Rabu, 02 Juli 2014

Sindhunata: Ciuman Kematian



Ciuman Kematian
Oleh: Sindhunata

RIMBA raya diciptakan untuk manusia, tapi bukan sepak bola. Ungkapan ini rasanya tepat untuk melukiskan betapa berat perjuangan pemain sepak bola, lebih-lebih dari Eropa, menghadapi panas dan lembabnya udara di Brasil yang masih kaya dengan hutan dan rimba raya tropis. Sebelum pergi ke Brasil, para pengamat sepak bola Italia mengingatkan, lawan terberat dan terbahaya bagi Andrea Pirlo adalah udara panas dan lembab. Pirlo tak takut akan ancaman itu. Ia akan menunjukkan bahwa fisiknya masih sanggup menghadapi ancaman rimba Amazon. Ternyata, ketika Italia bertekuk lutut di hadapan Kosta Rika, terlihat betapa kehebatan Pirlo toh dirongrong dan diruntuhkan oleh udara panas dan lembab itu. Sempat terlihat ia mengguyur tubuhnya dengan air di tengah permainan.

Pelatih Italia Cesare Prandelli mengakui kehebatan Kosta Rika, dan kekalahan itu disebabkan salah strategi, yang membuat Italia jadi terlalu lambat bermain. Ia bilang, tim-tim Amerika Latin diuntungkan dalam Piala Dunia ini. Ia seakan hendak mengisyaratkan, Kosta Rika bisa menang karena fisik mereka lebih terbiasa dengan udara panas itu. Pemain tengah Italia sudah menua, Pirlo 35 tahun, Daniele de Rossi (30), dan Thiago Motta (31). Mungkinkah di bawah tekanan udara panas dan lembab mereka masih bisa bermain cepat?

Italia akan menghadapi Uruguay dalam pertandingan hidup mati. Seperti Kosta Rika, Uruguay pun secara fisik lebih terbiasa dengan iklim rimba tropis itu. Maka, untuk tidak mengulangi kesalahan, Prandelli, seperti dikutip Spiegel Online, mengatakan, ”Jika menghadapi kesebelasan yang secara fisik lebih baik, kami membutuhkan cara dan aturan bermain yang mampu menghadapi kelebihan fisik itu.”

Melawan Uruguay, Italia harus bisa bermain dengan cerdik. Paling tidak, secerdik ketika mengalahkan Inggris, 2-1. Untuk itu, mau tidak mau, permainan Italia di lapangan tengah di bawah regisur Pirlo harus hidup kembali. Artinya, Pirlo tidak hanya mesti kembali fit, tetapi juga mampu memimpin rekan-rekannya kembali kepada jati diri permainan.

Jika Pirlo hidup, ”Squadra Azzurra” pun akan lebih hidup. Sebab, seperti pernah dikatakan pelatih Spanyol Vicente del Bosque, ”Pirlo adalah buah dada di mana Italia menyusu.”

Pirlo adalah virtuose bola, yang memberikan entakan bagi Italia. Ia bukan hanya dirigen dan kompas, melainkan juga nyawa bagi timnya. Del Bosque yang penuh pengalaman itu tahu, Pirlo adalah pengatur permainan yang tak bisa ditiru. Ia bisa memadukan dengan baik intelek dan intuisi.

Pirlo tidak banyak berlari. Ia lebih banyak ”membelai bola”. Ia seperti seorang ”melankoli bola”. Tapi, dalam sejenak, ia bisa memberikan entakan yang membuat situasi tenang berubah menjadi keributan total di tim lawan. Ia dapat mengambil keputusan yang tepat.

Anak-anak Jerman pernah merasakan pahitnya keputusan Pirlo itu. Di semifinal Piala Dunia 2006, secara tak terduga Pirlo memberikan bola dengan tepat ke kaki Fabio Grosso. Italia unggul 1-0, disusul satu gol lagi oleh Alessandro Del Piero. Jerman pun tersingkir di rumahnya sendiri.

”Saya bukan penembak. Saya hanya menyiapkan supaya teman lain yang menembak,” kata Pirlo. Untuk pernyataannya itu banyak contohnya, misalnya ketika melawan Inggris di Manaus, tercatat ia melakukan 108 umpan dan dari umpan itu lahirlah serangan yang amat berbahaya ke gawang Joe Hart.

”Pirlo adalah pemimpin. Ia bicara dengan kakinya,” begitu pernah mantan pelatih Italia, Marcello Lippi, berbicara tentang Pirlo. Pirlo adalah anak asuh kesayangan Lippi. Dia juga disayangi teman-temannya. Bahkan Mario Balotelli yang keras dan kerap arogan itu amat menghormatinya. Sebelum melawan Kosta Rika, ”Super Mario” yakin, ia dan kawannya pasti bisa mengalahkan tim yang tidak diperhitungkan itu.

Jika mengalahkan Kosta Rika, mereka membuka peluang Inggris untuk tidak cepat-cepat pulang ke rumah. Untuk ”jasanya” itu, Balotelli berkicau, sudah selayaknya ia mendapat ciuman dari Ratu Inggris. Hampir saja Balotelli mewujudkan ”jasanya”. Ia mendapatkan umpan yang begitu jitu dari Pirlo. Orang mengira, umpan itu pasti berbuah menjadi gol. Sayang, tembakan Balotelli ini melenceng di kanan gawang Kosta Rika yang dijaga Keylor Navas.

Dalam pertandingan hidup mati, Italia akan berhadapan dengan Uruguay di kota Natal. Sementara Italia masih merenungi nasibnya yang kalah dari Kosta Rika, Uruguay sudah melupakan kekalahan mereka di kaki Kosta Rika, 1-3. Karena telah melumat Inggris, 2-1, Uruguay bahkan makin percaya diri. ”Andaikan permainan ajaib ini adalah sebuah film, penonton, paling tidak penonton Uruguay, tak dapat mengalami akhir yang lebih indah daripada akhir yang kami suguhkan,” kata pelatih Uruguay Oscar Tabarez.

”Akhir film” itu membuat senang orang Uruguay, tapi sebaliknya telah membuat orang Inggris menangis. ”Luis, bagaimana kamu tega membuat itu?” begitu tanya seorang reporter Inggris kepada Suarez. Dengan kakinya, Suarez mencari makan di Inggris. Tahun ini ia memborong 39 gol di Liga Inggris, dan hampir saja membawa Liverpool juara liga. Mengapa ia tega membuat orang Inggris menangis?

Tiap kali membuat gol, Suarez selalu mencium cincin di jari manisnya. Baginya, ciuman itu berarti bahwa gol itu dipersembahkannya kepada istri dan anak-anaknya yang tercinta. Tapi, oleh koran Star Sport, ciuman Suarez itu disebut sebagai ”ciuman kematian”. Artinya, dengan dua kali mencium cincinnya, Suarez telah mengusir Inggris pulang di babak pertama Piala Dunia 2014. Setelah 56 tahun, baru pertama kali ini terjadi Inggris ”dicium dengan kematian” sedini itu. Di kota Natal nanti, apakah ciuman kematian itu juga akan menimpa Pirlo dan kawan-kawannya? []

KOMPAS, 23 Juni 2014
Sindhunata ; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta; Wartawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar