Rabu, 27 Juni 2012

(Ngaji of the Day) Perjuangan dan Persaudaraan


Perjuangan dan Persaudaraan

Oleh: Ahmad Sadid Jauhari



Mukaddimah


Manusia memang memiliki sifat dan karakter macam-macam. Demikian menurut Hujjatul Islam AI Ghozali, karena bahan baku ciptaan manusia ini dari tanah lumpur campuran yang mempunyai karakter berbeda-beda. Secara global, nafsu pendorong manusia berbuat maksiat adalah berangkat dari 4 macam sifat yang ada pada manusia itu sendiri. Yaitu sifat ketuhanan (rububiyyah), sifat setan (syaitoniyyah) sifat binatang ternak (bahimiyah) dan sifat binatang buas (sabiiyyah).



Sombong, diktator, senang dipuji, ingin terkaya, ingin langgeng dalam posisi kekuasaan itu adalah nyerobot dari sifat ketuhanan. Iri, dendam, fetakompli, munafik, mengajak/merayu/tipu daya ke jalan sesat dan bid'ah adalah sifat setan. Rakus, tamak, hanya senang menuruti nafsu perut dan sex saja itu sifat binatang ternak. Emosi, menyerang, membunuh, merusak hak orang lain adalah bagian watak binatang buas. Dari filsafah diatas maka bisa dibayangkan betapa sulitnya mengajak umat manusia untuk rukun dan bersatu.



Tetapi manusia disamping memiliki nafsu yang lengkap juga memiliki akal yang sempurma sehingga manusia layak sebagai penghuni bumi ini (khalifatullah fil ardhi) Islam bukan memerintahkan manusia untuk membinasakan nafsu syahwatnya, tetapi Islam menganjurkan supaya akal mensiasati nafsu syahwatnya agar didalam melampiaskannya dengan cara yang benar. Disitulah letak mujahadah (perjuangan) yang berat tapi besar pahalanya. Sebaliknya, betapa besar dosanya kalau justru akal yang dikendalikan oleh nafsunya. Kerusakan alam (baca: negara) karena banyaknya otak-otak yang cerdas yg menjadi budak nafsunya untuk korupsi, arogansi jabatan politik, ekploitasi hasil bumi berlebihan, melindungi prostitusi dan pembenaran segala kejahatan atau kemaksiatan termasuk didalamnya ajakan faham atau sekte yang sesat karena tamak dengan dana melimpah dari foundation asing.



Pokok masalah.



Amar ma’ruf nahi munkar secara individual maupun kolektif adalah kewajiban bahkan kebutuhan dalam kehidupan sosial maupun agama (khususnya Islam). Tergetnya bukan hanya pahala di akhirat saja tetapi juga ketenteraman lahir batin di kehidupan sekarang.



Yang jadi masalah adalah definisi perkara ma'ruf dan munkar itu standarnya belum sepakat. Dan seandainya ada yang disepakati maka masih belum sepakat dalam cara amar dan nahinya. Karena belum sepakat, maka tidak mustahil timbul ungkapan sinis: "Mengatasi munkar dengan cara yang munkar bagai membersihkan najis dengan air kencing".



Disisi lain masih belum disepakati pula siapakah yang paling bertanggung jawab untuk amar ma'ruf dan nahi munkar ini. Kita sepakat bahwa penegak hukum adalah paling bertanggung jawab untuk hishah (istilah lain amar ma'ruf nahi munkar dari birokrasi), tetapi proporsi yang harus mereka tindak terkadang ada kesan overlapping atau di sisi lain ada kesan kekurangan. Fungsionaris Kamtibmas yang memang kurang mumpuni dari sudut pandang kuantitas mupun kualitasnya (baca: moral penegak hukum). Untuk itu semuanya kita harus menjadi polisi untuk membantu polisi itu sendiri. Tetapi tentu saja dengan batasan tertentu dan harus proporsional serta tidak melampaui wewenang (overacting).



Kondisi Lapangan



Agama itu semula ghorib dan akan kembali ghorib (langka, asing). Islam itu berkembang dan tidak surut. Kedua cuplikan hadits itu sepertinya kontradiksi. Dan bila ada 2 teks nash yang kontradiksi tapi masih bisa dikompromikan maka harus dikompromikan. Disini ada sebagian ulama yang memahami bahwa kata-kata ghorib itu berbentuk isim nakiroh. Isim nakiroh bila diulang 2 kali maka menurut teori sastra Arab (balaqah), yang pertama berbeda dengan yang kedua. Sehingga difahami bahwa memang umat Islam bertambah banyak dari segi kuantitas tetapi tetap surut dari sisi kualitas. Merosotnya kualitas umat Islam adalah akibat pengaruh internal dan juga eksternal.



Pengaruh internal adalah karena dangkalnya pengetahuan agama bagi kebanyakan umat dan atau tidak konsekuensinya umat terhadap etika atau syariah agama Islam itu sendiri.



Pengarnh eksternal adalah kuatnya serangan budaya dari luar Islam yang sangat gencar, sistemik, terencana, dana yang besar serta sarana dan prasarana yang lengkap. Diantara teori serangan, mereka yang sangat efektif dalam perang budaya yaitu :



1.     Undang-undang buatan manusia. Negara-negara berpenduduk muslim di dunia sekarang ini nyaris menggunakan sistem sekuler semua dan pobhia terhadap hukum syariat itu sendiri.

2.     Setelah jatuhnya Turki Utsmani, hampir seluruh sistem perpolitikan global atau nasional di negara-negara muslim sudah mengikuti dengan latah sekali kepada perpolitikan negara non muslim. Tidak punya jati diri dan tidak ada pakta negara-negara muslim yang ideal sebagaimana pakta AtIantik Utara (NATO). Sehingga dengan mudahnya negara adi daya mendiktekan kehendak terhadap negara-negara muslim.

3.     Westernisasi. Komunitas muslim sudah menilai bahwa apa yang datang dari Barat adalah positif. Sehingga meninggalkan budaya sendiri walaupun sebenarnya lebih manusiawi.

4.     Gender. Banyak dari kalangan intelektual muslim yang teperangkap dengan slogan emansipasi wanita ala Barat yang sebenamya malah menjerumuskan martabat wanita itu sendiri.

5.     Pendidikan. Kita terkadang terlena dengan mengejar target keberhasilan pengetahuan dan teknologi semata, sehingga pendidikan agama terkesampingkan. Ironisnya, terkadang target Iptek tidak terpenuhi dan Imtaq-nya terlanjur tidak/kurang terurus.

6.     Informasi. Media cetak dan elektronik dari musuh-musuh Islam telah menjadikan umat Islam terjajah dengan opini yang diciptakan oleh mereka. Contoh kongkrit adalah isu teroris yang sebenarnya diciptakan oleh mereka untuk memojokkan umat Islam.



Dari sinilah betapa beratnya perjuangan umat Islam di akhir zaman yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW dengan lipat ganda pahala 50 kali dibanding masa keemasan Islam (khoirul qurun).



Way Out



"Hidup adalah Perjuangan dan Persaudaraan". Motto ini sering kita lupakan sebagian. Karena kita termotivasi dengan perjuangan saja terkadang kita lupa persaudaraan. Padahal perjuangan itu sendiri tujuannya adalah memperbanyak saudara. Itulah suri teladan dari Rasulullah SAW sebagai seorang pejuang yang tambah lama tambah banyak teman bukan tambah banyak lawan.



Setelah kita rasakan betapa berat perjuangan masa kini maka terkadang timbul 2 dampak negative: 1. Putus asa dan 2. membabi buta.



Putus asa dalam perjuangan adalah suatu dosa karena meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar. Orang yang putus asa lupa bahwa target perjuangan adalah pahala ibadah bukan kemenangan, karena kemenangan adalah hak perogratif Allah. Dan perlu intropeksi terhadap niat dia sendiri dalam berjuang. Sebab kemenangan gampang datang dari Allah bila si pejuang itu betul-betul berniat membela Allah bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok.



Membabi buta bisa timbul dari kepanikan yang disebabkan kekesalan menunggu kesuksesan dalam perjuangan. Akibatnya muncul sikap arogansi, merasa benar sendiri atau merasa paling berjuang sendiri dan lainnya. Dari sinilah kemudian timbul pergesekan yang bisa nampak sangat keras antara individu para pejuang atau antara kelompok perjuangan. Untuk mengantisipasi gejolak semacam ini barangkali ada resep untuk mengatasinya:



1.     Ikhlas. Kita berjuang mestinya tetap istiqomah baik ketika dipuji atau dicaci. Ketika memulai amal perjuangan kita harus husnuddhon kepada Allah SWT bahwa amal kita pasti diterima dan dibantu oleh Allah. Dan setelah sukses berjuang kita harus suuddhon kepada nafsu kita apakah benar-benar amal kita diterima karena memang sudah bersih dari riya' atau 'ujub. Sebab kesuksesan tidak mesti diberangkatkan dari ikhlasnya suatu amal, karena terkadang perjuangan orang fasik lebih berhasil dibanding perjuangan orang sholeh.. Euforia dalam suatu keberhasilan perjuangan akan menimbulkan kecemburuan yang menyebabkan pergesekan atau perselisihan. Dan kita jangan sampai bernafsu terhadap keuntungan dibalik perjuangan. Ini sangat potensial jadi sumber konflik diantara kita sesama pejuang. Diantara alamat ikhlas yang lain adalah kesamaan kita dalam mengingkari suatu maksiat. Tidak benar bila kita berbeda dalam menyikapi maksiat yang di tempat jauh dengan maksiat yang di depan rumah kita, juga jangan bedakan maksiat yg dilakukan teman sendiri atau rival kita.



2.     Rahmah. Dengan niat menolong kepada pelaku kemunkaran maka kita berusaha agar dia dengan sadar dan legowo menerima amar ma'ruf nahi munkar kita. Ketika kita menegur atau menindak orang lain harus dengan rahmah sebagaimana ketika kita menasehati atau mengahajar anak kita sendiri yang kita sayangi. Jadi bukan dasar sentimen. Seandainya ada orang lain yang mendahului amar ma'ruf nahi munkar dan berhasil maka kita harus berterima kasih karena dia telah membantu kita dalam menyelamatkan umat yang kita sayangi.



3.     Bijaksana. Kita harus memahami klasifikasi musuh-musuh serta tingkat kejahatannya. Musuh yang paling musuh sebenarnya adalah nafsu kita sendiri. Sehingga kalau ada orang yang mencaci-maki kepada nafsu kita, sebenarnya orang itu telah membantu kita dalam menghadapi musuh. Jadi kita harus berterima kasih kepadanya bukan malah emosi atau dendam.



Musuh kita kedua adalah mereka yang memang ingin menghancurkan Islam dan umatnya. Tapi mengapa kita lebih berani dan tega melakukan invansi kepada ternan sendiri dari pada kepada musuh yang sebenarnya?



Kita juga harns bijaksana bahwa strategi perjuangan adalah hal yang bersifat ijtihadi. Jadi pendapatku benar tapi mungkin salah dan pendapatmu salah tapi mungkin juga benar. Untuk itu kita tidak harus merasa paling benar sendiri.



Di sisi lain kita juga harus bijaksana menyikapi sikap teman pejuang lain yang dinilai melanggar kesepakatan dengan musuh. Maka statemen kita adalah melanggar perjanjian tetap salah. Kita harus tetap setia dalam perjanjian walaupun bila yang melanggar perjanjian itu berhasil kita ikut bersyukur juga (seperti kasus Abu Bushair dalam perjanjian Hudaibiyah).



Mungkin itulah diantara jalan keluar agar kita bisa meminimalisir pergesekan diantara para pengabdi amar ma'ruf nahi munkar. Dengan mengatasi pergesekan itu kita bisa meningkatkan persatuan. Sebab bila kita tidak bersatu maka sama dengan kita membawa bendara putih tanda kegagalan dan menyerah kepada lawan. Wallahu A'lam bis showab.



*Pengasuh Ponpes Kencong Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar