Senin, 11 November 2013

Kang Sobary: Zaman Tipu-menipu


Zaman Tipu-menipu

Oleh: Mohamad Sobary*

 

Sejauh menyangkut kehidupan rakyat pedesaan ―kaum tani, “wong cilik” ―sejarah abad ke-19 penuh hal mengenaskan sekaligus menggelikan.

 

Tapi, tak mungkin kita menertawakannya karena apa yang “menggelikan” tadi bukan dagelan dan jelas bukan hiburan. Abad itu kita sebut abad kolonial yang bengis, tidak manusiawi, dan menghasilkan banyak pengorbanan jiwa. Siapa yang bisa menjadikan derita sesama manusia seperti itu sebagai hiburan?

 

Sejarawan Onghokham mencatat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “serat Jayabaya” berasal dari kira-kira pertengahan abad ke-18, yang menjadi populer pada abad ke-19.

 

Sejarawan ini melihat “serat Jayabaya” sebagai dokumen sosial, yang di dalamnya, sebenarnya masyarakat hanya memercayai dua zaman, yaitu zaman edan di mana mereka hidup pada saat itu dan zaman emas yang mereka harapkan.

 

Isu penting saat itu menyatakan, Senopati itu raja Mataram. Tetapi,setelah seratus tahun, perang saudara hebat akan pecah antara para keluarga raja yang saling berebut takhta dan kerajaan akan jatuh… akan terjadi kekacauan yang lebih besar. Kemarahan Tuhan akan menghukum tanah Jawa.

 

Kemakmuran hilang. Yang Agung menindas rakyat. Kebenaran diganti kebohongan. Keadilan tidak tetap. Rakyat kekurangan. Mereka “ngalor-ngidul” dalam kebingungan. Ini yang disebut zaman edan, dalam catatan Onghokham. Kita menyebutnya, Pak Ong.

 

Akan datang Ratu Adil pertama, Sri Tanjung Putih. Namun,di zaman ini masih ada beban pajak-pajak.Diganti Ratu Adil kedua, di bawah Erucakra di mana pajak-pajak menjadi lebih rendah lagi. Bukan hanya ini catatan Pak Ong mengenai Ratu Adil.

 

Di Desa Patik, Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, pada November 1885, para pemilik tanah yang berjumlah kira-kira seratus orang, mengangkat carik desa mereka sebagai ratu baru dengan gelar Pangeran Lelono yang akan menghapuskan pajak-pajak. Mereka juga bermaksud membunuh semua pejabat Belanda setempat. Ini sebenarnya merupakan sebuah pemberontakan.

 

Mari kita perhatikan hal menggelikan itu; carik desa, dijadikan ratu (raja) baru, dengan gelar yang menyeramkan: Ratu Lelono. Apa yang bisa dilakukan seorang carik desa― yang pasti tak berpendidikan, dengan pengalaman amat terbatas ― untuk menjadi raja dan diharapkan menghapuskan pajak-pajak.

 

Oh, betapa kasihan mereka. Betapa berat beban jiwa bangsa terjajah yang sedang bergulat membebaskan diri dari penjajahan. Diketahui, ketua pemberontakan itu seorang priayi keturunan bekas keluarga BupatiPonorogo. Priayi inilah yang membujuk carik desa tadi untuk menjadi Ratu Adil.

 

Kita merasa ngenas: pemberontakan itu dipadamkan dengan mudah, dan cepat, pada hari itu juga, tanpa banyak korban jiwa. Pak Ong mencatat itu semua di dalam bukunya,Negara dan Rakyat, yang diterbitkanPenerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983.

 

Kesenjangan

 

Sesudah setiap kali membaca, dan membaca lagi kisah tragis itu, pemikiran kita menyusur jauh ke situasi zaman itu; dan kembali ke zaman sekarang, ke dalam kehidupan kita sehari-hari, dengan sikap berontak.

Kita tak mungkin mengizinkan ketidakadilan merajalela, meskipun itu hanya terjadi di dalam sebuah bacaan. Apalagi, itu bacaan mengenai sejarah kita sendiri. Apalagi, di zaman ini pun kita belum bebas dari ketidakadilan seperti itu.

 

Di hampir setiap pelosok dunia, dalam kurun sejarah masing-masing, pernah mengalami zaman gelap: zaman jahiliah yang penuh penindasan, tipu-menipu, penjarahan, pembunuhan, dan ketidakadilan.

 

Sekarang kita hidup di zaman lain. Peradaban sudah beralih ke zaman terang: kita merdeka, bebas, maju. Berbagai segi kehidupan berkembang berkat kemajuan. Mungkin, terutama, kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Tapi,kesenjangan jiwa masyarakat ― bisa juga jiwa bangsa ― tak bisa disembunyikan. Di tengah kemajuan besar melampaui apa yang bisa kita bayangkan ini, perilaku menyimpang: pelanggaran hukum, tindakan asusila, perampasan hak, pencurian, tipu-menipu, kebohongan,dan segenap corak ketidakadilan, masih tetap mewarnai kehidupan kita.

 

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu tinggi, hidup kita bisa compang-camping kalau― seperti sekarang ini ― kita tak memiliki kematangan jiwa dan tanggungjawab. Kemajuan bisa sekaligus berarti fasilitas bagi tindak kejahatan. Mungkin lebih mengerikan dibanding kejahatan konvensional yang sudah lama kita kenal.

 

Kejahatan menjadi semakin canggih. Dengan teknologi kejahatan perbankan menjadi sangat mengerikan: tak berwajah, “dingin”, rapi, sukar dilacak, dan spektakuler. Tapi,juga harus dicatat: semua itu lebih berbahaya, ganas, kejam, dan tidak manusiawi, melebihi apa yang bisa kita bayangkan.

 

Dengan kata lain, zaman jahiliah itu masih bersama kita. Sekali lagi, kejahatannya lebih mengerikan.Kejahatan lewat HP, sering mengecoh dan menimbulkan korban. Dalam waktu cepat penjahat bisa lenyap, tak terlacak.

 

Beroperasi di kantor, menawarkan jasa, mengingatkan sebuah seminar yang perlu dana, menipu ada keluarga dalam keadaan darurat, atau pelakunya, mengaku nama kita, menipu, memeras, dan berbagai cara tak bermoral untuk mengumpulkan uang.Orang jahat ini merajalela.

 

Sejak dua tahun lalu FB saya dibajak penjahat untuk menipu, memeras, dan mengecoh orang, dengan motif mencari uang. Banyak usaha yang sudah dilakukan.

 

Selama ini tak ada yang terkecoh. Tiap kali orang ditipunya, dengan mengaku nama saya, mereka minta konfirmasi pada saya. Kemarin, hari libur, Selasa, 1 Muharam, ada yang ditipu memakai tampilan saya di FB, tanpa konfirmasi, langsung setor uang. Kali ini si penjahat berhasil memperoleh uang.

 

Siapa pun, yang ditipu dengan memakai nama saya, jangan percaya. Itu penjahat, dan juga mata-mata agak murahan. Zaman tipu-menipu membuat kita waspada. Jangan ada yang tertipu lagi.

 

*Penulis adalah budayawan.

 

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar