Kemiskinan
dan Inklusi Sosial
Oleh:
Azyumardi Azra
Menurut
data BPS jumlah penduduk miskin di Indonesia terus bertahan, atau bahkan
cenderung meningkat. Penduduk miskin adalah mereka yang berpendapatan Rp
364,527 per kapita per bulan untuk perkotaan; atau Rp 343,646 di pedesaan.
Dengan ukuran ini, jumlah orang miskin di Indonesia (BPS, Maret 2015) mencapai
28,59 juta orang (11,22 persen). Angka ini bertambah 0,86 juta dibandingkan
keadaan September 2014 sebanyak 27,73 juta jiwa (10,96 persen).
Jelas
penduduk miskin tidak hanya terdapat di desa, tetapi juga di perkotaan. Persentase
penduduk miskin di wilayah urban sampai September 2014 adalah 8,16. Angka ini
naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Dalam periode ini penduduk miskin di
wilayah urban naik 0,26 juta jiwa—dari 10,36 juta menjadi 10,65 juta.
Kenaikan
penduduk miskin juga terjadi di pedesaan. Antara September 2014 sampai Maret
2015 terjadi kenaikan dari 13,76 persen menjadi 14,21 persen; atau naik
sebanyak 0,57 juta orang—dari 17,37 juta menjadi 17,94 juta jiwa.
Dengan
masih banyaknya penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, bisa dipastikan ada
jutaan anak dan remaja yang mengalami marjinalisasi dan tersisihkan. Mereka
tidak mendapat kebutuhan pokok kehidupan, kesehatan, dan pendidikan secara
memadai; hidup seadanya dan tanpa masa depan yang baik.
Selain
itu, ada juga anak-anak dan remaja yang tersisihkan karena konflik sosial,
budaya dan agama yang terjadi dalam masyarakat. Ada pula yang tersisih karena
kehidupan orangtua mereka sebagai TKIB (Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah) yang
bekerja di negara tetangga seperti Malaysia. Mereka sulit mendapat pendidikan
dasar sekalipun.
Mengingat
anak dan remaja marjinal baik di perkotaan maupun di perdesaan tertinggal dalam
banyak aspek kehidupan, perlu peningkatan gerakan inklusi sosial—yaitu membawa
mereka ke dalam kehidupan sosial lebih luas atau arus utama masyarakat. Untuk
itu perlu strategi inklusi sosial komprehensif.
Strategi
menuju inklusi sosial setidak-tidaknya mencakup tiga bidang besar: pendidikan,
sosial-budaya, dan ekonomi. Strategi dalam ketiga bidang ini terkait satu sama
lain, sehingga memerlukan pendekatan integratif. Dari ketiga bidang itu,
peningkatan pendidikan merupakan prioritas paling mendesak. Hanya dengan
pendidikan, anak dan remaja marjinal bisa terbebaskan dari belenggu kenestapaan
dan keterbelakangan.
Peningkatan
pendidikan anak dan remaja marjinal dan tersisih memerlukan pendekatan
alternatif yang komprehensif dan holistik. Pendidikan formal dasar dan menengah
(SD-SMP/MI-MTs) telah cukup tersedia di perkotaan dan pedesaan dan daerah
tertinggal bahkan sejak masa Orba melalui ‘sekolah Inpres’. Tetapi pendidikan
formal ini sering tidak bisa mereka akses.
Peningkatan
anggaran pendidikan pusat dan daerah sampai 20 persen dari total APBN/APBD
memberikan kesempatan lebih besar bagi anak marjinal dan tersisih untuk
mendapat pendidikan. Tetapi karena berbagai masalah sosial, budaya dan ekonomi
yang dihadapi keluarga miskin, anak-anak dan remaja marjinal tidak dapat
mengambil peluang itu secara maksimal.
Dengan
begitu, meski pemerintah telah berusaha menyediakan pendidikan lebih universal
bagi anak-anak dan remaja, tetapi karena berbagai alasan, tetap saja masih
sangat banyak anak-anak dan remaja marjinal dan tersisih. Karena itu,
organisasi (ormas) dan kelompok masyarakat (biasa dalam bentuk yayasan) tetap
mesti meningkatkan gerakan inklusi sosial melalui perluasan akses pendidikan
dan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya dan agama bagi anak dan remaja
marjinal.
Ormas-ormas
Islam di seantero Indonesia sejak masa awal pembentukan telah bergerak dalam
kegiatan yang banyak mengandung aspek inklusi sosial. Mereka memberikan
perhatian khusus kepada anak-anak dan remaja marjinal dan tersisih dengan
mengenakan pembiayaan seadanya atau ‘seikhlasnya’ bagi mereka yang berasal dari
keluarga dhu’afa, fakir dan miskin.
Meski
ormas-ormas dan kelompok masyarakat (yayasan) menghadapi banyak keterbatasan,
sejak dari prasarana dan fasilitas pendidikan lain, tenaga guru, bahan dan buku
untuk pengajaran dan pembelajaran, lembaga pendidikan formal telah memberikan
kontribusi penting ke arah peningkatan (Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
anak-anak dan remaja marjinal dari lingkungan rakyat miskin dan tertinggal.
Karena
itu yang kini sangat mendesak dilakukan adalah konsolidasi kerjasama dan
kemitraan berbagai instansi, ormas, lembaga yang bergerak dalam gerakan inklusi
sosial. Konsolidasi kerjasama mencakup antar-kementerian, antar-instansi dan
antar-lembaga terkait seperti Kemenko Kesra, Kemendikbud, Kemenag, Kemensos,
Kominfo, Kemenakertrans, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota beserta ormas dan
yayasan di lingkungan masyarakat.
Konsolidasi-kemitraan
mesti pula mencakup lembaga amil zakat (LAZ) dan institusi filantropi Islam
semacam Baznas atau Dompet Dhu’afa. Selain itu, perlu juga kemitraan dengan
donor internasional yang menaruh minat pada pengembangan inklusi pendidikan,
sosial-budaya dan ekonomi masyarakat marjinal dan tertinggal—termasuk anak-anak
dan remaja mereka. []
REPUBLIKA,
15 September 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar