Memastikan Arah Qiblat Kita
Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan
amal ibadah kita dengan ainul yaqin atau paling tidak mendekatinya atau bahkan
sampai pada haqqul yaqin, kita perlu berusaha agar arah qiblat yang kita
pergunakan mendekati arah yang persis menghadap ke Baitullah. Jika arah
tersebut telah kita temukan berdasarkan hasil ilmu pengetahuan misalnya, maka
kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang lebih
teliti lagi.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
al-Zumar 17-18 : “… sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu,
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Sehingga sudah barang tentu kita perlu
mencari kesimpulan arah mana yang paling mendekati kebenaran pada arah qiblat
sebenarnya. Dengan demikian, menyikapi banyaknya terjadi perbedaan dalam
besaran-besaran sudut penunjuk arah qiblat yang terjadi di masyarakat selama
ini, perlu adanya pengecekan kembali dengan melakukan pengukuran kembali arah
qiblat.
Mestinya banyak sistem penentuan arah qiblat
yang dapat dikatagorikan akurat, seperti dengan menentukan azimuth qiblat
dengan scientific calculator atau dengan dibantu alat tehnologi canggih semacam
theodolite dan GPS (global position sistem) atau dengan cara tradisional yakni
melihat bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul qiblat) setelah
mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur
ka’bah.
Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama
ini beredar di masyarakat kiranya memang dapat digunakan untuk menentukan arah
qiblat namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek kebenarannya.
Karena berbagai model kompas termasuk kompas qiblat masih mempunyai kesalahan
yang bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (magnetic variation). Apalagi pada
daerah yang banyak baja atau besinya, akan mengganggu penunjukkan utara-selatan
magnet.
Secara garis besar arah qiblat berdasarkan
perhitungan astronomi untuk daerah Jawa Tengah, misalnya, sekitar 24 derajat 10
menit sampai 25 derajat dari titik Barat sejati ke arah Utara sejati. Sehingga
dapat dicek dengan sudut busur tersebut setelah mengetahui arah Utara-Selatan
sejati. Salah satu cara tradisional yang dapat menghasilkan akurat adalah
dengan bayang-bayang matahari sebelum dan sesudah kulminasi matahari dalam
sebuah lingkaran.
Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni
rashdul qiblat pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16.18 wib atau pada setiap
tanggal 16 Juli pukul 16.27 wib, semua benda tegak lurus adalah arah qiblat,
sebagaimana pendapat tokoh karismatik ilmu hisab alm. KH Turaichan Kudus.
Walaupun pada dasarnya rashdul qiblat dapat dihitung dalam setiap harinya
dengan mengetahui deklinasi matahari. Hanya saja penetapan dua hari rashdul
qiblat oleh KH Turaichan di atas adalah atas pertimbangan yang lebih akurat dan
realistis.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan keyakinan
dan kemantapan amal ibadah kita dengan ainul yaqin atau paling tidak
mendekatinya atau bahkan sampai dengan haqqul yaqin, marilah kita berusaha
meluruskan arah qiblat masjid dan mushalla kita, agar ibadah shalat kita
mendekati persis kepada arah menghadap ke Baitullah. Sehingga ketika kita
shalat, kita yakin benar telah mustaqbilal qiblah.
Kilas Balik
Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah,
belum ada ketentuan Allah tentang kewajiban menghadap qiblat bagi orang yang
sedang melakukan shalat. Rasulullah sendiri menurut ijtihadnya, dalam melakukan
shalat selalu menghadap ke Baitul Maqdis. Hal ini dilakukan berhubungan
kedudukan Baitul Maqdis saat itu masih dianggap yang paling istimewa dan
Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala di sekililingnya. Namun
menurut sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah selalu menghadap ke Baitul Maqdis,
jika berada di Makkah beliau juga pada saat yang sama selalu menghadap ke
Baitullah.
Demikian pula setelah Rasulullah hijrah ke
Madinah, beliau selalu menghadap ke Baitul Maqdis. Namun 16 atau 17 bulan
setelah hijrah, di mana kerinduan beliau telah memuncak untuk menghadap ke
Baitullah yang sepenuhnya dikuasai oleh kafir Makkah turunlah firman Allah
memerintahkan berpaling ke masjidil Haram yang memang dinanti-nanti oleh
Rasulullah. Demikian cerita hadis terkait dengan asbabun nuzul ayat-ayat
Al-Quran tentang petunjuk arah qiblat bagi kita sekarang ini.
Pemindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke
Masjidil Haram mengakibatkan keributan dan menimbulkan berbagai macam komentar,
baik dari orang Islam yang lemah imannya (muallaf qulubuhum) maupun dari orang
di luar Islam. Mereka mengatakan bahwa Muhammad berfikir kurang matang,
sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap ke mari. Ada pula yang mengatakan
bahwa Muhammad kembali ke ajaran nenek moyangnya sebab di sekitar Baitullah
pada waktu itu masih banyak terdapat berhala. Sehingga ada orang muallaf yang
menjadi kafir kembali.
Atas pemindahan qiblat tersebut, orang Yahudi
dan orang-orang munafik sangat tidak senang sebab menurut mereka Baitul Maqdis
yang didirikan oleh nabi Sulaeman adalah tempat suci sumber agama yang dibawa
oleh nabi keturunan Israil. Maka dengan berqiblatnya Muhammad ke Baitul Maqdis
berarti ajaran Muhammad hanyalah jiplakan dari ajaran mereka. Sekarang Muhammad
berpindah qiblat ke Baitullah, maka mereka sangat kecewa.
Sebetulnya Baitul Maqdis dan Baitullah di
sisi Allah adalah sama. Penunjukkkan ke arah qiblat hanyalah merupakan ujian
ketaatan manusia kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang penting dilakukan dalam
melakukan shalat adalah ketulusan hati dalam menjalankan perintah-Nya, dengan
kerendahan hati mohon petunjuk jalan yang lurus -shirathal mustaqim.
Berdasarkan asbabun nuzul ayat-ayat arah
qiblat dengan didukung hadis qauli amr Muhammad, maka para ulama sepakat –
ijma’ – bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan
shalat.
Hanya saja sekarang timbul pertanyaan, apakah
harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh hanya ke arah taksirannya saja.
Dalam hal ini perlu kita memahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit
dan memberatkan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286.
Apalagi dalam soal qiblat ini kita diperintahkan menghadap qiblat dengan lafaz
syathrah yang berarti arah.
Oleh karena itu, sudah barang tentu bagi yang
langsung dapat melihat ka’bah baginya wajib berusaha agar dapat menghadap
persis ke ka’bah. Sedangkan orang yang tidak langsung dapat melihat ka‘bah
karena terhalang atau jauh, baginya hanya wajib menghadap ke arahnya saja
dengan pertimbangan yang terdekat arahnya. Sehingga bagi kita biasa
menglafalkan niat “mustaqbilal qiblah” dalam niat mengawali untuk shalat. Wa
Allahu A’lam Bishshowab.
Ahmad Izzuddin HMR, M.Ag.
Koordinator Bidang Pendidikan dan
Pelatihan Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU), Dosen Hisab Rukyah IAIN
Walisongo Semarang, Anggota Badan Hisab Rukyah Jawa Tengah, Pengasuh Pesantren
Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang dan Direktur Lembaga Hisab Rukyah
Independent ( LHRI ) “AL-MIIQAAT” Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar