Inklusi
Sosial; Enam Kelompok
Oleh:
Azyumardi Azra
Gerakan
inklusi sosial tidak hanya mencakup anak miskin dan remaja tersisihkan dan
marjinal. Menurut klasifikasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) ada enam kelompok masyarakat yang
memerlukan ‘Program Peduli’ untuk inklusi sosial.
Keenam
kelompok tersisih dan marjinal itu; korban diskriminasi, intoleransi dan
kekerasan berbasis agama; korban pelanggaran HAM berat; waria; masyarakat adat
dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; disabilitas; dan
anak dan remaja rentan.
Keenam
kelompok warga ini cenderung tidak diterima masyarakat lingkungannya. Meski
Kemenko PMK berkerjasama dengan mitra LSM lokal dan internasional telah
melakukan berbagai program inklusi sosial untuk keenam kelompok warga ini,
tetap masih banyak hal yang perlu dilakukan.
Kompleksitas
keenam kelompok marjinal dan tersisihkan ini terlihat dalam dua seminar
terpisah di Surabaya tapi terkait di mana penulis Resonansi ini juga menjadi
narasumber. Pertama lokakarya ‘Perlindungan Minoritas di Indonesia: Menemukan
Solusi Kasus Syiah Sampang’ yang diselenggarakan AMAN Indonesia dan Kontras
Surabaya (5-6/9/2016). Kedua adalah Seminar Nasional ‘Gerakan Inklusi Sosial
Anak Marjinal’, yang diadakan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan
(LPKP), The Asia Foundation dan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT)
Australia.
Termasuk
ke dalam kelompok pertama, para pengungsi Syi’ah sudah empat tahun dalam
pengungsian di ruko Sidoarjo. Mereka tetap masih belum bisa pulang ke kampung
halaman karena masih ada pejabat pemerintah lokal yang menolak kepulangan
mereka. Sebagian kecil pengungsi terlanjur ‘betah’ tinggal di pengungsian.
Mereka juga mengalami kesulitan dalam administrasi pendidikan. Anak-anak mereka
juga menghadapi kesulitan dalam pendidikan.
Kesulitan
pendidikan juga dialami anak dan remaja rentan. Mereka ini sebagian adalah anak
‘oleh-oleh’. Ini istilah sopan untuk menyebut anak TKW yang pulang dari Timur
Tengah atau kawasan mancanegara lain dengan ‘oleh-oleh’ anak. Penampilan fisik
mereka juga bermacam; ada berwajah Arab atau Pakistan atau Bangladesh. Mereka
ditelantarkan begitu saja oleh ibunya, sehingga harus ada pihak lain seperti
pemerintah atau LSM yang mempedulikan mereka.
Anak
‘oleh-oleh’ ini tidak memiliki berbagai dokumen seperti surat nikah ayah dan
ibunya. Akibatnya mereka juga tidak mempunyai akta kelahiran. Akibatnya mereka
tidak dapat diterima di sekolah; tidak pula diterima dalam berbagai urusan
lain.
Karena
itu jelas tanpa kepedulian, kelompok-kelompok marjinal dan rentan ini tetap
tersisihkan. Karena itulah berbagai bentuk gerakan inklusi diperlukan; inklusi
sosial dan budaya, inklusi keagamaan, dan juga gerakan inklusi ekonomi.
Berbagai
bentuk inklusi memerlukan konsolidasi kemitraan sehingga dapat dilakukan
akselerasi gerakan inklusi sosial. Untuk itu perlu katalisator dan focal point,
yang menjadi lokomotif penggerak di lingkungan masyarakat marjinal dan rentan
di berbagai tempat di tanahair. Tanpa adanya focal point, gerakan inklusi
sosial dapat tidak terkordinasi, tumpang tindih dan tidak efisien dan tidak
efektif.
Gerakan
inklusi sosial komprehensif dalam bidang pendidikan selain melalui kelembagaan
pendidikan formal, memerlukan penggalangan segala potensi pembelajaran dan
belajar dalam masyarakat menjadi ‘jaringan belajar’ (learning webs) seperti
diusulkan Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971). ‘Jaringan belajar’ ini
dapat disebut sebagai ‘sekolah tanpa dinding’ (schools without wall).
Tanpa
harus taklid buta pada konsep Illich tentang ‘masyarakat tanpa sekolah’ yang
dalam hal tertentu kurang realistis, gagasannya dapat dimodifikasi dengan
menciptakan ‘jaringan belajar’ di antara berbagai lembaga pendidikan formal dan
non-formal dengan segenap potensi kependidikan yang genuine ada dalam
masyarakat di lingkungan kelompok marjinal dan rentan bersangkutan seperti
Majelis Taklim, Kerapatan Adat, pengajian anak-anak, Didikan Subuh/Duha,
Diniyah, Karang Taruna dan seterusnya.
Pendekatan
‘jaringan belajar’ dapat dipadukan dengan kerangka Paulo Freire, Pedagogy of
the Oppressed (1968; dan 1970). Menurut Freire, pendidikan perlu
refungsionalisasi agar dapat membebaskan peserta didik (anak dan remaja
kelompok marjinal dan rentan) dari ketertindasan (oppression). Pendidikan formal belum mampu
membebaskan mereka karena kelemahan filsafat pendidikan, dan praktek-pedagogi
tidak kreatif, kurikulum sangat berat dan juga sebab masih bertahannya struktur
sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik opresif.
Sebab
itu, harus dikembangkan pedagogi baru yang melibatkan guru, peserta didik, dan
warga masyarakat menuju ‘konsientisasi’ (conscientization)—penciptaan
kesadaran baru peserta didik marjinal dan tersisih. Dengan begitu, mereka dapat
menjadi bagian integral lingkungan sosial lebih luas; itulah tujuan pokok
gerakan peduli inklusi sosial. []
REPUBLIKA,
22 September 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar