Selasa, 19 Juni 2012

(Ngaji of the Day) Makna Isra' Mi'raj dan Oleh-oleh Istimewa


Makna Isra' Mi'raj dan Oleh-oleh Istimewa

Oleh: Hamidulloh Ibda



Tepat pada tanggal 27 Rajab kemarin, seluruh umat Islam di seluruh dunia secara serentak merayakan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa Palestina, kemudian kembali lagi ke Masjidil Haram dalam waktu satu malam. Umat Islam mengakui kebenaran peristiwa ini. Namun, dewasa ini banyak yang “meragukan” kebenarannya. Bahkan, ada beberapa golongan menganggap Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa tidak ilmiah dan irasional. Pasalnya, sangat tidak mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh dalam waktu singkat. Selain itu, hal ini terjadi di zaman Rasulullah, sedangkan beliau sudah meninggal, dan saat ini kita hanya merayakannya tanpa mengetahui peristiwa ini secara mendalam.


Maka dari itu, sudah seharusnya kita menelusuri hakikat di balik peristiwa ini. Sebagai umat Islam, kita harus mencari tahu kebenaran dan memaknai Isra’ Mi’raj. Kalau bukan umat Islam, lalu siapa lagi yang mengkaji Isra’ Mi’raj, karena meyakini Isra’ Mi’raj merupakan suatu keniscayaan.


Memaknai

Selama ini, banyak perdebatan tentang “kebenaran” Isra’ Mi’raj. Sebagian orang membenarkan dan meragukannya. Namun, berawal dari tulisan ini, mari kita ungkap kebenaran di balik peristiwa tersebut. Zaman dulu, kejadian ini sangat mustahil terjadi, karena kendaraan bermotor pun tidak ada. Namun, di era modern seperti ini sangat mungkin jika kita bepergian dengan cepat karena menggunakan “pesawat terbang.”


Isra Mi`raj merupakan kejadian “istimewa”, karena kejadiaan ini bersifat gaib (metafisika), tidak semua orang bisa melakukannya kecuali atas kehendak Allah SWT. Maka, kejadian ini harus dimaknai dari berbagai sudut pandang. Dalam sudut pandang metafisika, Isra’ Mi’raj menjadi suatu kebenaran naqliyah (dogmatis). Artinya, peristiwa ini tidak harus dibuktikan dengan akal, namun lebih bersifat “keyakinan” atau imani. Jadi, karena bersifat dogmatis, benar dan tidaknya bukan menjadi permasalahan.


Dalam keterangannya, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad menggunakan kendaraan “buraq” atau kuda bersayap dengan kepala menyerupai manusia yang diturunkan Allah SWT. Secara bahasa, buraq berarti kilat/cahaya, sehingga seperti yang kita ketahui bahwa kecepatan cahaya (c) itu sendiri sebesar 3x108 m/s. Ketika dihubungkan dengan rumus relativitas Einstein, maka ketika waktu terjadinya Isra Mi’raj itu jika dihitung dalam waktu bumi adalah 8 jam sebagai ∆t maka,= 0. Dari penghitungan di atas, sangat logis apabila Isra Mi’raj dilakukan Muhammad dalam waktu kurang dari satu malam.


Di sisi lain, para teolog Islam banyak berspekulasi tentang kejadian ini, sebab hal itu menimbulkan kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat yang melakukan perjalanan adalah ruhani bukan jasmani. Bahkan, kaum Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhaniah bukan jasmaniah. Namun, mufasir Al-Qur’an, Thabrani (awal abad ke-10), berpendapat perjalanan Nabi itu benar-benar terjadi secara jasmani, karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an sebagaimana ditekankan Thabrani dengan jelas mengatakan “Allah telah memperjalankan hambaNya pada malam hari” dan “bukan jiwa hambaNya”.


Dan tidak mustahil ketika kejadian Isra Mi'raj banyak ditentang kaum rasionalis. Mereka berdalih, "mana mungkin seseorang mampu berjalan melebihi kecepatan sinar". Namun, kenyataan ilmiah membuktikan setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu berbeda dengan sistem yang lain. Bahwa kebutuhan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda satu dengan yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama di bandingkan dengan suara, demikian juga suara lebih lama di bandingkan dengan cahaya, sehingga kita dapat berkata bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran. Di samping itu, manusia juga memiliki keterbatasan berpikir, dan berbatas pada eksperimen atau melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala alam yang dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dimana saja.


Oleh-oleh Istimewa


Terlepas dari benar dan tidaknya Isra’ Mi’raj, pada intinya umat Islam harus meyakini dan mengamalkan ajaran peristiwa ini. Pasalnya, tidak semua kejadian bisa kita ilmiahkan. Kenapa demikian? karena sudah jelas bahwa peristiwa ini bersifat dogmatik. Artinya, Isra’ Mi’raj merupakan suatu “keajaiban” yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian, maka hukumnya wajib bagi umat Islam untuk mempercayai dan mengamalkan ajarannya.


Jika kita pergi keluar kota, pastinya kita akan membawa oleh-oleh atau jajanan untuk keluarga. Demikian juga dengan Nabi Muhammad yang melakukan Isra’ Mi’raj. Salah satu oleh-oleh istimewa Muhammad yaitu perintah shalat lima waktu yang saat ini menjadi rukun Islam yang wajib kita jalankan. Maka dari itu, yang lebih penting bukanlah memperdebatkan benar dan tidaknya Isro’ Mi’roj, namun yang esensial yaitu mengamalkan apa yang menjadi hakikat dari peristiwa ini. Jadi, sudah seharusnya oleh-oleh istimewa (sholat) kita tegakkan sebagai sarana untuk menebalkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Wallahu a`lam bisshowab.


* Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar