Rabu, 06 November 2013

(Ngaji of the Day) Kaum Salafi Indonesia dan Ruang Maya (1)


Kaum Salafi Indonesia dan Ruang Maya (1)

Oleh: Syafiq Hasyim

 

Tidak dinyana sebelumnya, kesadaran kaum salafi terutama di Indonesia untuk menggunakan ruang publik sebagai spatial medium bagi dakwah mereka begitu menakjubkan. Kelompok ini sangat cepat belajar menatap kebutuhan masa depan mereka. Setelah era majalah cetak di kalangan mereka habis, ditandai dengan kejatuhan majalah cetak Sabili, Hidayatullah, dan beberapa jenis yang lainnya, kaum salafi begitu cepat melakukan proses adaptasi ke online media.

 

Sebagaimana yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya –lihat dua post terakhir saya—, gejala seperti ini, selain dilatarbelakangi oleh “kewarasan” mengenai perlunya terus eksis di ruang publik, gejala ini juga menunjukkan adanya penerimaan yang rendah atas kelompok ini di ruang konkrit kalangan Muslim Indonesia. Karenanya, bagi mereka, hijrah untuk menggunakan ruang online media atau internet merupakan ruang baru yang menjanjikan. Sebuah medan baru untuk melaksanakan jihad baru juga. Jihad lama dengan senjata tidak dihapus, namun jihad baru melalui pena dan tulisan perlu digalakkan.

 

Tulisan ini tidak ingin mencari bagaimana masalah penggunaan teknologi internet atau online untuk keperluan dakwah di kalangan salafi, namun lebih ingin melihat antusiasme mereka dalam mengelola, menyajikan dan mengkampanyekan opini, diskursus, berita yang bernuansa salafi melalui surat kabar atau majalah, webpage, facebook, dan sarana-sarana online mereka lainnya. Basis analisis yang akan saya pakai di sini adalah teori-teori mengenai “ruang” (space) terutama abstract space. Yang saya maksud dengan abstract space di sini adalah ruang yang tidak tidak tersentuh oleh dunia nyata atau biasa disebut dengan istilah virtual. Selain itu, dalam menulis artikel ringan ini, saya terilhami oleh metode riset kualitatif yang biasa disebut dengan netnografi (netnography). Netnografi adalah etnografi di internet. Artinya, metode ini menggunakan teknik-teknik riset etnografis untuk mengkaji kebudayaan dan masyarakat yang muncul melalui komunikasi berbasis internet. Metode riset kualitatif ini pada mulanya digunakan untuk meriset konsumen di online misalnya forum-forum di internet untuk menjajagi apa yang diminati dan dikehendaki oleh konsumen. Metode ini sangatlah berguna untuk melihat kehadiran kaum salafi di ruang online –ruang-ruang forum–dan bagaimana mereka mempersuasi audien.

 

Makna Ruang Maya Bagi Salafi

 

Sebagaimana kita tahu tahu bahwa kaum mainstream Indonesian yang berhaluan Sunni masih belum bisa menerima sepenuh hati kehadiran kalangan salafi. Meskipun istilah salafi atau salafiyyah sendiri sudah lama dipakai I Indonesia misalnya oleh kalangan NU untuk menamai pesantren mereka, namun salafi yang saya maksudkan di sini, masih dianggap oleh mainstream Islam di Indonesia sebagai Wahhabi. Dalam kajian Islam, Wahhabi sebenarnya masih dalam kategori Sunni, namun masyarakat Sunni Islam di Indonesia—merupakan Sunni terbesar di seluruh dunia—belum bisa memasukki Wahhabi ke dalam kelompok mereka. Dalam diskursus publik, mayoritas ulama di Indonesia keberatan dengan Wahhabi. Fenomena lain yang sering dijumpai adalah meskipun mereka secata teologis berafilalsi dengan Wahhabi namun kebanyakan juga tidak berterus terang atau enggan disebut sebagai kaum Wahhabi. Hal ini semua karena stigmatisasi Wahhabi di Indonesia sebagai kelompok sesat dalam Islam sudah sekalian lama terjadi. Sudah barang tentu bagi mereka yang belajar di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah NU, Perti, al-Wasiliyah organisasi-organisasi lainnya, pernah disodori pelajaran Ahlusunnah Waljamaah dengan menggunakan buku pegangan yang dikarang oleh KH. Siradjuddin Abbas. Jelas dalam buku beliau, I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah, Wahhabi dikeluarkan dari firqah najiyah (kelompok yang selamat). Tidaknya hanya Wahhabi, seluruh mereka yang menolak Imam Ashʿārī dan Māturidī sebagai pedoman i’tiqad mereka bukan menjadi bagian dari mereka.

 

Namun yang lebih mendasar lagi, penolakan atas Wahhabi oleh kalangan Islam mainstream juga disebabkan oleh kekhuwatiran mereka akan ajaran Wahhabi yang mengancam pada tradisi keagamaan kaum mainstream. Di sini kaum mainstream bisa dikatakan sebagai kaum ortodoks dimana mereka menggunakan alasan-alasan kesucian doktrin agama untuk melarang ajaran lain yang dipandangnya keluar dari ortodoksi. Talal Asad menyatakan ortodoksi adalah pengaturan kembali pengetahuan yang bertujuan membangun sebuah relasi penguasaan wacana dalam hal pengaturan mana bentuk-bentuk praktis Islam yang benar. (210-11, Genealogy of Religion).

 

Meskipun di Saudi Arabia, salafi-Wahhabi bisa dikatakan sebagai pemegang ortodoksi, tapi di Indonesia mereka tidak demikian adanya. Dari perspektif kaum mainstream Islam Indonesia, salafi-Wahhabi adalah kaum heterodok karena pemegang kebenaran ajaran Islam di Indonesia adalah kelompok mainstream Islam yang memiliki perbedaan cara pandang keagamaan dengan kaum salafi-Wahhabi. Karenanya, pada titik ini, keberadaan kaum Wahhabi sebenarnya hampir mirip dengan nasib-nasib kelompok sempalan lainnya, katakanlah kelompok Syiah atau Ahmadiyah. MUI sendiri misalnya secara implisit menolak salafi melalui fatwa-fatwa mereka yang menolak jihad ekstrim kaum salafi-Wahhabi sebagaimana juga menolak kaum Syiah. Nahdlatul Ulama secara keras menolak model pemikiran dan praktik keagamaan kaum Wahhabi. Kembali kepada pandangan Talal Asad bahwa kaum Muslim yang memiliki kuasa untuk mengatur, mempertahankan, mempersyaratkan, merendahkan atau mengganti hal-hal yang tidak benar adalah kaum ortodok.

 

Sebagai kelompok heterodok, kaum salafi-Wahhabi di Indonesia memerlukan ruang untuk mengekspresikan dan mempertahankan doktrin mereka yang dianggap “menyimpang” dari mainstream Islam di Indonesia dan “internet space” adalah pilihan yang tepat. Ketika mereka tidak bisa atau terancam oleh ketatnya ortodoksi dalam “concrete space,” maka ruang internet menyediakan mereka kebebasan untuk berdakwah karena di dalam ruang ini mereka adalah atau kita adalah pemegang kendali diskursus yang kita kehendaki. Berbeda dengan model interaksi “dari muka ke muka,” interaksi di ruang internet bisa dilakukan secara arbitrer, doktriner dan sekaligus otoriter. Dalam konteks Indonesia, Salafi-Wahhabi memerlukan ruang yang demikian ini untuk bergerak karena pada dasarnya mereka adalah “kaum ortodoksi” juga di negara asalnya, namun karena ortodoksi mereka tidak mendapatkan legitimasi maka mereka menjadi heterodok. Di ruang maya ada proses dialog dan interaksi, tapi pemegang domain secara unilateral bisa menghentikan atau mentiadakan proses dialog atau forum. Ruang maya juga merupakan hal yang paling strategis untuk berkampanye pada audien yang tidak memerlukan penelahaan panjang (tidak kritik). Namun patut diakui bahwa daya juang kaum salafi-Wahhabi di ruang maya luar sangat efektif. Saya tidak menjumpau kelompok-kelompok heterodok lain yang seperti salafi-Wahhabi ini yang sedemikian efektif dan strategis dalam menggunakan “internet space.” Katakanlah kelompok Ahmadiyah dan Syiah Indonesia, mereka tidak punya “cyberspace fighters” sebagaimana yang dipunyai oleh kaum salafi-Wahhabi. Internet space sekarang menjadi semacam masjid virtual pusat pembelajaran alternatif.

 

Dalam kondisi yang terdesak di ruang konkrit, web-space menyediakan sifat immediacy, kecepatan untuk memanfaatkan media online ini dalam merespon peristiwa, kejadian, atau hal-hal genting lainnya, dalam waktu yang hampir bersamaan. Surat kabar, hasil riset, majalah dan sumber-sumber informasi offline lainnya tidak memiliki ini. Kita teringat ketika kaum salafi-Wahhabi mendapatkan tuduhan sebagai pelaku pengeboman beberapa tempat penting di Eropa, dengan cyberspace mereka bisa bereaksi secara cepat baik reaksi dan meluas itu untuk melakukan pembenaran maupun pengingkaran akan keterlibatan dirinya. Meskipun para ahli cyberspace crime bisa menemukan “concrete space” yang dijadikan sebagai tempat dimana mereka mengeluarkan pernyataan tersebut, tetapi hal ini memerlukan waktu yang lumayan agak panjang dan cara yang agak rumit.

 

Dalam satu dekade terakhir, setelah beberapa peristiwa pengeboman di beberapa tempat penting di Indonesia dimana kaum salafi-Wahhabi adalah pihak yang banyak dituduh, dicurigai dan ada juga yang sudah terbutki secara hukum, mereka menyadari akan marginalisasi kelompok mereka di ruang konkrit. Tidak hanya menyadari hal ini, namun mereka berusaha untuk mencari ruang baru (alternative site). Ruang baru ini tidak hanya menyediakan kenyamanan bagi mereka, namun juga mempermudah transnasionalisasi ide dan gagasan mengingat frontier di dalam virtual space sangat cair dan bahkan bisa dikatakan borderless (tanpa batas). Di dunia nyata, transnasionalisasi membutuhkan ongkos yang tidak murah. Memindahkan dan mengirimkan orang, buku, dan juga hal-hal sarana lainnya dari satu negara ke negara lain tidak bisa dilakukan tanpa dukungan uang yang banyak. Lihat berapa uang yang dihabiskan oleh pemerintah Saudi dalam menyebarkan Islam-versi mereka ke negara-negara lain dalam kurun 30 tahun terakhir ini. Namun dalam dunia maya, mobilitas dan migrasi ide dan gagasan tidak memerlukan kehadiran seseorang, rujukan yang tersentuh, dan lain sebagainya.

 

Lalu bagaimana dengan otoritas agama? Dunia maya tidak kurang canggih dalam mengakomodasi dan mempertahankan otoritas agama. Apabila di dunia offline, otoritas agama bisa runtuh gara-gara penampilan seorang pemegang otoritas yang kacau, di dunia maya, otoritas agama tidak hanya disediakan ruang untuk menyampaikan, tapi juga ruang untuk memperindah dan bila perlu memanipulasi kekurangan-kekurangan yang terjadi di ruang offline. Inilah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh ruang maya dan salafi Wahhabi Indonesia membaca ini sebagai hal yang berguna bagi perjuangan mereka. []

 

*) Penulis adalah Rais Syuriah PCI-NU Jerman, saat ini menetap di Berlin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar