Selasa, 12 Juni 2012

BamSoet: Potensi Konflik di Negeri Hukum

Potensi Konflik di Negeri Hukum



Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

(Opini Koran Sindo 7/6)



TIBA-tiba, sejumlah data dan fakta mengingatkan kita bahwa stabilitas negara rapuh karena tingginya potensi  konflik di akar rumput. Potensi konflik tereskalasi karena agenda penegakan hukum sama sekali belum berupaya menjangkau persoalan-persoalan hukum yang terpendam di banyak daerah.



Harus diakui bahwa reformasi yang berproses sepanjang rentang waktu 14 tahun ini memang belum produktif. Setidaknya itulah yang dirasakan sebagian terbesar komponen masyarakat. Itu sebabnya, ketika mengevaluasi 14 tahun perjalanan reformasi, banyak kalangan bersuara sumbang.  Bahkan, dalam konteks atau agenda penegakan hukum, reformasi belum menyelesaikan apa-apa, terutama persoalan-persoalan hukum yang membelit banyak komunitas  akar rumput di sejumlah daerah.



Banyak orang tertawa sinis karena melihat penegak hukum memersepsikan ruang agenda penegakan hukum begitu sempit. Penegakan hukum semata-mata diterjemahkan sebagai pemberantasan korupsi. Karena itu, aktualisasinya pun hanya memburu, menyergap dan menjadikan para koruptor pesakitan di ruang pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.



Padahal, sejatinya, kewajiban yang termuat dalam agenda penegakan hukum tidak hanya mengadili dan menghukum para koruptor. Indonesia era  reformasi mewarisi begitu banyak persoalan hukum dari pelanggaran hukum yang masif oleh penyelenggara negara di masa lalu.  Pelaksanaan hukum yang manipulatif-represif di masa lalu itu menyebabkan banyak komunitas di sejumlah daerah tak berdaya dan diam, sekalipun mereka diperlakukan tidak adil oleh penyelenggara negaranya sendiri.



Ketika negara masuk era reformasi, komunitas-komunitas itu berharap reformasi sebagai momentum dan akses mencari serta mendapatkan keadilan. Negara diyakini akan hadir untuk meluruskan dan menyelesaikan persoalan-persosalan lama yang mereka hadapi dalam diam itu. Ternyata tidak.



Agenda penegakan hukum hanya dijadikan slogan. Elite di Jakarta lebih disibukan oleh kegiatan mengelola kepentingan melalui kekuasaan yang digenggamnya. Kekuasaan pun lebih memrioritaskan tertib koalisi, dibanding menyerap dan mengelola aspirasi rakyat. Agar terlihat gagah di panggung penegakan hukum, hanya progres pemberantasan korupsi  yang dikedepankan.



Sebaliknya,  jerit individu maupun komunitas di sejumlah daerah yang meminta kehadiran negara untuk mewujudkan keadilan bahkan nyaris tidak ditanggapi.  Negara begitu sering menyepelekan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi rakyatnya.  Tahu bahwa negara tidak peduli, tidak sedikit oknum penegak hukum menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi persoalan-persoalan itu untuk mendapatkan keuntungan materi. Pihak yang benar disalahkan, dan sebaliknya yang salah dibenarkan. 



Sikap negara yang minimalis serta perilaku tak terpuji oknum penegak hukum itu secara tidak langsung menumbuhkan potensi konflik yang berkelanjutan. Akhir-akhir ini, media massa sudah menggambarkan bahwa  potensi konflik yang bermuara pada persoalan agraria ibarat bom waktu.



Sengketa agraria yang berpotensi menjadi konflik berdarah antarkelompok masyarakat, maupun komunitas warga versus pelaku bisnis, terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia, terutama Sumatera, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Kalimantan. Konflik berdarah terbaru yang masih segar dalam ingatan publik terjadi di Mesuji dan di Sape.



Menurut BadanPertanahan Nasional (BPN), hingga tahun 2011 lalu, ada 14.337 kasus sengketa agraria dengan berbagai tingkatan. Sedangkan Satgas Pemberantasan  Mafia Hukum (PMH), sejak september 2009  hingga April 2011, sudah menerima 910 laporan perkara sengketa tanah.



Baik data BPN, Satgas PMH maupun gambaran sekilas potensi konflik agraria di Sumut itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa stabilitas di sejumlah daerah rapuh, karena konflik berdarah tiba-tiba saja bisa terjadi. Konflik di Sape bisa dihentikan, tapi situasi di Mesuji masih tak menentu.  Baru-baru ini, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Deli Serdang terlibat bentrok dengan warga di sekitar areal perkebunan. Puluhan orang terluka.



Di Sumatera Utara saja, sepanjang periode 2005 – 2011, terjadi 2.833 konflik lahan. Bahkan Polda Sumut mencatat bahwa konflik lahan terjadi hampir merata di provinsi itu



Pro Aktif



Dalam konteks ini, pemerintah sudah berkali-kali diingatkan tentang bom waktu konflik agraria. Potensinya sudah terlihat pada data BPN. Jadi, bukan data yang mengada-ada. Dari potensi yang terbaca pada data BPN itu, kemungkinannya adalah konflik antarwarga atau konflik yang melibatkan warga versus pelaku bisnis. Kasus Mesuji, kasus Sape dan terakhir konflik di Deli  Serdang, berkemungkinan mengeskalasi semangat warga di daerah lain yang juga sedang bersengketa lahan dengan pelaku bisnis.



Siapa pun tidak ingin semua potensi konflik itu benar-benar menjadi kenyataan, apalagi sampai harus menelan korban jiwa. Karena itu, diperlukan program khusus untuk menyelesaikan proses hukum belasan ribu sengketa agraria itu. Akan tetapi, untuk mencegah konflik berikutnya, langkah pertama yang harus ditempuh pemerintah adalah melakukan pendekatan kepada semua komunitas yang bersengketa lahan. Semua komunitas itu diajak untuk menahan diri, bermusyawarah dan menghindari tindak kekerasan dalam menyelesaikan persoalan mereka.



Langkah pendekatan itu tidak sulit, karena bisa dilakukan para bupati atau camat. Terpenting, ada instruksi presiden kepada semua pemerintah daerah dan kepolisian daerah untuk melaksanakan pekerjaan itu. Di mana saja potensi konflik itu, cukup memanfaatkan data BPN. Pendekatan pemerintah itu sangat diperlukan sebagai  bukti kehadiran negara di tengah masyarakat yang sedang menghadapi masalah.



Karena Indonesia negara hukum, langkah berikutnya adalah menyelesaikan semua sengketa lahan itu melalui proses hukum yang adil dan transparan. Selama ini, banyak komunitas yang bersengketa lahan merasa diperlakukan tidak adil karena baik institusi penegak hukum maupun proses hukumnya sendiri dinilai lebih memihak kepentingan pelaku bisnis. Memang pelik karena komunitas-komunitas yang bersengketa lahan terlanjur kurang memercayai institusi penegak hukum.



Karena alasan itulah perlu dibuatkan program khusus untuk menyelesaikan persoalan ini. Masalahnya adalah pemerintah dan penegak hukum menggunakan metode-metode modern dalam menetapkan status hukum sebuah areal tanah, sementara warga sekitar areal itu juga meyakininya  sebagai milik mereka secara turun temurun. Tentu saja negara cq pemerintah perlu menawarkan konsep win-win solution.



Konflik di Mesuji dan Sape terjadi karena warga sekitar merasa hak-hak mereka dirampas begitu saja tanpa kompensasi apa pun. Padahal, mereka hidup dari areal tanah itu. Kalau areal tanah itu harus diserahkan demi kepentingan investasi negara maupun swasta, tentu harus ada kompensasi bagi warga sekitar agar mata pencaharian mereka tidak hilang begitu saja.



Pemerintah memang harus pro aktif dalam meminimalisir potensi konflik agraria di berbagai daerah. Presiden memiliki alat kelengkapan untuk mengatasi persoalan yang satu ini. Masalahnya adalah kemauan dan konsistensi. Kalau persoalan ini segera ditangani, bukan hanya konflik yang bisa dihindari, melainkan juga sebagai pesan tentang kepastian hukum di sektor pertanahan. 



Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, konflik itu ibarat gempa bumi yang tidak dapat diprediksi kapan terjadinya, sehingga diperlukan lembaga yang memonitor potensi munculnya sebuah konflik.



Potensi konflik agraria di negara ini sudah tergambarkan cukup jelas. Kalau presiden memerintahkan semua pemerintah daerah dan kepolisian daerah mendata dan melakukan pendekatan kepada semua komunitas yang sedang bersengketa, konflik bisa dicegah. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar