Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
MAFIA pajak akan mendapat gempuran
baru. Setelah sekian lama menyandang status untouchable, KPK mulai
berancang-ancang memberi perlawanan negara terhadap kejahatan yang satu
ini. Mampukah KPK menjerat para bos besar yang mendalangi penggelapan
pajak di Indonesia?
Setengah berjanji, Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto, mengatakan kasus dugaan suap yang melibatkan Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo, Jawa
Timur, Tommy Hendratno, diharapkan menjadi pintu masuk bagi KPK
membongkar jaringan mafia pajak. Penangkapan Tommy tercatat sebagai kasus
penggelapan pajak pertama yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi
).
Seluruh rakyat Indonesia, sudah barang tentu,
senang dengan tekad besar KPK itu. Mudah-mudahan, tekad itu bukan angin
surga. Tidak seperti kasus-kasus sebelumnya, masyarakat berharap KPK tidak
ikut-ikutan membidik penjahat-penjahat pajak kelas teri seperti terpidana Gayus
Tambunan atau tersangka Dhana Widyatmika. Masyarakat tahu bahwa pegawai
rendahan seperti Gayus ,Dhana maupun Tommy tidak mungkin bekerja sendiri. Mereka
merupakan mata rantai dari jaringan mafia pajak.
Dalam sebuah tulisan terdahulu, dipaparkan
bahwa mafia pajak itu lahir dari rahim, dan tumbuh berkembang dalam tubuh
birokrasi negara. Tidak dari mana pun. Dari aturan main,, perluasan jaringan
hingga kaderisasi dan distribusi manfaat, dirancang dan dietapkan oleh oknum
birokrat yang dipercaya mengutip dan mengelola pajak negara. Jangan pernah
beramsumsi jaringan mafia pajak hanya eksis di lingkungan Ditjen Pajak dan para
bos mereka di Kementerian Keuangan. Jaringannya sudah melebar ke mana-mana,
terus ke atas ke samping dan ke bawah. Gayus, Dhana dan Tommy adalah produk
kaderisasi mafia pajak.
Selama ini, mafia pajak di Indonesia nyaris
tak tersentuh (untouchable) karena ketaatan anggota mafia pada aturan main dan
tradisi mereka. Dalam tradisi para koruptor di Indonesia, hasil curian tak
boleh dimakan sendiri. Selain itu, saling melindungi. Bawahan yang ‘bermain’
dan pasang badan, sedangkan atasan terima bersih. Tentu saja, jangan
berkhianat. Tradisi ini pun diadopsi mafia pajak dan anggota jaringannya.
Kurang lebih, kekuatan seperti itulah yang
akan dihadapi KPK. Mafia pajak adalah sebuah kekuatan besar, jauh lebih besar
dari mega skandal Bank Century. Sebab, kejahatan kerah putih ini mengincar uang
puluhan triliunan rupiah yang terbukukan sebagai potensi penerimaan negara dari
pajak. Dengan kekuatan yang begitu besar, mafia pajak bahkan mampu menciptakan
peradilan sesat. Oleh karena itu, walaupun mafia pajak sudah menjadi
persoalan terbuka, tekad KPK memerangi kejahatan ini pastilah tidak mudah.
Panja (Panitia Kerja) Perpajakan Komisi III DPR pernah merasakan betapa
sulitnya mendalami kasus mafia pajak. Karena itu, bisa dipahami jika KPK
pagi-pagi sudah meminta dukungan semua pihak.
Tentu saja, dukungan utama harus datang dari
pemerintah sendiri bersama institusi penegak hukum lainnya. Di atas kertas,
dukungan pemerintah bisa diklaim dari Inpres No. 1/2011 tentang Percepatan Penyelesaian
Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Inpres ini diterbitkan sebagai respons atas
berlarut-larutnya kasus mafia pajak yang melibatkan oknum departemen keuangan,
oknum polisi dan oknum jaksa. Selain Inpres tadi, pimpinan UKP4 dan PPATK
pernah mengadakan pertemuan dengan pimpinan KPK, membahas penanganan kasus
mafia perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak pun mengklaim sudah menjalin
kerjasama dengan KPK untuk memerangi kejahatan di bidang pajak.
Ke Atas
Masalahnya kemudian pada aktualisasi dan realisasi
semua komitmen itu. KPK sudah memulainya dengan menangkap Tommy. Tahap
berikutnya adalah pendalaman tentang sepak terjang mafia pajak.Pada tahap
pendalaman inilah KPK amat membutuhkan data dan informasi yang lebih dulu
dimiliki institusi lain, termasuk dari polisi, kejaksaan dan Ditjen Pajak
sendiri. Maret 2011, Menteri Keuangan menyerahkan 103 identitas pegawai pajak
ke Polri untuk diperiksa. Data yang sama tentu saja bisa dimanfaatkan KPK
setelah di up date. Tetapi, masyarakat berharap KPK tidak hanya fokus pada data
itu, sebab data dimaksud hanya menggambarkan kecurigaan terhadap oknum pegawai
yang bukan eselon atas.
Dalam sebuah Dupliknya, Gayus sempat
berpendapat bahwa mantan atasannya, Darmin Nasution, eks Dirjen Pajak yang kini
menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI), mestinya juga menjadi terdakwa. Sebab,
menurut Gayus dalam Dupliknya, penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal
(SALT) merupakan pekerjaan tim. Dan, sesuai prosedur, semuanya atas persetujuan
seluruh pihak hingga petinggi Dirjen Pajak, termasuk Darmin Nasution. Maka,
kata Gayus, dalam kasus SALT, tidak hanya dirinya yang didakwa, melainkan juga
Johny Marihot Tobing, Bambang Heru Ismiarso dan Darmin Nasution.
Pendapat Gayus masuk akal, sebab pangkatnya
hanya eselon III yang tak mungkin bisa memberi pernyataan hingga membuat
keputusan final. Gayus, barangkali, hanya menghitung. Sedangkan dasar-dasar
pertimbangan untuk menolak atau menyetujui keberatan itu dirumuskan oleh para
atasannya. Mengacu pada jumlah, Putusan finalnya pasti menjadi kewenangan
Dirjen Pajak. Bagaimana pun, penggelapan pajak adalah kejahatan kolektif yang
tidak mungkin dilakukan hanya oleh eselon bawah. Karena itu, menangkap oknum
pegawai pajak eselon bawah bisa diartikan sebagai upaya menutup-nutupi kejahatan
perpajakan yang diduga dilakukan pejabat tinggi negara.
Panja Perpajakan Komisi III DPR pernah
mendalami kasus restitusi pajak Rp 7,2 trilyun rupiah. Restitusi sejumlah itu
diminta oleh PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati
Asahan (MNA) milik Wilmar Group. Mayoritas atau 96 persen saham WNI-MNA
dikuasai Tradesound Investment Ltd yang beralamat di PO BOX 71, Craigmuir
Chamber Road Town, Tortola, British Virgin Island.
Kasus ini diawali dengan pernyataan Ditjen
Pajak bahwa WNI - MNA sebagai Wajib Pajak Patuh per Januari 2009. Setelah
pernyataan itu, terjadi lonjakan nilai pengajuan restitusi PPN. Per 2009,
restitusi PPN yang diminta WNI Rp 2,232 triliun, dan sudah dicairkan Rp1,093
triliun. MNA mengajukan Rp 1,162 triliun dan dicairkan Rp 484,05 miliar. Klaim
restituasi yang belum dibayarkan diajukan lagi. Maka, sepanjang periode
September 2009 - Februari 2010, WNI mengajukan resititusi Rp 1,597 triliun dan
MNA meminta Rp 808,5 miliar
Belakangan, KPP Besar Dua mengendus dugaan
pidana dalam pengajuan restitusi WNI-MNA. Ada indikasi direksi WNI - MNA
merekayasa laporan transaksi jual-beli demi mendapat restitusi. Pada Oktober
dan November 2009, Kepala KPP Besar Dua mengajukan Usul Pemeriksaan Bukti
Permulaan (penyelidikan) atas dugaan tindak pidana oleh WNI - MNA.Tetapi usul
ini tidak digubris Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak maupun Dirjen Pajak.
Saat mendalami kasus ini, Panja Pengawasan
Pajak Komisi III DPR sempat memanggil beberapa pejabat Ditjen Pajak. Proses
pendalamannya tidak berjalan mulus tidak semua yang dipanggil bersedia
hadir. Padahal, peran mereka sangat signifikan dalam memenuhi permintaan
restitusi dari WNI- MNA. Ada indikasi para pejabat Ditjen Pajak saat itu tidak
menerapkan tindakan sebagaimana diamanatkan oleh kewenangan dan jabatan
Artinya, selain kasus Tommy, KPK bisa pula
memanfaatkan kasus restitusi ini sebagai pintu masuk. Prosesnya akan lebih
mudah karena kasusnya sendiri pernah digarap DPR dan dokumennya cukup lengkap.
Bekerja sama dengan Komisi III DPR, kasus ini bisa dibuka kembali. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar