Ka’bah Mean Time
Selama ini garis awal waktu (day date line)
kita berkiblat ke Inggris. Kota Greenwich, yang letaknya dekat London,
ditetapkan sebagai bujur 0 atau disebut Greenwich Mean Time (GMT). Setiap 15
derajat dari sana dihitung berbeda 1 jam dalam hitungan 24 jam. Perhitungan
hari pun bermula dari bujur yang berjarak 180 derajat dari Greenwich.
Kenyataan ini dirasa patut mengusik kesadaran
umat Islam, sekurang-kurangnya bagi keperluan ritual atau ibadah, untuk
bersepakat menetapkan Ka’bah sebagai kiblat penetapan waktu; Ka’bah Mean Time.
Caranya, kota Mekah yang terletak pada 40 derajat bujur timur itu ditetapkan
sebagai bujur 0 derajat. Sehingga 180 derajat dari Mekah, yakni 140 derajat
bujur barat dari Greenwich, ditetapkan sebagai garis awal batas tunggal. Dengan
demikian, umat Islam sedunia dapat, misalnya, merayakan Idul Fitri atau Idul
Adha pada hari yang sama.
Andaikan ide ini bisa diwujudkan, tentu Ka’bah
kita akan semakin populer --meski sebenarnya tanpa itu pun, Ka’bah kita itu
sudah jauh lebih populer dibanding dengan kota Greenwich. Hanya saja
persoalannya, apa benar penetapan Ka'bah sebagai bujur 0 derajat akan berdampak
positif bagi keperluan ritual, misalnya umat Islam sedunia bisa berhari raya
pada hari yang sama?
Orang yang mengerti bahwa bola Bumi ini bulat
dan mengerti bahwa umat Islam ada di mana-mana di seantero belahan Bumi yang
bulat ini, tentu sulit mencema uraian tersebut di atas. Apakah hanya dengan
menggeser day date line sejauh 40 derajat ke arah timur, atau lebih awal 2 jam
40 menit dari yang berlaku sekarang, umat Islam akan bisa berhariraya pada hari
yang sama?
Orang yang memiliki sekelumit pengetahuan
tentang ilmu falak atau ilmu hisab yang mengetahui bahwa awal bulan Hijriyah
ditentukan berdasarkan kemunculan hilal di atas ufuk barat dan sama sekali
tidak ada hubungannya dengan day date line (garis batas tanggal) itu tadi,
tentu akan geleng-geleng kepala menyimak ide Ka’bah Mean Time ini.
Pindah-pindahkanlah posisi day date line itu ke mana suka, umat Islam di mana
pun di belahan Bumi ini tidak akan pernah bingung tentang kapan saatnya mereka
berhariraya karena pedoman untuk itu sudah konkret.
Umat Islam di satu belahan Bumi tertentu yang
belum mengalami terbit hilal tidak akan memaksakan diri untuk berhariraya pada
hari yang sama dengan umat Islam di belahan Bumi lain yang telah lebih dahulu
mengalami terbit hilal. Sebab, Nabi SAW tidak memberi petunjuk demikian.
Sedangkan sunnatullah mengenai gerakan bulan pada lintasannya mengakibatkan
belahan bumi yang pertama kali mengalami terbit hilal selalu berubah setiap
bulan.
Seandainya ide tentang Ka'bah Mean Time (KMT)
ini bisa diterima secara internasional, kita umat Islam tentu saja ikut bangga.
Kendati rasanya agak utopis, tetapi mari kita tunggu saja! Wallahu a'lam.
KH Abdul Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar