KH Abdul Chalim
Majalengka (1898-1972)
Pengurus SI Hijaz
Termuda
Di balik setiap
peristiwa-peristiwa penting sejarah, tentu terdapat nama-nama yang melambung.
Nama-nama yang kemudian menjadi terkenal dan menjadikan figur-figur tertentu
sebagai idola dan panutan di kemudian hari. Nama-nama inilah yang kemudian
disebut sebagai tokoh. Beberapa di antaranya bahkan melegenda dan bertahan
hingga beberapa generasi.
Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap peristiwa
penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu disebut-sebut khayalak
setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat nama-nama besar
yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi. Namun tentu saja
ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU sembari tetap
menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama yang tidak
menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara
nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat
adalah KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.
Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak
serta-merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski
namanya tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap
dikenal sebagai bagian dari rakyat kebanyakan.
Pentingnya Solidaritas
Sosial dan Moderat
Hal ini dikarenakan KH Abdul Chalim menerapkan prinsip-prinsip solidaritas
sosial sepanjang hidupnya. Solidaritas (ashobiyyah)
inilah yang juga dididikkan kepada setiap santrinya. Solidaritas yang dianaut
oleh KH Abdul Chalim ini berlaku dalam kelompok kecil maupun komunitas yang
besar. Menurut KH Abdul Chalim, Solidaritas sangatlah penting dalam mempererat
jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama maupun politik. Tujuan
gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas politik.
Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas
merupakan salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang
dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Namun agar tidak terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit,
yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH
Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat dilaksanakan dengan terus menumbuhkan
solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.
Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas
sosial. Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai
tujuan-tujuan kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan
adalah kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan
sehari-hari. Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai
ibadah bukan hanya dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan
kehendak dan usaha untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan
prinsip-prinsip syariah juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT
adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya.
Namun demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam
mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.
Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh
yang ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama
berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan
hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan
merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan
menularkan kemempuan ilmiahnya.
Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam
Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul Chalim. Bagi KH Abdul
Chalim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah
keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menupakan sebuah terobosan yang
sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.
Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh
KH Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan.
Konsep-konsep yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat
perbandingan-perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam
kitab-kitab kuning dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat
Nusantara saat itu. Yakni merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang
dapat menaungi seluruh penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.
Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat
dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak.
Pendapat-pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah
jajahan Hindia Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru
kepada para ulama. Sejak dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil
hingga ke darah-dararah lain di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren
Trajaya di Majalengka, Pesantren Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek
di Cirebon adalah tempat Abdul Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.
Mendamaikan Sengketa para
Senior
Pada
tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, Abdul Chalim
berkesempatan untuk menuntut menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah
Hijaz. Di sanalah Abdul Chalim sempat menimba ilmu secara langsung dari Abu
Abdul Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih tersohor dengan
sebutan Imam nawawi al-Bantani.
Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai
ulama Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini
kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang
paling akrab sebagai teman sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah
Jombang. Saat itu Abdul Chalim adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam
(SI), termuda di Hijaz. Di mana SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang
berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Hindia
Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang
tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat, ditentang secara
konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian
menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini didirikan pada
tahun 1926.
Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama
yang berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang
mendamaikan KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya
terlibat sebuah persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang
bersengketa ini merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara
itu Abdul Chalim juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering
memperdengarkan kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang
pelajaran.
Kelahirannya sebagai putra tunggal seorang kuwu di Majalengka menjadikan KH
Abdul Chalim tidak cangung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan
di SI Hijaz. Demikian pun ketika ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1917.
Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung
untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian
hari kian kejam saja.
Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul
Chalim menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun
kemudian, Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka.
Dalam perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan
toko dan kuli panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang
kuwu, Abdul Chalim menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada
anak-anak di daerah Kramat Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian
di Kramat jati ini Abdul Chalim di dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal
Majalengka.
Sedangkan isteri keempatnya dinikahi di tengah-tengah perjuangannya mengusir
penjajahan Belanda seputar berkecamuknya pertempuran Surabaya ketika Resolusi
Jihad dikumandangkan. Istrei ketiganya adalah Ny. Sidik Shindanghaji dari
Leuwimunding. Sebelumnya, KH Abdul Chalim telah lebih dahulu menikahi Ny.
Konaah sebagai isteri ketiga.
Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke
Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding.
Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang
semakin tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke
Petalangan demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian
mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.
Dor to Dor Kenalkan
Aswaja
Abdul Chalim kemudian mengembara ke Surabaya untuk bergabung dengan teman-teman
seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kyai Amin Peraban, Abdul Chalim bertemu
kembali dengan KH Wahab Hasbullah senior sekaligus gurunya selama di Hijaz.
Karena hubungan baiknnya, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar
di Nahdlatul Wathan di kampong Kawatan VI Surabaya. Selain mengajar KH Abdul
Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan
belajar mengajar seta pembukaan forum-forum diskusi.
Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu
Balaghoh (sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali
menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan
santri-santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan.
Kedekatan KH Abdul Chalim dengan KH Wahab Hasbullah menjadikan yang pertama
sebagai pengikut setia sekaligus semacam asisten bagi nama kedua. Melalui
aktivitasnya di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan
gagasan-gagasan keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik
dan kebangsaan dalam masyarakat. Selain nahdlatul Wathan, KH Abdul Chalim juga
tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya.
Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka
untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan
pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan
dan kebodohan umat. Setiap pulang ke majalengka, KH Abdul Chalim selalu
mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham
Ahlussunnah Waljamaah. KH Abdul Chalim selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan
surat kabar Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan
sekitarnya.
Tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan
Jepang, KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi
Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan
kebanggan para pemuda untuk menjadi komunis merupakan dilema yang sangat sulit
dihadapi.
Dalam situasi inilah KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang majalengka
bersama KH Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu
bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar
santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia.
Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari
perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul chalim lebih
dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai
wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU, PERGUNU dan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibada sholat KH
Abdul Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren
Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka.
Disarikan dari buku KH Abdul Chalim Kenapa Harus
Dilupakan? karya J. Fikri Mubarok, oleh Syaifullah Amin