Jumat, 25 Juli 2014

Yudi Latif: Presiden Musim Semi Kesukarelaan



Presiden Musim Semi Kesukarelaan
Oleh: Yudi Latif

MUSIM semi tiba, rerumputan pun tumbuh sendiri; kedatangan pemimpin alamiah sejati menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak”. Demikianlah Lao Tzu memberi iktibar.

Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin (relatif) otentik dalam pemilihan presiden kali ini mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak-serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.

Betapapun kontestasi kepresidenan berlangsung sengit, kekuatan kesukarelaan dan kreativitas ini ternyata memiliki daya kendali tersendiri untuk tidak memasuki medan pertarungan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kesukarelaan dan kreativitas itu sendiri. Maka, dengan segala ketegangannya, pilpres kali ini pun berlangsung relatif aman dan damai.

Sungguh disesalkan, kemunculan pemimpin harapan dan musim semi kesukarelaan ini diboncengi oleh penumpang gelap kepentingan elitis yang mengobarkan politik kecemasan. Kedua pasangan dipersonifikasikan sebagai representasi dari dua kecemasan akbar. Yang satu adalah kecemasan akan bangkitnya kekuatan yang dapat melemahkan aspirasi kebebasan sipil dan pluralisme kewargaan. Yang lain kecemasan akan hegemoni minoritas-pemodal yang dapat mengarah pada pelebaran kesenjangan sosial dan marjinalisasi mayoritas.

Celakanya, kedua kecemasan ini nyaris menjadi nubuat yang memenuhi kenyataan (self-fulfilling prophecy). Kecemasan yang pertama dipenuhi oleh cara kampanye pesaingnya yang memobilisasi sentimen ”perseteruan” atas dasar agama dan oleh kalangan pendukungnya sendiri yang memobilisasi sentimen ”minoritas”. Kecemasan kedua dipenuhi oleh kecenderungan dukungan minoritas-pemodal pada pesaingnya dan oleh kekhawatiran partai-partai Islam pendukungnya yang rata-rata miskin logistik kalau sampai mereka tidak punya akses ke sumber daya eksekutif.

Masih beruntung, kedua kecemasan ini bisa dinetralisasi oleh pengelompokan secara campuran (mixed type). Pada setiap kubu ada representasi aliran ”kebangsaan” dan ”keislaman”; kaum modernis dan tradisionalis; Muslim dan non-Muslim. Maka, setiap percobaan untuk melakukan stigmatisasi terhadap lawannya dengan menempelkan kategori-kategori politik lama selalu bisa dimentahkan. Adanya persilangan identitas (cross-cutting identities) ini pula yang membuat konflik bisa dilunakkan, tidak sampai mengarah pada perang sipil.

Dengan fenomena seperti itu, akar rumput tidak akan mudah dibakar. Potensi kekerasan masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar” kekerasan sebagai soldier of fortune. Jika itu yang menjadi pilihan, aparatur keamanan negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada titik ini, ujian sejarah sedang dihadapi oleh Presiden beserta jajaran TNI dan polisi, apakah mereka akan lulus sebagai pahlawan pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsanya.

Bagaimanapun, siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wakil presiden nanti, yang dipertaruhkan bukanlah gengsi personal Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, kedua pasangan harus bersifat kesatria; yang menang tidak mentang-mentang, yang kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya kemenangan seluruh rakyat, yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih sanggup mengubah politik kecemasan menjadi politik harapan bagi seluruh rakyat.

Untuk mengubah kecemasan menjadi harapan, pemimpin terpilih harus sungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan pluralisme dengan merealisasikan negara kekeluargaan yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha menciutkan kesenjangan sosial dan mengembangkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.

Dalam mengarungi jalan terjal politik harapan itu, sikap optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi, tetapi mesti bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan harapan, pemerintahan demokratis baru sering dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan. Karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya.

Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama lintas batas, bukan menyulut pertikaian, sambil mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional. Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang dapat mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama. Dalam menguatkan gotong royong ini, pluralisme harus dikembangkan secara jujur, tidak dipolitisasi sebagai siasat demi menguntungkan golongan sendiri. []

KOMPAS, 22 Juli 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar