Hukum Minta Cerai Karena
Tidak Diberi Nafkah
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Bolehkah gugat cerai karena tidak dinafkahi?
Adik saya bekerja di luar negeri kurang lebih 10 tahun. Akhir-akhir ini adik
saya merasa sudah tidak ada kecocokan dengan suaminya. Adik saya ingin minta
cerai dari suaminya dengan alasan tidak pernah dinafkahi. Bolehkah menggugat
cerai dengan alasan tersebut? Wassalamu ’alaikum wr. wb.
M Shobirin – Sidoarjo
Jawaban:
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu
menurunkan berkat-Nya kepada kita semua. Ketika dua insan yang berlainan jenis
sepakat untuk membina rumah tangga, sudah dapat dipastikan bahwa keduanya tidak
ada niatan atau keinginan untuk bercerai.
Namun terkadang dalam perjalanan biduk rumah
tangga ada persoalan yang sangat berat. Pasangan suami istri dituntut
menyelesaikan persoalan tersebut secara baik-baik. Perceraian bukan solusi
terbaik. Tetapi perceraian boleh diambil jika memang kenyataannya persoalan
tidak bisa diselesaikan dengan cara lain.
Dari sini kemudian lahir pertanyaan, apakah
ketidakmemberian suami terhadap nafkah istri dapat dijadikan alasan bagi istri
untuk menuntut cerai?
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm telah
menyimpulkan bahwa Al-Quran maupun As-Sunah telah menyatakan bahwa tanggung
jawab suami kepada istri adalah mencukupi kebutuhannya. Termasuk di dalamnya
tentunya adalah nafkah.
Konsekuensinya adalah bahwa suami tidak hanya
diperbolehkan menikmati istrinya tetapi melalaikan apa yang menjadi haknya.
Karena itu jika suami tidak memberikan apa yang menjadi hak istrinya, maka
istri boleh memilih di antara dua opsi; tetap melanjutkan rumah tangganya atau
berpisah dengan suami.
قَالَ
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ
عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ
لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا
يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا
مَعَهُ وَفِرَاقِهِ
Artinya, “Imam Syafi’i berkata, baik
Al-Qur`an maupun As-Sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap
istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh
hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya,
dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi
kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh
memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya,” (Lihat Imam Muhammad
Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Darul Ma’rifah, 1393 H, juz VII, halaman
121).
Jika terjadi perceraian, lantas bagaimana dengan
nafkah yang belum diberikan? Dalam konteks ini suami mesti memberikan
nafkah yang belum diberikan. Pandangan ini mengacu pada riwayat yang menyatakan
bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab RA pernah mengirimkan surat kepada para
panglima perang agar mengultimatum para suami yang jauh dari istrinya dengan
dua opsi; segera mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya. Jika pilihannya
adalah menceraikan istrinya, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum
diberikan.
وَكَتَبَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي
رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ
يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا
حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ
Artinya, “Umar bin Khaththab RA pernah
menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh
istrinya, (dalam surat tersebut, pent) beliau menginstruksikan kepada mereka
agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada
para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih
menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka
berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (imam
Syafi’i) kemukakan,” (Lihat Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut,
Darul Ma’rifah, 1393 H, juz VII, halaman 121).
Atas dasar penjelasan singkat ini, maka
jawaban atas pertanyaan di atas adalah boleh istri mengajukan cerai gugat
kepada suaminya dengan alasan suami tidak pernah memberikan nafkah. Nafkah yang
belum diberikan selama rentang waktu tidak memberikan nafkah, mesti diberikan.
Karena itu merupakan hak istri. Jadi nafkah yang belum diberikan dianggap utang
suami kepada istri dengan argumen bahwa agama memberikan ketentuan besaran
nafkah setiap hari untuk istri. Ini dalam pandangan Madzhab Syafi’i.
Sementara menurut Madzhab Hanafi, nafkah yang
belum sempat diberikan tidak tergolong utang suami kepada istri dengan argumen
bahwa tidak ada ketentuan untuk besaran nafkah setiap harinya.
Kembali soal gugat cerai. Di antara argumen
lain yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat yang menyatakan kebolehan
bagi istri untuk mengajukan cerai gugat karena suami tidak memberikan nafkah
adalah firman Allah dalam surat An-Nisa` ayat 34.
الرِّجَالُ
قَوّامُونَ عَلىَ النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ على بَعْضٍ وَبما
أنفَقوا منْ أَمْوَالهِمْ
Artinya, “Laki-laki adalah pelindung kaum
perempuan, oleh karena itu Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) dengan
sabagian yang lainnya (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan
sebagian harta mereka...” (QS. An-Nisa` [4]: 34).
Ayat tersebut dengan jelas memberikan
penguatan kenapa laki-laki adalah pelindung kaum perempuan? Karena antara lain
adalah laki-laki menafkahkan sebagian harta mereka. Dalam konteks relasi
hubungan suami istri ayat tersebut mesti dibaca bahwa suami adalah pelindung
bagi istrinya karena suamilah yang memenuhi nafkahnya.
Dengan demikian, apabila suami tidak mau
memberikan nafkah, maka istri tidak memiliki pelindung. Dan ketika tidak ada
pelindung, ia boleh memilih antara tetap bersamanya serta bersabar dengan
kondisi yang ia hadapi, atau memilih berpisah dengannya.
Namun sebelum memutuskan untuk bercerai
dengan suami karena tidak diberi nafkah, sebaiknya dilakukan upaya mediasi
terlebih dahulu untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Dan jika tetap gagal
dan solusinya hanya dengan berpisah, maka segera selesaikan di pengadilan agama
setempat.
Demikian jawaban singkat ini yang dapat kami
kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima
saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Mahbub Maafi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar