional ini juga memperlihatkan tidak banyak kemajuan demokrasi; kecenderungannya jalan di tempa atau bahkan membeku (frozen democracy).

Gejala ini paling jelas terlihat di Dunia Arab pasca-Arab Spring sejak akhir 2010. Perkembangan demokrasi memunculkan kecemasan (anxiety) karena konflik yang berlanjut di Libya, Yaman, Syria dan Irak. Sementara Mesir kembali ke tangan besi (iron fist) militer.

Menengok ke Indonesia, meski riuh rendah demokrasi terus berlangsung sejak 1999 sampai sekarang, laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Tahun 2015 menunjukkan gejala penurunan [kualitas] demokrasi. Penurunan itu terjadi pada aspek kebebasan sipil dan aspek lembaga demokrasi. Sedangkan aspek hak-hak politik menunjukkan gejala kenaikan.

Laporan IDI ini boleh jadi mendorong pesimisme kalangan warga Indonesia pada demokrasi. Tetapi, demokrasi bukan konsep, proses dan praksis politik sederhana. Sebagai sebuah sistem dan praksis politik, demokrasi juga sangat kompleks, terkait langsung atau tidak dengan berbagai aspek kehidupan lain.

Dalam konteks itu menarik menyimak hasil survei The Genron NPO Tokyo bekerjasama dengan Center for Strategic International Studies (CSIS) Jakarta dan The Observer Research Foundation (ORF) New Delhi. Survei ini (2016) mencoba membandingkan persepsi warga atas perkembangan demokrasi di Jepang, Indonesia dan India.

Survei ini kemudian diikuti percakapan dalam Asia Forum of Opinion Leaders (AFOL) bertajuk ‘Is Democracy in Decline? How Indonesia, India and Japan Address the Issues of Democracy’ di Tokyo 18-20 Agustus 2016 lalu. Penulis Resonansi ini turut menjadi narasumber bersama Hassan Wirajuda, Jimly Asshidique, Yenny Zannuba Wahid, Philips Vermonte.

Sejumlah temuan penting dapat disimak dari survei itu. Misalnya, di antara warga Jepang (negara demokrasi mapan) hanya 46,7 persen yang menganggap ‘demokrasi berjalan baik’. Sikap hampir sama juga ada di kalangan warga Indonesia; hanya sekitar 47,1 persen. Sementara 65 persen warga India menilai demokrasi berfungsi baik.

Kenapa demokrasi dianggap tidak berjalan baik? Di Jepang karena parpol tidak akuntabel (45 persen) dan menang Pemilu satu-satunya tujuan parpol (60,2 persen). Sedangkan di Indonesia karena korupsi merajalela yang menyebabkan penyimpangan fungsi pemerintah. Alasan yang sama juga diajukan warga India; korupsi merajalela (16 persen) dan kebijakan pemerintah yang tak mampu menyelesaikan kemiskinan dan ketidaksetaraan (13 persen).

Dengan keadaan seperti ini, tidak heran kalau pesimisme bertahan di kalangan warga terhadap masa depan negaranya. Warga Jepang paling pesimis; hanya 20,7 persen yang optimistis. Sebaliknya warga Indonesia memiliki optimisme tinggi (65,3 persen). Yang paling optimis adalah warga India (75,9 persen).

Meski sebagian besar warga Jepang pesimistis dengan masa depan negaranya, sebagian besar mereka (47 persen) tetap menganggap demokrasi sebagai sistem politik lebih baik dibandingkan sistem politik apapun. Sedangkan di Indonesia mereka yang berpendapat sama mencapai 55,1 persen; India 57,6 persen.

Warga yang menolerir eksisnya sistem politik tidak demokratis relatif rendah; di Jepang 17,3 persen, Indonesia 21 persen, dan India 34, persen. Dengan begitu, sistem politik semacam otoritarianisme militer atau sipil, atau teokrasi bukan alternatif viable bagi kebanyakan warga ketiga negara.

Forum percakapan terbatas di antara para narasumber Jepang, Indonesia dan Indonesia juga membahas berbagai kecenderungan sesuai indikator yang diberikan survei. Pada saat yang sama juga mencoba memberikan rekomendasi tentang langkah apa yang diperlukan untuk memajukan demokrasi.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hasil survei dan percakapan tentang demokrasi tersebut? Yang terpenting adalah; demokrasi senantiasa perlu dikonsolidasikan dengan melakukan reformasi parpol dan perbaikan tatakelola pemerintahan. Dengan begitu demokrasi dapat menjadi lebih fungsional dalam mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial-budaya dan ekonomi.

Jelas hanya dengan langkah tersebut, demokrasi dapat menumbuhkan harapan dan optimisme; dan sebaliknya mengurangi pesimisme. Jika tidak, pesimisme dapat terus meningkat, sehingga bisa membuat semakin banyak orang berpikir untuk mencari alternatif sistem politik selain demokrasi. []

REPUBLIKA, 08 September 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar