Rabu, 27 November 2013

(Ngaji of the Day) Rekonstruksi Fiqih al-Bi’ah


Rekonstruksi Fiqih al-Bi’ah

Oleh: Ahmad Mufid Bisri

 

Secara umum tujuan pemberlakuan hukum Islam atau maqashid as-syari’ah adalah untuk mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat. As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat telah memformalitaskan maqashid as-asyari’ah melalui teori maslahah dengan membaginya menjadi lima konsep, hifdzu ad-din, hifdzu an-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu al-mal dan hifdzu an-nasl.


Kelima konsep tersebut secara spesifik terbagi dalam tiga level, dharuriyyat (elementer), haajiyyat (suplementer) dan tahsiniyyat (komplementer).


Selanjutnya, para intelektual muslim merumuskan konsep baru dan memasukkannya sebagai bagian dari konsep maqashid as-asyari’ah, yaitu hifdzul-bi’ah (menjaga lingkungan), hingga muncul apa yang disebut fiqih lingkungan (fiqih al-bi’ah; environment islamic law). Sayangnya, di Indonesia yang mayoritas muslim, konsiderasi mengenai fiqih al-bi’ah baru muncul pada tahun 1960 melalui seminarseminar.


Rekonstruksi Fiqih al-Bi’ah


Signifikansi rekonstruksi fiqih al-bi’ah ditengarai paling tidak oleh tiga faktor. Pertama, kondisi obyektif krisis lingkungan yang makin parah. Kedua, umat Islam memerlukan kerangka pedoman komprehensif tentang paradigma di dalam masalah lingkungan, sedangkan Fiqih klasik dipandang belum mengakomodir kerangka operasional dalam perspektif lingkungan modern. Ketiga, fiqih al-bi’ah belum dianggap sebagai disiplin dalam ranah studi Islam. Akar-akar ontologis dan epistemologisnya juga masih diperdebatkan.


Lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap manusia. Mengamini hal tersebut, UUD 1945 (amendemen kedua, tahun 2000) pasal 28H ayat (1) menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Berdasarkan spirit itulah wawasan mengenai lingkungan hidup masuk dalam agenda besar pembangunan ekonomi nasional di satu sisi.


Di sisi lain, ekosistem yang semakin menurun telah mengancam tidak saja kelangsungan perikehidupan manusia, namun juga makhluk hidup lainnya. Eskalasi pemanasan global makin meningkat hingga berpotensi terhadap perubahan iklim yang pada gilirannya akan memperparah penurunan kualitas lingkungan. Menipisnya lapisan ozon, kerusakan mangrove, padang lamun, gambut, karst, dumping limbah, kegagalan mitigasi, instabilisasi mutu emisi dan udara ambien adalah ancaman serius yang perlu segera mendapatkan penyelesaian. Dalam konteks ini, perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan secara sungguh-sungguh dan konsisten.


Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat diimplementasikan secara sistematis dan terpadu. Sistematis dalam arti dilakukan secara bertahab. Step by step. Terpadu karena perlu diketengahkan term kombinasi lintas aspek (interside combination). Untuk itu dibutuhkan semangat melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan (mafsadat). Laiknya pola dalam problem solving, perpaduan aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan hukum yang saling bertautan merupakan strategi penjamin keutuhan lingkungan hidup, keselamatan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.


Proyeksi dan Proteksi


Sumber daya alam sebagai salah satu representasi dari lingkungan hidup memiliki daya dukung dan daya tampung. Kedua istilah ini merupakan entitas yang dihasilkan dan dapat dimanfaatkan oleh makhluk sekitarnya dengan tetap mempertahankan eksistensi, fungsi, produktivitas, keselamatan, dan mutu. Diperlukan inventarisasi lingkungan untuk melacak identitas sumber daya alam sehingga dapat diketahui potensi yang dapat dimanfaatkan (functionable potency), bentuk penguasaan (authority), pengelolaan (management), kerusakan (faulty) dan konflik yang timbul akibat pengelolaan.


Dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau kerusakan, perlu diupayakan preventifikasi, proteksi dan rehabilitasi. Pemerintah telah mencanangkan program konservasi sumber daya alam, pencadangan dan pelestarian fungsi atmosfer. Pada tahun 1970 telah dibentuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) di bawah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan yang terdiri dari 27 delegasi di tingkat propinsi. Balai ini bertugas mengelola kawasan-kawasan konservasi, khususnya hutan-hutan suaka alam (suaka margasatwa, cagar alam) dan taman wisata alam.


Persoalan krusialnya ada pada perusahaan yang melakukan kegiatan tertentu untuk mengelola sumber daya alam dengan motif profit oriented. Di mana seringkali keselamatan lingkungan dinomorduakan dan menjadi tergadaikan oleh ekspansi kepentingan perusahaan. Sebut saja Exxon Mobile di blok Cepu, Chevron di Riau, Total di blok Mahakam Kaltim, ConocoPhillips di blok Corridor, Jambi dan tentu saja Freeport di Papua.


Meskipun telah dilakukan pengawasan, nampaknya sanksi yang ada tidak serta merta membuat mereka sadar bahwa menurunnya kualitas sumber daya alam secara tidak langsung dapat mengurangi keuntungan mereka. Lebih jauh dari itu, keberlangsungan lingkungan hidup adalah di atas segalanya (conditio sine qua non).


Konstruksi Hukum


Kementrian Lingkungan Hidup telah menyusun juklak Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai salah satu instrumen inovatif yang membantu perusahaan untuk peka dan adaptif terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sehingga dapat bersikap lebih sensitif terhadap lingkungan dan selaras dengan dinamika masyarakat sekitarnya.


Selain itu, guna mencapai kepastian hukum agar program dicanangkan bisa berjalan secara tegas dan efektif, pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan peraturan perundang-undangan, di antaranya:

 

-       UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

-       UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah

-       UU No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang Bahan Pencemar Organik Yang Persisten)

-       UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

-       PP No. 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan

-       PP No. 52 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kemententerian Negara Lingkungan Hidup

-       PP No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

-       Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan Surat Edaran sebanyak 13 (2006), 12 (2007), 17 (2008), 34 (2009), 17 (2010), 17 (2011), 26 (2012) dan 7 (2013).


Disadari atau tidak, negara melalui alat-alatnya telah mengimplementasikan konsep fiqih al-bi’ah sebagai instrumen penting dalam menyongsong kegiatan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, dibutuhkan supporting unit dari semua kalangan. Termasuk peran agama dalam menyikapi isu-isu lingkungan dari perspektif yang lebih praktis.


Fiqih al-bi`ah tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara multidisipliner. Berbeda dengan fiqih al-zakah dan fiqih al-hajji misalnya, fiqih al-bi`ah dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh bidang-bidang kehidupan.


Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga lingkungan (hifdzu al-bi`ah) sama dengan menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda. Oleh sebab itu, dislokasi fiqih al-bi`ah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang komprehensip.


Melindungi dan mengelola lingkungan hidup tentu bukan hal mudah. Namun bukan juga hal sulit jika kita bersama berusaha dan bekerja keras karena tidak ada fenomena lingkungan yang bersifat unpredicable. Kendati apa yang kita lakukan terhadap lingkungan tidak langsung dapat terasa manfaatnya. Sebuah adagium mengatakan bahwa cara paling cepat mencapai sebuah tujuan adalah dengan kerja keras dalam waktu yang relatif lama (asra’u at-Thariq li al-ghayah tuulu az-zaman fi aljiddah).


Setidaknya, aksi nyata kita adalah dengan tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan sekitar (ifsad fi al-ardl), meski kita belum bisa melindungi dan mengelolanya dengan baik (ma la yudroku kulluh la yutraku kulluh). Semoga.


Ahmad Mufid Bisri

* Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Darul Ulum, Mantan Redaktur Majalah Tebuireng dan sekarang menjadi Calon Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar