Senin, 11 November 2013

(Buku of the Day) Tarekat Petani Fenomena Tarekat Syattariah Lokal


Suluk Keselamatan Kaum Petani

 



 

Judul Buku        : Tarekat Petani Fenomena Tarekat Syattariah Lokal

Penulis             : Prof Dr Nur Syam, MA

Editor               : Musnif Istiqomah

Penerbit            : LKiS Jogjakarta

Cetakan I          : 2013

Tebal Buku        : xiv + 236 Halaman

Peresensi          : Muhamad Rifai, seorang petani, tinggal di Temanggung, Jawa Tengah

 

Warga desa Kuanyar, kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah dari letak geografisnya berada di pantai utara sebenarnya dekat budaya pesisir. Namun begitu kebanyakan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya dengan bertani. Ketekunan mereka bertani dikuatkan dengan jalan mengikuti tarekat aliran Syattariah.


Tarekat Syattariah didirikan seorang sufi dari India, Abdullah Syattar. Tarekat ini di Nusantara kurang memiliki pengaruh signifikan. Tarekat ini berkembang di Sumatra dan Jawa melalui jalur Abdurauf ibn al-Sinkili. Sedangkan ke Jawa melalui murid Syaikh Abdurauf, Syaikh Abdul Muhyi.


Silsilah tarekat Syattariah di Kuanyar geneologinya kurang jelas. Dari hasil pengkajian buku ini hanya diketahui jalur pengabsahan tarekat ini hanyalah sampai kepada Kiai Murtadlo yang dinisbahkan sebagai cicit syaikh Mutamakin. Urutannya adalah dari Syaikh Kiai Murtadlo, ke Kiai Andurahman, Bangle, Kiai Janamin (w.1918), Kiai Abdul Hadi (w. 1956), Kiai Syihabuddin, Kuanyar.

***
Kajian Nur Syam dalam buku ini mencermati fenomena penganut tarekat Syattariah lokal yang kebanyakan berprofesi petani. Ada beberapa fenomena dari kajiannya tersebut tertuang dalam buku ini;


Pertama berkaitan dengan kesederhanaan dan gaya hidup mereka. Itu terlihat dari pola berpakaian mereka amat sederhana, bahkan sekedar aurat tertutupi. Itu terlihat ketika mereka berpakaian dalam forum resmi, misalnya menghadiri pengajian umum, tawajuhan, tahlilan dan forum-forum tidak resmi semacam di rumah, menerima tamu, ke pasar, ke tempat perdagangan. Salah satu responden yang diteliti hanya memiliki pakaian khas untuk sembahyang sebanyak dua potong dan sarung dua potong, celana dua potong serta tiga potong pakaian kerja. (hlm 162-163).


Kedua berkaitan daya kerja mereka tinggi. Meskipun profesinya petani, dimana waktu kerja keras hanya menjelang masa tanam dan masa panen, mereka memiliki waktu istirahat relatif sedikit, apalagi kalau musim bekerja di sawah, menanam atau panen. Mereka jarang tidur siang, walaupun malamnya mengikuti pengajian sampai larut malam. Rata-rata mereka tidur sekitar empat sampai enam jam.


Mereka bekerja di sektor pertanian dengan tanah relatif sempit, mengharuskan mereka untuk bekerja di sektor lainnya, misalnya perdagangan. Karena usaha dagangnya, hampir setiap hari mereka pergi ke sawah satu ke sawah lainnya. Bahkan dari pagi sampai sore mereka masih berkutat dengan usahanya tersebut, mulai dari mengawasi orang bekerja, memanen padi di sawah sampai menimbang gabah dan menjualnya atau mengeringkan di mesin penggiling padi. (hlm 130-131).


Ketiga berkaitan dengan aktivitas sosialnya. Walau mereka memiliki waktu istirahat relatif sedikit, akan tetapi kenyatannya juga tidak mengurangi aktivitas lainnya yang terkait dengan kehidupan sosial kemasyarakatannya.


Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh penganut tarekat bahwa kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial dimana mereka berada juga cukup tinggi. Hal ini dapat diamati di kala mereka sedang berada di sawah. Mereka juga mengerjakan seperti pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja lainnya.


Mereka mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kelangsungan kegiatan tahlilan sebagai salah satu kegiatan yang mempunyai makna religius dan juga sosial. Sebab dengan tahlil ini manusia akan saling membantu terhadap sesamanya dalam bentuk bacaan tahlil yang ditujukan kepada keluarga si empunya rumah yang ditempati tahlil.(hlm 180-181)


Keempat berkaitan dengan aktivitas ibadah sebagai anggota tarekat juga intens dan kuat. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan sehari-hari mereka juga melakukan berbagai shalat sunnah. Di antara shalat yang selalu dilakukannya ialah shalat rawatib empat raka’at sebelum dan sesudah shalat wajib, sahalat tahajud, shalat dhuha dan kegiatan wirid yang harus dibacanya sehari semalam sebanyak 3.000 kali.


Dari penelitiannya ini Nur Syam menyimpulkan bahwa fenomena pengikut tarekat Syattariah lokal di Kuanyar, Mayong, Jepara yang kebanyakan berprofesi petani perilakunya sangat dekat dengan konsepsi budaya Jawa, slamet, keselamatan. Dalam berbagai tindakan yang dilakukan maka orang Jawa akan mengedepankan slamet sebagai referensinya. Keselamatan di dunia dan di akherat.


Sebagai penganut tarekat mereka menyadari betapa pentingnya menjaga keselamatan didalam kehidupannya. Itulah sebabnya mereka menyatu dengan budaya Jawa dimana mereka hidup. Mereka tidak menciptakan sendiri budayanya yang terlepas dari lingkungan sosialnya, akan tetapi menyatukannya di dalam bingkai kehidupan yang memberinya rasa aman tanpa gangguan. Dalam tataran kehidupan dunianya tersebut, mereka selalu terlibat di setiap kegiatan masyarakat yang menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan dan sosial. Bahkan mereka mementingkan menjaga kebersamaannya dengan masyarakat lainnya jika ada kegiatan yang memang mengharuskannya berbuat seperti itu. (hlm 199-200).


Apa yang ditorehkan Nur Syam dalam buku ini menunjukkan bagaimana petani lokal Kuanyar yang ikut tarekat Syattariah, memiliki konsep hidup manusia itu mencari keselamatan. Konsep tersebut mereka dalami dari ajaran agama Islam dan budaya Jawa yang keduanya menemui titik temunya dalam jalan keselamatan. Jalan keselamatan tersebut ditempuh dengan rukun dengan sesama, dengan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hidup sederhana, dan selalu ingat dan beribadah kepada tuhan yang maha kuasa.


Buku ini menarik, mengetengahkan catatan semi antropologis kehidupan petani lokal pengikut tarekat Syattariah, memberikan cakrawala baru bagi kita terutama berkaitan dengan kajian tarekat di Nusantara dengan sudut pandang bukan lagi politik, ekonomi melainkan budaya. Walau kurang mendalam setidaknya buku ini sudah memulai sesuatu yang baru untuk dikembangkan lebih lanjut.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar