Selasa, 08 Juli 2014

Gus Dur: Ekonomi Ditata dari Orientasinya



Ekonomi Ditata dari Orientasinya
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha besar dan modern. Di tahun 1950-an, dilakukan kebijakan Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahir perusahaan “Ali-Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada di tangan para pengusaha pribumi (Ali) dan pelaksana perusahaan seperti itu dipimpin oleh keturunan Tionghoa (Baba). Ternyata, kebijakan itu gagal. ‘Si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, karena ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha, baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang-barang maupun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/memimpin di bidang-bidang selain perdagangan.

Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan, mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan segera memanfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka di luar negeri. Karena tidak terikat dengan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah untuk berbagai bidang studi, mereka lalu memanfaatkan pendidikan luar negeri yang memberikan perhatian lebih besar kepada pendidikan berbagai bidang seperti, teknologi, produksi, kimia, komunikasi terapan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan jaringan (networking) dan permodalan. Di tahun-tahun terakhir ini, para pengusaha keturunan Tionghoa itu bahkan sudah mencapai tingkatan kesempurnaan (excellence) dalam bidang-bidang tersebut, seperti terbukti dari hasil-hasil yang dicapai anak-anak mereka di luar negeri.

Karena itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha (bisnis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bidang keuangan/finansial. Bahkan Bulog dan Dolog hampir seluruhnya berhutang uang pada mereka. Sehingga praktis merekalah yang menentukan jalannya kebijakan teknis, dalam hal-hal yang menyangkut sembilan macam kebutuhan pokok bangsa. Tidak mengherankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa. Itu wajar saja. Bahkan lontaran emosional itu akan menjadi sangat berbahaya, jika ditutup- tutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun, harus segera ditemukan sebuah kerangka lain, untuk menghindarkan lontaran-lontaran perasaan yang emosional seperti itu. Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang karena dipercaya oleh orang banyak.

Kesenjangan kaya-miskin yang terus menjadi besar dalam kenyataan, maka diperlukan sebuah penataan ekonomi bangsa kita. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa apa-apa yang terbaik di negeri kita, dikuasai/dimiliki oleh mereka yang kaya, baik golongan pribumi maupun golongan keturunan Tionghoa. Namun untuk menyelamatkan diri dari kemarahan orang melarat, baik yang merasa miskin ataupun yang memang benar-benar tidak menguasai/memiliki apa-apa, maka elite ekonomi/orang kaya kalangan pribumi selalu meniup-niupkan bahwa perekonomian nasional kita dikuasai/dimiliki para pengusaha golongan keturunan Tionghoa. Karena memang selama ini media nasional dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, dengan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan menganggap golongan keturunan Tionghoa, yang lazim disebut golongan non-pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita.

Kesan salah itu dapat segera dibetulkan dengan sebuah koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri. Koreksi total itu harus dilakukan. Orientasi yang lebih mementingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apapun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada pengusaha nasional “pribumi”, haruslah disudahi. Sebenarnya yang harus ditolong adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang diinginkan oleh Undang-undang Dasar kita, maupun berbagai peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat mempersoalkan “pribumi” dan “non-pribumi”, karena persoalannya bukan terletak di situ, masalahnya adalah kesenjangan antara kaya dan miskin.

Jadi, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan birokrasi sendiri.

***

Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah maslahah ‘âmmah, yang secara sederhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejahteraan ini, dalam Undang-undang Dasar kita, dinamakan keadilan dan kemakmuran. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibaratkan menegakkan masyarakat yang adil dan makmur. Ini juga menjadi sasaran dari ketentuan Islam itu, dengan pengungkapan “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya, terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang dipimpinnya (tasharruful imâm ‘alâr-ra’iyyah manûthun bil- mashlahah).”

Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumuskan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan. Itulah yang seharusnya menjadi arah kita dalam menyelenggarakan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandangan picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi perekonomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebutuhan mayoritas bangsa.

Masalahnya sekarang, perekonomian nasional kita terkait sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam perdagangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi rasional. Karenanya orientasi ekonomi rakyat harus difokuskan kepada prinsip “menjaga dan mendorong” UKM. Namun sebelumnya dalam hal ini adalah, keharusan merubah orientasi perekonomian nasional itu sendiri. []

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Memorandum, 3 Januari 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar