Rabu, 16 Juli 2014

Gus Dur: Islam: Pribadi dan Masyarakat



Islam: Pribadi dan Masyarakat
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Sejarah perkembangan Islam dimanapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Karenanya kedua hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan akan agama tersebut. Dalam arti, benar-benar di dasarkan pada pengertian yang mendalam. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memmerlukan pengembangan. Dalam hal ini pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan, dan selayaknya tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.

Karena kedua faktor dari agama langit ini (individu dan sosial) memiliki kelebihan dan kekurangan, maka kita merasakan perlu adanya keseimbangan antara keduanya. Yang menambah galaunya persoalan, adalah kenyataan bahwa kitab suci Al-Qur'an tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu dalam kandungannya. Seluruhnya hanya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (Khitah) untuk perorangan, dan mana dan mana yang untuk
masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Tuhan yang menyatakan: "Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal" (Wa ja'alnakum syu'uban wa qaba-ila lita'arafu). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.

Dalam kitab suci Al-Qur'an terdapat sebuah ayat yang sangat penting yang berbunyi: “Kalian kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri ) saja "(Fa ankhu matahaba lakum matsna wa tsulatsa wa ruba'a wa in khistuman la tadilu fa wahitha)." Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilakukan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, beberapa orangpun akan tetap adil, sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut denagn rasa keadilan secara normal, tentu lebih banyak kaum perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.

*****

Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium "harta warisan " yang dipakai NU sebagai patokan adalah: "Memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (Al-muhafa Dzatu'ala Al- Jadid Al- Aslah).

Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut. Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah SWT: "Di perintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kalian" (kutiba'alaikum al-shiyam kama kutiba'ala ladzina min Qablikum). Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber-sumber tertulis (dalil Al-Naq'li). Dalam perintah Nabi yang tertulis (dalil Al-Naqli) saja, yang membawakan sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini ucapan Nabi Muhammad SAW: "mencari ilmu (berlangsung) dari buaian hingga ke liang kubur" (Thalabu Al-Ilmi min Al-mahdi Illa Al-lahdi). Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk orang-orang bersalah?
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harafiyah, karena itu tidak akan tercapai kesepakatan kaum muslimin tentang "kewajiban" bersekolah, adakah tanpa hal itu orang tidak berhak mendapat pendidikan?

*****

Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka seseorang dapat saja mengikuti sebuah pendapat lain, sama seperti juga halnya orang menggangap tidak adanya sebuah keharusan tentang hal itu. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu ucapan Nabi Muhammad SAW "mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan "(Hubbu Al-Wathan min Al-Iman). Tidak jelas adakah "kewajiban" mencintai tanah air menjadi tanda keimanan seseorang? Adakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dari penggunaan akal (dalil Aqli), sehingga sumber tertulis (dalil Naqli) maupun keterangan rasional dapat digunakan bersamaan.

Terkadang, sebuah ucapan yang secara harafiyah tidak menunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin contohnya, adalah ucapan Nabi Muhammad SAW: "Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok " (Uthlub Al-Ilma walau fi al-shin). Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadist memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, ungkapan Nabi Muhammad SAW tersebut jelas-jelas
menunjukan, yang dimaksudkan adalah kewajiban mempelajari Ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama. Antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non-agama memiliki kedudukan yang sama. Perumusan sikap yang dirumuskan para ahli agama Islam tersebut adalah sebagai kewajiban menuntut disiplin non-agama, memberikan
kedudukan yang sama diantara keduanya.

Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil Naqli), baik berupa ayat-ayat Kitab Suci Al Qur'an maupun ucapan Nabi Muhammad SAW, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukanya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: "Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecah-belah/saling bertentangan "(Wa tashimu bi habli Allah Jami'an wala tafarraqu). Ini menunjukan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan, sebagai upaya kolektif dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab suci tersebut, bukan? []

Jakarta, 14 Februari 2003
Duta Masyarakat, Sabtu 15/02/2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar