Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
(Opini Koran Sindo 7/6)
TIBA-tiba, sejumlah data dan fakta
mengingatkan kita bahwa stabilitas negara rapuh karena tingginya potensi
konflik di akar rumput. Potensi konflik tereskalasi karena agenda penegakan
hukum sama sekali belum berupaya menjangkau persoalan-persoalan hukum yang
terpendam di banyak daerah.
Harus diakui bahwa reformasi yang berproses
sepanjang rentang waktu 14 tahun ini memang belum produktif. Setidaknya itulah
yang dirasakan sebagian terbesar komponen masyarakat. Itu sebabnya, ketika
mengevaluasi 14 tahun perjalanan reformasi, banyak kalangan bersuara
sumbang. Bahkan, dalam konteks atau agenda penegakan hukum, reformasi
belum menyelesaikan apa-apa, terutama persoalan-persoalan hukum yang membelit
banyak komunitas akar rumput di sejumlah daerah.
Banyak orang tertawa sinis karena melihat
penegak hukum memersepsikan ruang agenda penegakan hukum begitu sempit.
Penegakan hukum semata-mata diterjemahkan sebagai pemberantasan korupsi. Karena
itu, aktualisasinya pun hanya memburu, menyergap dan menjadikan para koruptor
pesakitan di ruang pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Pengadilan Tipikor.
Padahal, sejatinya, kewajiban yang termuat
dalam agenda penegakan hukum tidak hanya mengadili dan menghukum para koruptor.
Indonesia era reformasi mewarisi begitu banyak persoalan hukum dari
pelanggaran hukum yang masif oleh penyelenggara negara di masa lalu.
Pelaksanaan hukum yang manipulatif-represif di masa lalu itu menyebabkan banyak
komunitas di sejumlah daerah tak berdaya dan diam, sekalipun mereka diperlakukan
tidak adil oleh penyelenggara negaranya sendiri.
Ketika negara masuk era reformasi,
komunitas-komunitas itu berharap reformasi sebagai momentum dan akses mencari
serta mendapatkan keadilan. Negara diyakini akan hadir untuk meluruskan dan
menyelesaikan persoalan-persosalan lama yang mereka hadapi dalam diam itu.
Ternyata tidak.
Agenda penegakan hukum hanya dijadikan
slogan. Elite di Jakarta lebih disibukan oleh kegiatan mengelola kepentingan
melalui kekuasaan yang digenggamnya. Kekuasaan pun lebih memrioritaskan tertib
koalisi, dibanding menyerap dan mengelola aspirasi rakyat. Agar terlihat gagah
di panggung penegakan hukum, hanya progres pemberantasan korupsi yang
dikedepankan.
Sebaliknya, jerit individu maupun
komunitas di sejumlah daerah yang meminta kehadiran negara untuk mewujudkan
keadilan bahkan nyaris tidak ditanggapi. Negara begitu sering
menyepelekan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi rakyatnya. Tahu
bahwa negara tidak peduli, tidak sedikit oknum penegak hukum menyalahgunakan
wewenangnya dengan memanipulasi persoalan-persoalan itu untuk mendapatkan
keuntungan materi. Pihak yang benar disalahkan, dan sebaliknya yang salah
dibenarkan.
Sikap negara yang minimalis serta perilaku
tak terpuji oknum penegak hukum itu secara tidak langsung menumbuhkan potensi
konflik yang berkelanjutan. Akhir-akhir ini, media massa sudah menggambarkan
bahwa potensi konflik yang bermuara pada persoalan agraria ibarat bom
waktu.
Sengketa agraria yang berpotensi menjadi
konflik berdarah antarkelompok masyarakat, maupun komunitas warga versus pelaku
bisnis, terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia, terutama Sumatera,
Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Kalimantan. Konflik
berdarah terbaru yang masih segar dalam ingatan publik terjadi di Mesuji dan di
Sape.
Menurut BadanPertanahan Nasional (BPN),
hingga tahun 2011 lalu, ada 14.337 kasus sengketa agraria dengan berbagai
tingkatan. Sedangkan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), sejak
september 2009 hingga April 2011, sudah menerima 910 laporan perkara
sengketa tanah.
Baik data BPN, Satgas PMH maupun gambaran
sekilas potensi konflik agraria di Sumut itu sudah cukup untuk menjelaskan
bahwa stabilitas di sejumlah daerah rapuh, karena konflik berdarah tiba-tiba
saja bisa terjadi. Konflik di Sape bisa dihentikan, tapi situasi di Mesuji
masih tak menentu. Baru-baru ini, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
II di Deli Serdang terlibat bentrok dengan warga di sekitar areal perkebunan.
Puluhan orang terluka.
Di Sumatera Utara saja, sepanjang periode
2005 – 2011, terjadi 2.833 konflik lahan. Bahkan Polda Sumut mencatat bahwa
konflik lahan terjadi hampir merata di provinsi itu
Pro Aktif
Dalam konteks ini, pemerintah sudah
berkali-kali diingatkan tentang bom waktu konflik agraria. Potensinya sudah
terlihat pada data BPN. Jadi, bukan data yang mengada-ada. Dari potensi yang
terbaca pada data BPN itu, kemungkinannya adalah konflik antarwarga atau
konflik yang melibatkan warga versus pelaku bisnis. Kasus Mesuji, kasus Sape
dan terakhir konflik di Deli Serdang, berkemungkinan mengeskalasi
semangat warga di daerah lain yang juga sedang bersengketa lahan dengan pelaku
bisnis.
Siapa pun tidak ingin semua potensi konflik
itu benar-benar menjadi kenyataan, apalagi sampai harus menelan korban jiwa.
Karena itu, diperlukan program khusus untuk menyelesaikan proses hukum belasan
ribu sengketa agraria itu. Akan tetapi, untuk mencegah konflik berikutnya,
langkah pertama yang harus ditempuh pemerintah adalah melakukan pendekatan
kepada semua komunitas yang bersengketa lahan. Semua komunitas itu diajak untuk
menahan diri, bermusyawarah dan menghindari tindak kekerasan dalam
menyelesaikan persoalan mereka.
Langkah pendekatan itu tidak sulit, karena
bisa dilakukan para bupati atau camat. Terpenting, ada instruksi presiden
kepada semua pemerintah daerah dan kepolisian daerah untuk melaksanakan
pekerjaan itu. Di mana saja potensi konflik itu, cukup memanfaatkan data BPN.
Pendekatan pemerintah itu sangat diperlukan sebagai bukti kehadiran
negara di tengah masyarakat yang sedang menghadapi masalah.
Karena Indonesia negara hukum, langkah
berikutnya adalah menyelesaikan semua sengketa lahan itu melalui proses hukum
yang adil dan transparan. Selama ini, banyak komunitas yang bersengketa lahan
merasa diperlakukan tidak adil karena baik institusi penegak hukum maupun
proses hukumnya sendiri dinilai lebih memihak kepentingan pelaku bisnis. Memang
pelik karena komunitas-komunitas yang bersengketa lahan terlanjur kurang
memercayai institusi penegak hukum.
Karena alasan itulah perlu dibuatkan program
khusus untuk menyelesaikan persoalan ini. Masalahnya adalah pemerintah dan
penegak hukum menggunakan metode-metode modern dalam menetapkan status hukum
sebuah areal tanah, sementara warga sekitar areal itu juga meyakininya
sebagai milik mereka secara turun temurun. Tentu saja negara cq pemerintah
perlu menawarkan konsep win-win solution.
Konflik di Mesuji dan Sape terjadi karena
warga sekitar merasa hak-hak mereka dirampas begitu saja tanpa kompensasi apa
pun. Padahal, mereka hidup dari areal tanah itu. Kalau areal tanah itu harus
diserahkan demi kepentingan investasi negara maupun swasta, tentu harus ada
kompensasi bagi warga sekitar agar mata pencaharian mereka tidak hilang begitu
saja.
Pemerintah memang harus pro aktif dalam
meminimalisir potensi konflik agraria di berbagai daerah. Presiden memiliki
alat kelengkapan untuk mengatasi persoalan yang satu ini. Masalahnya adalah
kemauan dan konsistensi. Kalau persoalan ini segera ditangani, bukan hanya
konflik yang bisa dihindari, melainkan juga sebagai pesan tentang kepastian
hukum di sektor pertanahan.
Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla
mengatakan, konflik itu ibarat gempa bumi yang tidak dapat diprediksi kapan
terjadinya, sehingga diperlukan lembaga yang memonitor potensi munculnya sebuah
konflik.
Potensi konflik agraria di negara ini sudah
tergambarkan cukup jelas. Kalau presiden memerintahkan semua pemerintah daerah
dan kepolisian daerah mendata dan melakukan pendekatan kepada semua komunitas
yang sedang bersengketa, konflik bisa dicegah. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar