Kamis, 28 November 2013

(Ngaji of the Day) Partai Politik Kuda Lumping


Partai Politik Kuda Lumping

Oleh: Ahmad Dairobi/BS

 

Berbicara mengenai pentingnya partai politik di masa modern ini sama halnya dengan berbicara mengenai peran militer di masa lalu. Di masa-masa Abad Pertengahan, kegiatan militer merupakan cara yang paling banyak ditempuh untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan.

 

Saat ini, peran aksi militer dalam perebutan kekuasaan sudah jauh berkurang, bahkan nyaris tidak pernah terjadi. Kekuasaan hampir selalu didapat melalui cara-cara demokratis, melalui pilihan rakyat, melalui partai politik. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mewujudkan gagasannya melalui perangkat kekuasaan, maka sudah seharusnya dia berkecimpung di politik, tentunya melalui partai politik. Kalaupun tidak berkecimpung secara penuh, minimal dia harus bersentuhan. Tidak boleh tidak.

 

Menafikan partai politik dalam kondisi seperti saat ini, sama halnya dengan menafikan perjuangan melalui medan kekuasaan. Padahal, kekuasaan merupakan tunggangan yang paling cepat dan taktis untuk membangun sebuah tujuan secara massif, termasuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan ajaran agama.

 

Dakwah dan perjuangan yang dilancarkan melalui jalur struktural-kekuasaan, ibarat menunggang kuda. Memang cukup sulit untuk bisa menguasai tunggangan itu dengan baik, namun jika sudah berhasil dikuasai maka akan mempermudah dan mempercepat dia sampai ke tujuan. Menguasai politik sebagai tunggangan dakwah memang sangatlah sulit. Namun, jika sudah benar-benar kena, maka kekuasaan politik akan sangat mempermudah jalan dakwah.

 

Jadi, pada tataran ideal, di tengah-tengah negara yang menganut sistem demokrasi, partai politik memiliki peran yang sangat signifikan bagi kemaslahatan masyarakat dan umat. Sebab, partai politik merupakan tunggangan yang paling mungkin dan paling realistis untuk bisa membuka akses menuju kekuasaan, jabatan publik, otoritas legislatif, penetapan anggaran, dan lain sebagainya. Sudah sangat maklum, bahwa ranah-ranah tersebut sangatlah menentukan nasib jutaan rakyat yang berada di sebuah negara.

 

Itu pada tataran idealnya. Akan tetapi, realitas partai politik, terutama yang terjadi di Indonesia saat ini, masih sangat jauh panggang dari api. Sejak era reformasi bergulir, sepertinya partai politik justru lebih banyak melahirkan petaka sosial-politik di masyarakat, ketimbang memperjuangkan aspirasi mereka. Partai politik, setidaknya, telah membawa masyarakat semakin terbiasa terlibat ke dalam intrik-intrik politik yang kurang baik. Para kader dan para calon yang diusung partai seringkali mempertontonkan langkah-langkah politis jalan pintas yang benar-benar tidak mendidik.

 

Partai politik juga telah banyak memanfaatkan karisma yang dimiliki oleh para tokoh kultural untuk memperoleh dukungan. Terjunnya tokoh-tokoh karismatik ke dalam politik praktis, lambat laun menyebabkan pudarnya aura panutan pada diri mereka.

 

Dapat dirasakan dengan mudah, bahwa persepsi masyarakat mengenai partai politik sudah jauh berbeda dibanding zaman Orde Baru dahulu. Kala itu, kaum pesantren misalnya, masih memiliki kepercayaan kuat bahwa partai yang mereka pilih di waktu itu (PPP) merupakan gerbong perjuangan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Sehingga, keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat dalam politik praktis tidak mengurangi karisma mereka di mata umat. Justru, umat menganggap urusan partai sebagai bagian dari perjuangan.

 

Beberapa tahun setelah era reformasi bergulir, persepsi simpatik itu bergeser jauh. Lambat laun masyarakat mulai merasakan bahwa partai politik lebih berperan sebagai gerbong kekuasaan dan kepentingan, daripada gerbong perjuangan. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sangat rendah. Hal itu terbukti dengan beberapa hasil survei belakangan ini, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai produk dan representasi utama partai politik, sangatlah rendah.

 

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat ini diakibatkan oleh perilaku politik yang mengecewakan dan banyak terjadinya penyelewengan kekuasaan, termasuk oleh tokoh-tokoh kultural yang kebetulan terpilih untuk duduk di kursi-kursi elite politik.

 

Sementara ini, memang belum terlihat perbedaan yang hitam-putih antara perilaku elite politik dari partai yang mengaku ‘religius’ dengan partai-partai lain yang tidak mengusung platform keagamaan sama sekali. Sebab, meskipun mengaku memiliki platform berbeda-beda, tapi pada dasarnya tujuan partai politik adalah sama, yaitu sama-sama merupakan mesin untuk mendapatkan kekuasaan.

 

Sudah menjadi kecenderungan manusia secara umum, bahwa orang yang dekat dengan kekuasaan, akan semakin besar peluangnya untuk bermental korup. Sebab, politik seringkali menjadi medan abu-abu yang memaksa elite-elitenya untuk banyak berkom­promi dengan berbagai realitas politik dan kepentingan, lalu pada saat bersamaan ia harus melepas idealisme yang dipegang dengan kuat sebelum itu.

 

Oleh karena partai politik sangat rentan diselewengkan untuk kepentingan segelintir elitenya, maka masyarakat mesti berpartai dengan cara yang cerdas dan kritis. Partai politik tidak boleh diletakkan sebagai kiblat yang final, kecuali dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak, seperti halnya yang terjadi di zaman Orde Lama, di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi ancaman serius bagi agama dan negara.

 

Partai politik harus diletakkan sebagai sarana untuk membawa aspirasi. Jika langkah dan kebijakan para elite partai tersebut sudah tidak sesuai dengan tujuan konstituen, maka sudah semestinya mereka berbondong-bondong hengkang dari sana. Memilih partai yang salah sama halnya dengan memaksa negara untuk melakukan kesalahan dalam skala yang luas.

 

Dalam hal ini, tokoh-tokoh karismatik merupakan orang yang paling bertanggung­jawab terhadap sikap politik masyarakat yang dipimpinnya. Kalangan awam tidak tahu menahu mengenai apa dan bagaimana politik. Pilihan masyarakat awam, pada umumnya, sangat ditentukan oleh sikap tokoh-tokoh yang menjadi panutan mereka.

 

Oleh karena itu, tokoh-tokoh panutan memiliki kewajiban moral untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar menjauhi sikap fanatisme buta terhadap partai politik. Dalam kondisi perpolitikan yang serba abu-abu seperti saat ini, fanatisme terhadap partai hanyalah bentuk ‘kekanak-kanakan’ yang amat menggelikan. Apalagi, jika sampai menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan anarkis yang dipicu oleh perbedaan gambar semata.

 

Masyarakat harus benar-benar diberi pemahaman, bahwa partai politik yang ada saat ini, bukan lagi tunggangan kuda bagi sebuah perjuangan. Partai politik seringkali hanyalah seekor kuda lumping yang menjadi mainan orang-orang di atas, lalu tidak jarang membuat kesurupan orang-orang di bawah. []


Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar