Selasa, 08 Juli 2014

Shambazy: Pilpres, Piala Dunia, Puasa



Pilpres, Piala Dunia, Puasa
Oleh: Budiarto Shambazy

MAKIN mendekati 9 Juli, makin terlihat kontras di antara kedua pasang calon presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kekontrasan dua kubu wajar karena ini pertama kali pemilu presiden diikuti dua pasang calon sejak tahun 2004.

Pilpres macam ini ibarat pertandingan olahraga, yaitu dua tim langsung berhadapan di final. Terlebih lagi, Pilpres 2014 tak diikuti presiden petahana sehingga menambah sengit kompetisi.

Kita sudah mengikuti narasi Pilpres 2014 dan relatif mengenal kedua capres-cawapres. Kita sudah mempelajari visi dan misi mereka serta mengikuti debat-debat mereka.

Hampir tiap hari kita dibombardir informasi atau sepak terjang kedua capres-cawapres. Kita membacanya dari media massa arus utama, media sosial, menyaksikannya di televisi, mendengarkan opini dari orang-orang lain, bahkan melihat langsung kampanye mereka.
Apa kesan yang paling menonjol dari pengamatan sepanjang kampanye yang berlangsung sekitar satu bulan itu? Tentu saja kita punya pandangan masing-masing.

Namun, jika dibandingkan dengan kampanye Pilpres 2004 dan 2009, sebuah kesan kuat yang didapat adalah betapa negatifnya suasana kampanye kali ini. Penyebabnya adalah fitnah (kampanye hitam) dan kampanye negatif.

Di negara-negara Barat, kampanye hitam/negatif telah lama ditinggalkan karena lebih sering terbukti menjadi senjata makan tuan. Apalagi jika kampanye hitam/negatif itu dipandang membahayakan eksistensi bangsa dan negara.

Ambil contoh ketika seorang ibu bertanya kepada capres Partai Republik, John McCain, yang sedang pidato kampanye pemilu presiden di Amerika Serikat tahun 2008. ”Saya tak percaya Obama, dia orang Arab,” kata sang ibu. McCain menyergah, ”Tidak, Bu. Ia warga terhormat, kebetulan berbeda pandangan dengan saya. Dia bukan (orang Arab),” tegas McCain.

Kita tidak berharap kualitas demokrasi kita sudah sehebat di AS. Namun, kita berharap aparat penyelenggara pilpres/pemerintah bersikap tegas menjatuhkan sanksi terhadap pelaku fitnah.

Itu yang belum dilakukan, sementara fitnah telanjur menjalar liar. Terakhir, Joko Widodo, yang sebelumnya difitnah sudah wafat, orang Tiongkok, dan bukan Muslim, ketiban pulung lagi difitnah keturunan komunis.

Mungkin sebagian dari kita menganggap masalah pelik ini usai dengan sendirinya setelah 9 Juli. Namun, jika terjadi sikap pembiaran oleh pemerintah, fitnah bakal dijadikan senjata pamungkas pada pemilu-pilpres mendatang.

Betapapun, kubu yang merasa kalah populer cenderung akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan lawan. Ini berlaku secara universal, yang di AS disebut dengan A Hail Mary Pass, yakni upaya menciptakan gol untuk menyamakan kedudukan, atau bahkan memenangi pertandingan, dalam detik-detik terakhir.

Terlepas dari itu, sebuah prinsip memilih capres yang wajib kita pahami adalah mereka bukan malaikat. Seperti kita, tiap capres memiliki kelebihan sekaligus juga kekurangan.

Prinsip ini perlu diingatkan lagi karena memilih presiden bukan memilih ”ratu adil” atau a knight with shining armour. Kita butuh pemimpin yang mampu mengelola pemerintahan, bukan manusia setengah dewa atau tukang sulap.

Lagi pula kita hidup di abad ke-21 yang penuh tantangan ”glokal” (global dan lokal), yang cuma bisa diselesaikan yang rasional. Sudah ketinggalan zaman mengandalkan presiden yang cuma mengandalkan pencitraan semata-mata.

Dalam tiap pilpres, sebagian dari kita ingin memutus rantai dengan masa lalu (breaking with the past). Namun, sebagian lagi masih terpukau pada kehebatan masa lalu (blast from the past).

Sekali lagi, itu selera Anda masing-masing. Oleh karena itu, cermatilah kebiasaan capres yang mengaku agen ”perubahan”. Ini cuma gertak sambal sekaligus mengecap lawannya sebagai simbol status quo (kemapanan).

Sebab, pada akhirnya, sekali lagi, masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara ini belum tentu dapat diselesaikan secepatnya. Bahwa kedua capres kita di sana-sini menjanjikan ”perbaikan” terhadap kondisi saat kini, itu benar.

Rasanya kita cukup dipuaskan janji-janji perbaikan itu yang berupaya ditampilkan kedua capres dan cawapres saat tiga kali debat. Capres dan cawapres mana yang berniat memperbaiki nasib kita, silakan Anda nilai.

Ada perumpamaan yang mengatakan, ”Memiliki ambisi boleh asal jangan ambisius”. Apakah pasangan nomor 1 dan 2 berambisi atau ambisius, sekali lagi silakan Anda nilai sendiri.

Kalaupun ada yang ambisius, ia dikontrol oleh orang-orang di sekitarnya, DPR, media massa, aktivis, dan tentu rakyat awam. Pemilu 2014 telah membuktikan kontrol tersebut makin kuat dan tak terhindarkan lagi.

Efektivitas kontrol dari berbagai penjuru dan kalangan itu hanya bisa dijalankan apabila hasil pilpres ini kredibel. Dan, kredibilitas terbaik akan dicapai jika pilpres diselenggarakan tanpa mobilisasi, intimidasi, serta manipulasi.

Kita amat khawatir terhadap ketiga jenis kecurangan itu karena berpotensi menimbulkan konflik fisik yang bisa saja berskala tinggi. Padahal, sejarah pemilu-pilpres kita gemilang karena tak pernah rusuh.

Kita bersyukur pada hari-hari ini menjalani sekaligus tiga perjalanan hidup yang amat berharga. Pertama, makin jeli dan pandai memaknai pilpres; kedua, belajar sportif dari Piala Dunia untuk mengakui kekalahan capres pilihan; dan ketiga, menjalani ibadah puasa sembari tak henti berdoa agar presiden terpilih kita amanah. []

KOMPAS, 28 Juni 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar