Rabu, 13 November 2013

Gelar Tuanku bagi Alumni Pesantren


Gelar Tuanku bagi Alumni Pesantren

 

Berbeda dengan pesantren di Nusantara pada umumnya, pesantren atau surau yang ada di Padang Pariaman memberikan gelar Tuanku bagi para santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren. Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi itu bermula, tetapi saat ini sudah dipahami masyarakat di Padang Pariaman bahwa tuanku merupakan gelar akademik pesantren salafiah di Padang Pariaman dan daerah lainnya.

 

Tradisi ini tetap berkembang di pariaman, karena sejak awal, karena di pesantren padang pariaman, terutama di sekitar masjid Syeh Burhanuddin dijaga oleh para pendekar yang sangat sakti dan berani sehingga sejak awal pasukan Paderi yang Wahabi itu tidak berani mengusik keberadaan pesantren dan makam keramat itu.

 

Sebagai gelar akademik pesantren, maka gelar itu tidak diberikan kepada sembarang orang. Namun harus diberikan kepada orang yang sudah menempuh pendidikan agama yang telah menguasai kitab-kitab kuning (kitab klasik) karangan ulama Timur Tengah. Pemberian gelar itu disamping harus memenuhi bebrapa syarat, juga dilaksanakan dalam prosesi yang menyatu dengan adat. Gelar tuanku diberikan oleh syekh, kiai atau guru, kemudian mendapat legitimasi atau pengakuan secara de jure dari adat melalui mamak, sekalipun restu atau legitimasi dari mamak adat tidak mutlak.

 

Dengan demikian seorang tuanku adalah orang yang menguasai agama secara mendalam dan sekaligus mengetahui adat. Kemampuan itu disebut dengan, memahami rukun tigo baleh surau dan rukun tiga baleh kampung (ketek banamo, gadang bagala). Bahkan menurut seorang tokoh adat Minang H Muhammad Letter Tuanku Bagindo, bahwa gelar tuanku merupakan persenyawaan atau titisan dari filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Dengan kapasitas semacam itu seeorang tuanku telah siap menjadi ulama dan sekaligus ketua adat. Denagan demikian tradisi pesantren itulah yang akan bisa menyelelamatkan budaya Minang.

 

Persyaratan akademis yang harus dimiliki seorang santri untuk mendapatkan gelar tuanku adalah, pertama; santri yang sudah belajar sekitar tujuh tahun dan menguasai ilmu keislaman seperti tafsir, hadits, fiqih, nahwu, sharaf, sudah boleh mendapatkan gelar tuanku. Kedua, pernah menjadi gurutuo (pengajar). Sebagaimana tradisi di pesantren, santri yang sudah kelas IV kelas V, kelas I, II dan III. Ini sebagai bukti bahwa mereka benar-bebanr menguasasi ilmu agam dan mampu mengajarkannya. Selain itu mereka memiliki rasa pengabdian pada pesantren dan masyarakat.

 

Pemberian gelar tuanku merupakan bentuk penghormatan pada seorang santri, bukan berarti santri harus berhenti belajar. Meskipun mereka telah mendapatkan gelar tuanku, tetapi kalau masih berniat meneruskan belajar ilmu tertentu di pesantren tertentu, tidak ada halangan bagi mererka belajar dan mengajar di pondok pesantren.

 

Prosesi adat yang dilakukan dalam pemberian gelar tuanku adalah pertama; menyembelih seekor kambing. Kedua, menyediakan juadah (sejenis makan yang dibuat khusus pesta perkawinan di Padang Pariaman). Ketiga, memberi sedekah kepada guru (pimpinan pondok pesantren), saat ini besarnya minimal Rp 100.000. Sedekah ini merupakan salah satu bentuk simbol menghormati guru. Selain itu, ada juga pimpinan pondok pesantren meminta kepada santri yang diberi gelar tuanku menyumbangkan satu kodi kain sarung. Kain sarung tersebut diserahkan kepada pimpinan pondok pesantren, kemudian pimpinan pondok Pesantren memberikan kepada ulama atau undangan yang dianggap perlu.

 

Pemberian gelar tuanku ini bersifat suka rela, ada santri yang mamu tetapi bila santri tidak berminat diberi gelar juga tidak masalah. Pimpinan pesantren hanya memberikan gelar tuanku. Kemudian komunitas ada memberikan tambahan gelar tuanku dibelakang namanya adalah pemberian ninik mamak dari santri sendiri. Biasanya ketika dilakukan pemeberian gelar pihak ninik mamak dari santri tersebut hadir dan bermusyawarah apa nama gelar yang disepakati.

 

Nama tambahan tuanku bisa diambil dari gelar ayah, atau warna kulit. Seperti tuanku Bagindo, jika ayahnya bergelar bagindo. Tuanku Sidi kalau ayahnya bergelar Sidi, dan seterusnya. Gelar yang diambil dari warna kulit seperti Tanku Kuniang, yang memiliki warna kulit kuning.

 

Santri yang sudah mendapatkan gelar tuanku, tidak diperkenankan mendapatkan gelar Datuak (penghulu) dari kaumnya. Karena fungsi tuanku jauh lebih besar ketimbang fungsi penghulu yang hanya sebatas kaum dari santri tersebut. Sedangkan fungsi tuanku adalah fungsi ulama, yang menjadi panutan dari umat. Fungsi dan pengaruhnya melampui batas kaum. Kalaupun ada seorang tuanku yang terpaksa diangkat jadi penguhulu, biasanya gelar datuknya jarak digunakan dibanding gelar tuanku yang diperolehnya.

 

Beberapa kewajibaan dan pantangan santri yang sudah diberi gelar tuanku ada lima hal yang selalu harus diperhatikan, yaitu; pertama, manjaweh upah (meminta upah), sebagai buruh kasar misalnya menjadi kuli. Kedua, minum di pondok layang-layang, hal itu dimaksudkan untuk menjaga kehormatan gelar tuanku itu. Ketiga, harus menutup aurat, terutama jika keluar dari rumah dan masuk rumah orang. Keempat, kemanapun pergi harus selalu memakai kopiah jika ke luar rumah. Kelima, tidak boleh duduk di tempat maksiat.

 

Tradisi pemberian gelar tuanku ini terus berkembang seiring dengan laju pertumbuhan pesantren salaf di sana, yang mengajarkan kitab klasik sebagaimana pesantren salaf di Jawa. Dengan adanya tradisi pesantren itu tradisi Minang versi adat tetap lestari. Bahkan kan saat ini terekat yang berkembang di sana telah terintegrasi dengat tarekat An-Nahdliyah, sehingga pesantren Ulakan menjadi basis pengembangan NU di Kawasan Sumatera Barat. (mdz)

 

Disadur dari buku "Tuanku Menggugat" karya Bagindo Armaido Tanjung, Pustaka Artaz, Padang: 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar