Jumat, 18 Juli 2014

Kang Sobary: Ibu-Ibu di Garis Depan



Ibu-Ibu di Garis Depan
Oleh: Mohamad Sobary

Semen Indonesia, wakil dunia kapitalis dan simbol kekuasaan besar, di mana nama pemerintah terdapat di dalamnya, jelas memancarkan wibawa besar dan bisa menakutkan.

Tapi, ini kurun zaman baru, zaman sesudah reformasi, zaman terbuka lebar. Informasi terbuka, sikap manusia terbuka, keberanian terbuka, dan kesiagaan membela hak-hak hidup masyarakat pun terbuka. Orang tetap takut pada tekanan, cemas pada intimidasi, dan teror, tetapi di zaman terbuka ini orang berani menegaskan sikap secara terbuka pula untuk menyatakan bahwa dengan senjata kebenaran orang tak lagi takut pada siapa pun.

Begitu juga ibu-ibu, kaum perempuan di dalam masyarakat kaum tani, di perbatasan antara Rembang dan Blora. Mereka maju ke garis terdepan menghadapi otoritas pabrik yang bersikap otoriter. Ketika urusan belum lagi jelas, kesepakatan belum tercapai, tapi pihak pabrik sudah nekat menetapkan secara sepihak wilayah pabrik dan titik operasionalnya sambil mengancam tuan rumah yaitu para petani pemilih tanah dan pemilik kehidupan yang hendak dipindahkan secara semena- mena itu.

Di sana ada suatu jenis ”perampokan”. Suasana tegang bulan lalu itu, di mana banyak ibu-ibu digebuki aparat keamanan yang dibayar pabrik, ketegangan belum lenyap. Ibu-ibu tak gentar menghadapi kekerasan. Ya, siapa pun takut menghadapi situasi genting macam itu. Tapi, ibu-ibu yang terluka tubuh maupun hatinya kelihatannya maju terus. Seolah berteriak seperti dalam sajak Chairil Anwar, Diponegoro: ”tak gentar, lawan seratus kali banyaknya”. Memang tak gentar dan tak perlu gentar.

Ibu-ibu ini tahu karena mereka bagian dari ”dunia pesantren” bahwa dalam perang demi perangnya dulu, Rasulullah selalu maju kemedan dengan jumlah tentara lebih kecil dari tentara musuh. Tapi, Rasulullah, seperti ibu-ibu ini, bersenjata kebenaran. Rasulullah yang mulia itu ibaratnya ”ditemani” secara langsung oleh Allah sendiri. Apa yang ditakuti dalam suasana kejiwaan sepeti itu? Ibu-ibu yang ada di garis terdepan jangan pernah lupa dalam Mahabarata yang dahsyat itu peperangan juga tidak adil.

Secara khusus itu perang saudara, lima orang Pandawa melawan seratus orang Kurawa. Lima melawan seratus. Kecuali itu, di pihak Kurawa yang seratus orang banyaknya itu terdapat partai koalisi yang terdiri atas raja-raja seribu negara. Betapa besar kekuatan mereka. Tapi, kebenaran, biarpun harus pontang-panting lebih dulu, tak bisa dikalahkan. Lima orang itu bisa menggempur kekuatan seratus orang.

Perhitungan matematik, kalkulasi rasional dalam perang modern, dan apa pun yang gagah dalam uluran ”jumlah”, tampaknya tak berarti. Seratus orang binasa. Lima orang jaya. Dalam kisah Ramayana, Batara Rama hanya berdua dengan adiknya, Laksmana. Karena mereka dibantu oleh monyet-monyet dari seluruh hutan Dhandhaka, hutan Mangliawan, dan kerajaan monyet di gua Kiskendha, sukseslah mereka ”menggepuk” Negeri Alengka, membunuh raksasa-raksasa tak terhitung jumlahnya, dan menamatkan riwayat raja keserakahan dan keangkuhan, bernama Dasamuka.

Pada zaman itu orang sudah tahu, Dasamuka tak terkalahkan. Kerajaan-kerajaan dan negeri- negeri di sekeliling Kerajaan Alengka itu siang malam dirundung rasa cemas dan takut kalau tiba-tiba diserang Dasamuka dan prajurit yang serakah dan angkuh itu. Keserakahan dan keangkuhan pernah berkuasa dan sekarang pun masih tetap ingin menjadi penguasa dunia.

Pasar global, kapital global, dan kapitalis global, menjarah rayah aset bisnis dunia. Bisnisbisnis besar, di negara-negara yang posisinya ”lokal” diserobot. Kapital global dan kapitalis global yang tak punya wudel , tak punya hati, mencaplok siapa saja dan apa saja yang bisa dicaplok, tak peduli bahwa itu ditempuh dengan peperangan, pembunuhan, penghancuran, dan kebohongan-kebohongan. Ada hukum yang mereka tetapkan sendiri bahwa yang besar harus menang, yang global tak boleh dikalahkan oleh yang lokal.

Dalam perang bisnis mereka, pemerintah dibeli, media dibeli, pejabat negara dibeli, tokoh masyarakat dibeli, bromocorah dan preman-preman dibeli. Sebagian orang yang bisa dianggap sebagai ”rohaniwan” pun ada pula yang bisa dibeli. Pemerintah dan pejabat pemerintah dibeli? Ini tak terlalu mengherankan karena di mana pun pejabat memiliki watak seperti itu. Tapi, orang yang dianggap ”rohaniwan” dibeli juga?

Ah, rohaniwan yang belum istikamah, yang belum ikhlas, yang belum sujud secara hakiki, dan belum berpuasa dalam arti sebenarnya, apa anehnya bila dia terbeli? Rohaniwan yang belum berpuasa dalam arti sebenarnya, kebutuhan makannya banyak, kebutuhan sandangnya mahal, kebutuhan rumahnya besar dan mewah, serta kebutuhan mobilnya, jelas sangat mahal. Puasa dalam arti sebenarnya bukan begitu.

Mereka zuhud, hidup bersahaja, dan siap mengayom mereka yang lemah. Ibu-ibu, Srikandi di garis depan, itu orang-orang lemah dibandingkan dengan para jawara yang disewa pabrik. Jawara berseragam, jawara desa setempat, jawara berseragam pejabat, dan mereka yang berjubah, yang bersurban tinggi menjulang ke langit menantang debu, tapi yang bukan debu pabrik semen Indonesia, jelas kekuatan dahsyat.

Tapi, apa tidak malu, kekuatan dahsyat yang begitu menggetarkan itu hanya digunakan untuk melawan ibu-ibu? Betapa memalukannya. Polisi negara, tentara negara, pejabat negara, semua milik negara dan misinya mengabdi kepentingan negara. Tapi, mengapa larut dalam keserakahan global dan menjadi wakil keangkuhan global, tanpa rasa kasihan menghadapi warga masyarakat yang lemah, dan mudah diteror, rentan dari ancaman?

Dalam perang besar yang disebut Bharatayudha itu, Bhisma, pihak Kurawa, tak ada yang bisa menandingi. Dia terlalu kuat, terlalu perkasa. Mustahil ada pihak musuh, Pandawa, yang mampu mengalahkannya. Tapi, Bhisma itu pandita, rohaniwan, pencinta kebenaran. Melihat musuhnya terlalu lemah, dia minta pihak Pandawa mengirimkan senapati yang perkasa.

Siapa yang perkasa itu? Bukankah di Pandawa hanya ada orang-orang lemah dibandingkan dengan kekuatan tak terhingga di dalam diri Bhisma? Orang perkasa itu ibu-ibu, seorang puri, bernama Srikandi. Dia yang perkasa dan bakal mampu mengalahkan Bhisma di medan Kurusetra.

Srikandi maju dan memasang panah pada busur yang dilengkungkan hingga begitu dalam melengkung dan panah melesat cepat. Bhisma roboh. Ini orang jujur, rohaniwan sejati, yang tahu menghargai manusia dan kemanusiaan. Dia rela, demi kebenaran tadi, gugur, menggeletak, bermandikan darah dari luka-lukanya sendiri. Dan dia merasa bahagia.

Dari pihak Semen Indonesia sana, siapa yang jujur? Siapa yang mewakili dunia rohani? Siapa Bhisma mereka? Semua Kurawa, semua Dasamuka dan seluruh raksasa jahat, prajuritprajuritnya yang tak mengenal kemanusiaan itu? Semen Indonesia, menjarah tanah warga negara Indonesia? Ibu-ibu, Srikandi, di sana tidak ada pandita, di sana tidak ada Bhisma.

Tapi, dengan senjata kebenaran, ibu-ibu tak gentar– sekali lagi–”lawan seratus kali banyaknya”. Kalah-menang bukan urusan mereka. Darma hidup mereka jelas: membela hak, mempertahankan hak. Ibu-ibu siap di garis depan, tanpa tahu kapan ditarik ke belakang. []

KORAN SINDO, 08 Juli 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar