Kamis, 10 Juli 2014

Sindhunata: Jangan Terulang Tragedi Maracana



Jangan Terulang Tragedi Maracana
Oleh: Sindhunata

BRASIL tidak diciptakan hanya untuk menjadi yang kedua. Juara, hanya itulah yang harus dihitung oleh para pemain sepak bola Brasil. Dan, mereka sadar benar akan harapan tersebut. Mereka juga sadar akan tanggung jawab terhadap fans di tanah air mereka.

Demikian disampaikan Zico dalam wawancara dengan Frankfurter Allgemeine Zeitung menjelang Piala Dunia 2014 ini. Zico, ”Si Pele Putih”, adalah dirigen kesebelasan Brasil awal 1980-an.

Brasil adalah negara bola. Sampai ada pepatah, begitu dilahirkan ibunya, seorang anak Brasil sudah menggiring bola di kakinya. Brasil sendiri telah membuktikan apa artinya menjadi negara sepak bola. Mereka lima kali menjadi juara dunia. Lebih daripada sekadar juara, mereka juga dikenal sebagai pelaku sepak bola indah yang dikagumi dunia.

Karena hanya kemenangan yang dihitung, buat Brasil, kekalahan adalah tragedi. Itulah mengapa kekalahan mereka dari Uruguay, 1-2, dalam final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, tetap hidup sebagai kenangan pahit yang tak terlupakan sampai sekarang.

Tutur Zico, ”Waktu itu saya belum lahir. Tetapi, ayah saya termasuk 200.000 penonton yang ada di Maracana. Itulah pesta luar biasa setelah Perang Dunia. Brasil adalah tuan rumahnya, tetapi kami ternyata kalah. Bagi kami, itulah tragedi, yang tragisnya mungkin sama dengan tragisnya tragedi Perang Dunia, yang dialami negara-negara lain. Setelah 16 Juli 1950, ayah saya tak mau menjejakkan kakinya lagi di Stadion Maracana. Saya sering main di Maracana. Toh, ayah tetap tak mau ke sana.”

Di Piala Dunia 1950, Brasil tinggal sejengkal dari status juara. Saat itu, tidak ada fase sistem gugur. Yang ada grup final, terdiri atas para juara dari keempat grup penyisihan.

Brasil sudah memimpin, di depan Uruguay, Swedia, dan Spanyol. Dalam partai pamungkas di Maracana tersebut, Brasil sesungguhnya hanya perlu hasil seri melawan Uruguay.

Zico juga pernah mengalami sendiri betapa pahit sebuah kekalahan bagi orang Brasil. Ia dan kawan-kawannya gagal di Piala Dunia 1982. Waktu itu, kecuali Falcao dan Dirceu, semua pemain Brasil bermain dalam liga domestik. Artinya, setiap minggu, orang langsung menonton mereka di stadion-stadion setempat. ”Di jalan-jalan saya melihat, betapa kekecewaan terpantul dalam wajah-wajah mereka,” kenang Zico.

Zico memuji, di bawah Scolari, Brasil dalam Piala Dunia 2014 adalah tim kolektif yang kuat. Mereka langsung bisa menekan lawan. Mereka ingin menjebol gawang lawan sedini mungkin dan tak tergoda untuk mengandalkan serangan balik.

Toh, Zico khawatir juga. Soalnya, menurut Zico, tiga perempat pemain Brasil adalah debutan di Piala Dunia dan dua pertiga dari mereka tidak pernah bermain dalam kualifikasi Piala Dunia. Ada pemain Brasil yang berpengalaman dalam Liga Champions di Eropa. Namun, itu kiranya belumlah modal yang cukup untuk ikut berlaga di tingkat Piala Dunia.

Orang memang patut khawatir jika mengamati permainan Brasil sampai babak 16 besar. Dalam laga pembuka, Neymar dan kawan-kawan sempat dibuat repot oleh Kroasia. Mereka baru bisa keluar dari kebuntuan hanya karena aksi diving Fred di kotak penalti Kroasia. Wasit Jepang, Yuichi Nishimura, memberikan hadiah penalti bagi Brasil. ”Jika diving itu ditoleransi, bisa terjadi 100 kali penalti di Piala Dunia ini. Kalau begitu, lebih baik piala langsung diserahkan kepada Brasil saja,” kata Niko Kovac, pelatih Kroasia, jengkel.

Brasil kemudian ditahan seri 0-0 oleh Meksiko. Setelah menunjukkan keampuhannya dengan menang 4-1 atas Kamerun, di perdelapan final Neymar dan kawan-kawan kembali membuat publik Brasil gemetar. Pada menit ke-119, pemain Cile, Mauricio Pinilla, melakukan tendangan spektakuler. Hanya kurang 4 sentimeter, bola Pinilla itu akan masuk ke gawang Julio Cesar. Hal itu tidak terjadi. Bola membentur gawang. Andaikan tidak tertolong oleh gawang itu, akan terjadilah bencana di Stadion Mineirao di Belo Horizonte itu.

Bencana itu mungkin akan bernama Mineirazo, yang mengingatkan kembali akan tragedi Maracana, yang di Brasil dikenang sebagai Maracanazo.

Brasil menjadi juara dunia di Swedia (1958), Cile (1962), Meksiko (1970), Amerika Serikat (1994), dan Korea Selatan-Jepang (2002). Justru ketika menjadi tuan rumah 1950, mereka gagal menjadi juara karena tragedi Maracana. Jika kali ini gagal seperti 64 tahun lalu, ini benar-benar bencana. Soalnya di Brasil, Piala Dunia kali ini tak hanya menjadi perkara bola, tetapi juga perkara politik.

Menurut Mirian Goldenberg, antropolog sosial di Universitas Rio de Janeiro, sekarang di Brasil orang sedang akrab dengan kata imagina na copa. Artinya kurang lebih: coba Anda bayangkan, apa saja yang terjadi menjelang Piala Dunia ini? Inilah yang terjadi: proyek bangunan belum jadi, kemacetan di jalan, inflasi, pelacuran anak-anak, kemiskinan, dan anak-anak gelandangan. Bahkan, kaum menengah yang punya uang pun tak dapat memperoleh pelayanan kesehatan memadai karena belum tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan.

Mengapa uang besar-besaran digunakan untuk membangun stadion mewah, bukan untuk membangun jalan, rumah sakit, dan sarana pendidikan?

Rakyat Brasil mencintai bola. Tetapi, sebagian mereka tak mencintai Piala Dunia 2014 karena dianggap melawan keadilan yang mereka dambakan. Ketika Piala Dunia dilangsungkan di luar Brasil, nyaris tak ada yang serius mengaitkan bola dengan persoalan sosial, seperti kemiskinan atau hak-hak warga sipil yang terabaikan. Justru ketika Brasil jadi tuan rumah, bola dikaitkan dengan masalah itu semuanya. Baru kali ini di Brasil, tiba-tiba bola menanggung beban sosial dan politik.

Seandainya Brasil juara, beban sosial dan politik itu tetap menjadi persoalan. Apalagi jika Brasil kalah di rumahnya sendiri, ini sungguh krisis yang bisa dijadikan alasan untuk makin menentang pemerintah. Karena itu, tidak hanya demi bola, demi politik pun Brasil tak boleh lagi mengalami tragedi Maracana. []

KOMPAS, 03 Juli 2014
Sindhunata ; Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis’ Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar