Jumat, 29 November 2013

Gus Mus: Pemilu Dan Kedewasaan Rakyat*)


Pemilu Dan Kedewasaan Rakyat*)

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

 

Sebelum pilpres, mengikuti perkembangan pilpres di Iran, banyak di antara kita yang ketir-ketir. Apalagi dinamika kampanye para kandidat dan tim-tim sukses mereka begitu luar biasa. ‘Kampanye putih’, ‘kampanye abu –abu’, hingga ‘kampanye hitam’ keluar semua dari sana-sini.

 

Namun, alhamduliLlah, pilpres kita kemarin berlangsung aman dan lancar. Rakyat yang berdatangan ke TPS-TPS terlihat begitu santai dan guyub. Setelah nyontreng, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing seperti biasa. Lalu mereka secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai nonton hasil pencontrengan mereka di quick count. Bahkan banyak yang nonton bareng sesama penyontreng yang berbeda pilihan. Mereka tertawa-tawa, kadang-kadang saling ledek laiknya sesaudara. Lihatlah, betapa dewasanya mereka.

 

Kalau harus ada yang diacungi jempol dalam pesta demokrasi ini, tidak diragukan lagi yang pertama-tama berhak kita acungi jempol adalah mereka, rakyat Indonesia.

 

Rakyat Indonesia rupanya benar-benar belajar dan menyerap pelajaran dengan baik. Dengan berkali-kali pemilu dan pilkada, mereka semakin terbiasa dengan pengamalan demokrasi. Sudah dua kali pilpres, mereka menunjukkan kedewasaan mereka. Bahkan dibandingkan dengan para pemimpin dan tokoh politik di atas yang sok demokratis, kelihatannya mereka lebih dewasa.


Mungkin mereka –rakyat Indonesia itu-- belajar juga dari kompetisi sepakbola dunia yang begitu enak ditonton. Para pemain begitu serius dan sungguh-sungguh dalam bertanding; masing-masing berusaha dengan segenap daya untuk mengalahkan lawan. Para penonton juga tidak kalah dahsyat di dalam menyemangati jago masing-masing. Namun begitu peluit panjang ditiup, para pemain bersalaman dan berangkulan dengan lawan; bahkan saling bertukar kaos. Mungkin yang tidak kunjung menyerap pelajaran seperti ini --ironisnya-- justru insan-insan persepakbolaan kita sendiri.


Seperti juga saat selesai pertandingan antara antara dua kesebelasan dunia, orang-orang –sering kali bersama-sama antara para pendudukung kesebelasan yang berbeda-- dengan santai melakukan evaluasi. Mengapa ini menang, mengapa itu sampai kebobolan. Dalam pilpres kali yang menarik mereka bicarakan adalah dua calon ‘incumbent’: SBY dan JK. Dari sejak mencalonkan diri hingga menjelang penyontrengan, JK tak henti-hentinya diberitakan berkibar dimana-mana. Tokoh-tokoh pengusaha, inteletual, dan kiai –bahkan ada yang secara kelembagaan-- beramai-ramai mendukung dan ikut mengampanyekannya. Tapi mengapa perolehannya –menurut quick count-- cuma sekian? Tentu tidak lucu jika kita menyalahkan quick count.


Beberapa pengamat pun melemparkan pendapat. Ada yang berpendapat, JK telalu mempet waktunya memperkenalkan diri sebagai capres. Ada yang mengatakan bahwa gaya JK yang ditampilkan, terlalu cepat ; mestinya untuk tahun 2019. Ada pula yang menyalahkan partainya: golkar. Tentu banyak juga yang mempertanyakan, kenapa begitu banyak kiai --bahkan ada yang membawa lembaganya, pesantren atau NU—yang terang-terangan dan dengan tegas mendukung JK, namun hasilnya seperti tidak ada?


Dalam hal ini, umat rupanya juga benar-benar belajar dan menyerap pelajaran terutama dari para pemimpin mereka itu sendiri. Selama ini mereka diajari untuk menyintai ilmu agama dan amal; konsentrasi ke urusan akherat ; tidak menggandrungi dunia, pangkat, dan kekuasaan; tidak membawa-bawa NU atau pesantren ke ranah politik praktis. Di lain pihakmereka juga mengamati sepak terjang para kiai panutan mereka itu. Nah, mereka pun kemudian mendapat ‘ilmu’dan berpikir positif: sepanjang berkaitan dengan ilmu agama, amal, dan urusan akherat ; mereka akan ikut dan sam’an watha’atan kepada para kiai panutan mereka itu. Tapi kalau soal dunia, pangkat ,kekuasaan, dan politik praktis; mereka akan ‘ijtihad’ sendiri. Bahkan tidak sedikit yang sengaja seperti ‘melawan’ terhadap ketidaksesuaian ajaran panutan mereka dengan perilakunya, lalu memilih asal bukan pilihan panutannya itu. Maka terbukti; baik dalam pilkada, pileg, maupun pilpres; kebanyakan calon yang didukung para kiai --apalagi yang membawa institusi – selalu kalah. Di ranah ini, dalam hal pengumpulan suara, para kiai seperti tidak mempunyai pengaruh apa-apa. JK bukan orang pertama yang terkejut dengan hasil yang begitu jomplang antara perkiraan sebelum pemilu dan hasil sesudahnya. Sebelumnya sudah ada yang terkejut seperti itu, termasuk para cagub dan cabup.


Demikianlah; apabila rakyat dan umat telah benar-benar belajar dan mengamalkan ‘ilmu titen’, rupanya tidak demikian dengan kebanyakan para tokoh pemimpin mereka. Para kiai yang ikut sibuk ngurusi politik praktis, ternyata tidak kunjung pandai dalam hal satu ini. (Rupanya sulit benar mereka memahami “khidaa’” dalam “alharb”) . Meki sudah sering berhubungan dengan umara dan politisi, tetap saja mereka tidak kunjung mengenal tipologi umara. Demikian pula sebaliknya, banyak umara dan politisi yang tidak kunjung mengenal tipologi kiai dan peta pengaruhnya.


Ya, rakyat Indonesialah yang cepat belajar dan karenanya tampak kian dewasa dan arif di hadapan demokrasi. Semoga para pemimpinnya segera belajar dari kedewasaan dan kearifan rakyat mereka. Mudah-mudahan yang menang tetap rendah hati dan berpikir: kemenangan adalah amanah dan bukan anugerah; selalu mengingat janji-janjinya pada saat kampanye. Sementara yang kalah tetap berjiwa besar laiknya pemimpin bangsa sejati dan berpikir: kekalahan adalah anugerah dan bukan musibah; mengabdi Indonesia tidak harus menjadi presiden atau wakil presiden.


Dan akhirnya Indonesia dan rakyat Indonesia akan memetik manfaatnya. Semoga.

 

Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

*) Oleh redaksi Jawa Pos judul ini diganti “Rakyat Sudah Dewasa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar