Rabu, 13 November 2013

(Ngaji of the Day) Fikih Lingkungan dan Bencana Alam


Fikih Lingkungan dan Bencana Alam

 

Kita patut prihatin dengan rentetan bencana alam yang menimpa saudara-saudar kita di beberapa kawasan di tanah air baru-baru ini. Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) mencatat, selama 31 hari pada Januari telah terjadi 119 bencana yang mengakibatkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, serta belasan ribu rumah rusak.

 

Menyikapinya, tidak salah jika kita menyebut sebagai bagian dari takdir Ilahi. Akan tetapi, apakah takdir tersebut lepas dari sebab? Secara eksplisit, al-Qur’an menyatakan bahwa egala jenis kerusakan yang terjadi di permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya. Allah SWT berfirman:

 

وَلاَتُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ اْلمُحْسِنِيْنَ

 

Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [07]:56).

Dalam firman yang lain, Allah SWT menegaskan:

 

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَاتُفْسِدُوْا فِى اْلأَرْضِ قَالُوْا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ, أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلَكِنْ لَايَشْعُرُوْنَ

 

Artinya: “Jika dikatakan pada mereka, jangan kalian mebuat kerusakan di bumi, mereka mengatakan: kami hanya memperbaikinya. Ingat! Sesungguhnya mereka adalah perusak, hanya saja mereka tidak merasa.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 11).

 

Dalam banyak tafsir, perusakan manusia dimaksud dalam dua ayat berkaitan dengan keyakinan dan perbuatan lalilm, seperti perbuata kufur, maksiat, munafik, dan perbuatan dosa lainnya. Akan tetapi, di sisi yang lain Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.), salah satu ulama Mazhab Syafi’i kenamaan, memiliki pandangan berbeda khususnya berkaitan dengan tatanan alam dan manusia. Tentang dua ayat ini, beliau menyinggungnya dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah, alah satu kitab kumpulan fatwa Ibnu Hajar.

 

Dalam ulasannya, Ibnu Hajar menyatakan bahwa ayat di atas merupakan tanshish (dalil) atas ketegasan larangan Allah SWT terhadap segala bentuk perusakan di muka bumi. Pamakaian kata ‘al-ardh’ yang berarti bumi atau alam, mengindikasikan adanya keumuman kata sehingga mencakup seluruh alam. Apalagi, kata ardh bergandengan dengan ‘al’ yang menurut kalangan para pakar ilmu metodologi fikih (Ushuliyah) menunjukkan keumuman sebuah kata.

 

Dari itu, meskipun ayat ini tujuan utamanya adalah masyarakat Madinah di mana ayat ini di turunkan, tetapi pelarangannya bersifat universal, mencakup seluruh masyarakat dunia. Sebab, akibat yang dimunculkan dari perusakan alam akan lebih parah (aqbah) dibandin perusakan itu sendiri,dan itu tidak hanya pada Madinah tapi juga pada belahan dunia lainnya.

 

Dalam hal ini, Ibnu Hajar juga mangatakan, di antara tujuan penting dari ayat ini adalah sebagai puncak peringatan keras sekaligus menakuti manusia (ghayatut-taqri’ wat-takhwif) bahwa perusakan yang dilakukan akan berakibat pada kematian penduduk bumi, terutama manusia sendiri. Sebab, kerusakan pada bumi mendatangkan kehancuran dan kemusnahan penduduka bumi. Sepertinya, kata Ibnu Hajar, telah dikatakan kepada manusia sebuah peringatan: “Jangan kalian menjadi sebab dari kerusakan diri kalian dari dengan cara membuat kerusakan lingkungan di sekitar kalian.

 

Tujuan penting lain dari ayat ini adalah untuk mengingatkan manusia (tadzkir) terhaap asal penciptaan mereka (mabda’) setelah meninggal. Sepertinya, kata Ibnu Hajar pula, dikatakan pada manusia: “Jangan kalian membuat kerusakan pada asal kejuadian kalian, tempat kalian diciptakan, dan kalian akan kembali padanya. Lumpur dan bumi adalah asal kejadian kalian. Dari bumi kalian diciptakan dan ke bumi kalian dikmbalikan. Bagaimana mungkin kelian membuat kerusakan di bumi?

 

Demikian jelasnya Allah SWT melarang manusia berbuat nista pada ekosistem alam, karena dapat mengancam kehidupan manusia sendiri. Dalam bahasa fikih, larangan paling tidak berhukum makruh atau bahkan bisa haram. Pada sisi yang lain, kita juga dilarang untuk membahayakan diri dan orang lain. kenyataannya dampak dari kerusakan lingkungan dapat mendatangkan bencana dan banyak memakan korban secara umum.

 

Dalam analisa beberapa pakar, bencana alam seperti banjir dan longsor tidak datang secara tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari tindakan yang selama ini dilakukan oleh banyak manusia. Pori-pori bumi yang ditutupi sehingga air hujan tidak bisa terserap dan tindakan membuang sampah sembarangan adalah di antara hal yang mendatangkan banjir. Semantara penebangan pohon yang terkontrol selain menyebabkan banjir juga menimbulkan longsor.

 

Walhasil, kita memerlukan rumusan fikih yang jelas berkaitan dengan perusakan alam. Sebab, dalam komentar Ibnu Hajar di atas juga tidak secara eksplisit menyatakan hukum haram. Namun demikian, kita tetap berusaha untuk mengekang diri agar tidak berbuat sesuatu yang dapat merugikan lingkungan sekitar kita. Mudahnya, jika kita ingin memotong sebuah pohon maka kita tanam bibit baru sebagai gantinya. Dengan demikian, berarti kita mencari jalan menuju takdir Allah SWT pula, yaitu selamat dari bencana.

 

Kadang kita salah kaprah dengan mengingat takdir manakala ada kejadian yang tidak menyenangkan. Keberadaan bencana kita sebut sebagai takdir, sementara di sisi lain, selamat dari bencana jarang kita sebut sudah takdir, padahal keduanya sama-sama takdir Allah SWT. Bisa jadi keduanya adalah takdir mu’allaq yang masih bisa diusakan dan juga bisa dihindari, karena ia juga bisa dihindari, karena ia juga akibat dari tindakan kita selama ini.Wallahu a’lam. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar