Kamis, 21 November 2013

BamSoet: Mereka Menista Altar Suci Konstitusi

Mereka Menista Altar Suci Konstitusi

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar

MEREKA menista Altar Suci Konstitusi  itu. Betul bahwa amuk massa di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) boleh dijadikan indikator yang menjelaskan bahwa apresiasi terhadap institusi peradilan dan semua korps penegak hukum sudah mendekati titik nol. Namun, penistaan itu harus dikutuk. Cukup sekali ini saja, dan tak boleh berulang lagi untuk alasan apa pun.

Jadi, berkaca dari peristiwa itu, sudah sangat jelas bahwa sekarang dan tahun-tahun mendatang, kerja besar bangsa ini adalah menunjukan kesungguhan dan konsistensi menegakan hukum. Semua elemen harus bekerja, tetapi porsi terbesar dari volume pekerjaan besar berada di pundak korps penegak hukum dan korps hakim yang bersih dan dedikatif terhadap hakikat keadilan itu sendiri.

Tak kalah pentingnya adalah kerja keras berkesinambungan mewujudkan masyarakat yang taat hukum, menghormati institusi peradilan, serta memperlakukan penegak hukum sebagaimana seharusnya. Artinya,semua elemen masyarakat, siapa pun dia, kaya atau miskin, penguasa atau rakyat biasa, jangan lagi menggoda dan menawarkan polisi, jaksa dan hakim dengan uang suap. Hukum di negara ini sudah dibengkokan tak karu-karuan, yang memuncak dengan peristiwa paling memalukan di ruang sidang MK baru-baru ini

Dalam hitungan detik setelah Ketua Majelis Hakim MK, Hamdan Zoelva, membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku, Kamis(14/11) pekan lalu, sekelompok orang yang menyaksikan jalannya sidang dari tribun berteriak-teriak penuh amarah. Mereka lalu bergegas turun, menjungkirbalikkan kursi, memecah kaca papan pengumuman dan tiga monitor di depan ruang sidang.

Tidak berhenti sampai di situ, mereka kemudian merangsek ke ruang sidang, memporakporanda alat pengeras suara dan coba menyerang hakim. Maka, Hakim MK pun segera beranjak dari tempat duduk untuk menyelamatkan diri.

Wajarlah jika Ibu Pertiwi  menangis karena ada warga negara yang masih berbudaya serendah itu. Apakah para pelaku tindak anarkitis di ruang sidang MK itu mengerti arti perbuatan mereka? Kalau tidak mengerti, mereka harus diberi penjelasan. Dijelaskan bahwa perilaku mereka itu tak hanya tercela, tetapi juga patut dikutuk, karena tindak anarkitis mereka di ruang sidang MK telah merendahkan martabat bangsa dan segenap warga negara.

Patut disadari kembali bahwa begitu Ketua Majelis Hakim MK menyatakan sidang dibuka untuk umum atau tertutup sekalipun, di situ hadir Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia hadir untuk mendelegasikan KuasaNya menetapkan benar atau salah kepada Ketua Majelis dan anggota majelis Hakim, tentu dengan segala kekurangan dan kelebihan para hakim sebagai manusia biasa.

Dan, meja di hadapan majelis hakim MK otomatis berstatus Altar Suci Konstitusi. Maka, siapa pun yang bertindak anarkitis di ruang sidang MK untuk alasan apa pun, dia telah menista Altar Suci Konstitusi. Tuhan pun pasti kecewa kendati Dia mengampuni orang-orang yang merusak Altar Suci Konstitusi itu.

Pertanyaan berikutnya; apakah tindakan anarkitis di ruang sidang MK itu sekadar merefleksikan kekecewaan para pelaku terhadap kebobrokan institusi peradilan dan perilaku tak terpuji sejumlah oknum  hakim? Atau, sekadar menunjukan amarah karena kepentingan para pelaku dan kelompoknya tak bisa diakomodasi dalam amar putusan majelis hakim MK?

Orang-orang itu boleh saja kecewa dan marah terhadap bobroknya institusi peradilan dan moral sejumlah oknum hakim. Tetapi, siapa pun tak boleh berperilaku tak senonoh di ruang sidang. Tergugat maupun penggugat bisa saja tidak puas dengan amar putusan majelis hakim MK. Namun, sekali-kali mereka tidak dibenarkan bertindak anarkitis di ruang sidang MK.

Buram

Dengan demikian, kecaman terhadap tindakan anarkitis sekelompok orang di ruang sidang MK tidak boleh didiskon oleh fakta mengenai buruknya citra MK dewasa ini. Kasus tindakan anarkitis itu dengan buruknya persepsi publik terhadap MK adalah dua soal terpisah. Karenanya, jangan pernah membangun anggapan bahwa perilaku tercela di ruang sidang MK itu sebagai manifestasi dari kekecewaan bersama karena mantan Ketua MK sudah ditangkap KPK akibat ulahnya menjadikan sengketa Pilkda sebagai komiditas dagangan.

Citra MK, sesungguhnya, sudah hancur lebur oleh pemberitaan luas ketika Ketua MK ditangkap KPK. Sudah berminggu-minggu pula berbagai elemen masyarakat mengecam MK. Ironis; ketika ruang sidang MK dinista sedemikian rupa, bukannya dibela, MK justru kembali  di-bully. MK, produk reformasi perlambang demokrasi,  hari-hari ini benar-benar dipersepsikan sebagai institusi yang demikian hina. Sejumlah orang berupaya membangun asumsi bahwa MK telah kehilangan makna strategisnya.

Bahwa mantan Ketua MK Akil Mochtar telah menyakiti rakyat dan menghancurkan citra MK, itu sudah menjadi fakta tak terbantah. Namun, terus menerus mencaci  maki MK tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, bangsa ini akan dinilai disorientasi jika tidak lagi berupaya memulihkan wibawa MK dalam jangka dekat ini.

Kritik membangun untuk memulihkan wibawa dan independensi MK memang harus terus digemakan. Namun, penistaan terhadap MK harus dihentikan. Sanksi hukum yang keras sangat layak bagi pelaku tindak anarkitis di ruang sidang MK, agar peristiwa itu tidak menjadi preseden. Begitu juga bagi para pelaku tindak anarkitis di ruang sidang pengadilan tinggi atau pengadilan negeri. Sekali-kali, jangan pernah ada pembenaran atau toleransi terhadap mereka yang melakukan contempt of court.

Memang, tak dapat dipungkiri bahwa potret buram praktik penegakan hukum di negara ini telah menimbulkan pesimisme, yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum dan institusi peradilan. Tidak sedikit oknum polisi dan oknum jaksa yang terlibat masalah hukum. Korps hakim pun terus menerus tercoreng akibat ulah sejumlah oknumnya. Baru-baru ini, khalayak menyimak berita tentang seorang hakim perempuan yang dipecat karena terbukti selingkuh.

Kasus perselingkuhan hakim perempuan itu seperti melengkapi cerita tentang bobroknya moral korps pengadil. Sebab, sebelum kasus itu, sudah terpampang aneka kasus yang bertutur tentang hakim yang tertangkap tangan menerima uang suap hingga oknum hakim yang mengonsumsi narkoba. Bagaimana pun, rangkaian cerita buruk itu membentuk persepsi buruk tentang perilaku hakim, oknum polisi dan juga oknum jaksa. Sejumlah orang dari institusi yang diberi amanah untuk menegakan hukum dan keadilan justru menjadi predator.

Hanya korps hakim, korps jaksa dan Polri yang tahu bagaimana membalikan persepsi itu menjadi positif. Sudah barang tentu harus diawali dengan pembenahan dari dalam terlebih dahulu pada masing-masing institusi. Untuk meraih kepercayaan masyarakat, misalnya, jangan sekali-kali membela atau menutup-nutupi kesalahan anggota korps. Mereka yang bersalah atau melanggar etika harus langsung diberi sanksi dan diumumkan kepada publik.

Jangan lupa bahwa sejak dulu hingga kini, masyarakat pasti tahu, merekam, bahkan memiliki catatan yang cukup lengkap tentang tindakan tak terpuji yang biasa dilakukan oknum hakim, oknum jaksa maupun oknum polisi. Cacatan-catatan buruk itulah yang membentuk persepsi buruk tentang penegakan hukum di negara ini. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar